Oleh: ALVIN MASKUR
BAB 1
PENDAHULUAAN
A.latar belakang
Kekuasaan Islam yang semakin meluas memicu pergesekan dan
persinggungan sosio-kultural yang luar biasa. Seiring denga hal tersebut, permasalahan
yang terjadi juga semakin rumit untuk mendapatkan pemecahan. Dan salah satu yang
mengalami hal tersebut adalah adalah kekuasan Islam pada masa Daulah Abbasiyah.
Dalam sejarah daulah Abbasiyah telah berhasil memegang
kekuasaan kekhalifahan selama lima abad (750
– 1258 M), mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 M. kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang
non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti
oleh orang Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh
dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Di sisi lain kecintaan Daulah Abbasiyah terhadap ilmu
pengetahuan mendorongnya untuk mengadakan gerakan penerjemahan khazanah
disiplin keilmuan dari kawasan Persia, India, terlebih Yunani. Dari hal tersebut,
peradaban Islam mengalami masa keemasannya. Berbagai disiplin keilmuan sehingga
membentuk aliran-aliran, baik dalam teologi, filsafat, fiqh, dan tasawwuf,
beserta tokoh-tokohnya lahir pada masa daulah itu. Tak ayal lagi peradaban Islam
masa itu telah menjadi pewaris berbagai disiplin keilmuan terhadap peradaban manusia
umumnya yang dapat dirasakan hingga masa sekarang. Oleh karena itu penulis dalam
hal ini akan membahas sejarah munculnya daulah abbasiyah serta perkembangan daulah
tersebut.
B.Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya daulah Abbasiyah?
2.Bagaimana perkembangan daulah Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Sejarah munculnya daulah Abbasiyah
Daulat Bani Abbasiyah adalah sebuah negara yang melanjutkan
kekuasaan Bani Umayyah.
Dinamakan daulat Bani Abbasiyah karena para pendiri
dan penguasa daulah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW. Pendiri daulah ini adalah Abdullah Al-Safah
bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdullah bin Al-abbas. Dia
dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H. Kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah
berlangsung dari tahun 750-1258 M.[1]
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat
yang menjadi pusat kegiatan
kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan
keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas bin ‘Abdul Mutalib (dari
namanya Daulah itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah,
Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat
keluarga Bani Hashim bermukim, baik dari kalangan pendukung
‘Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik.
Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Ia bermusuhan secara terang-terangan
dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota
yang penduduknya mendukung Bani Hashim. Ia mempunyai warga
yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi,
teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah
bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Di sinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.[2]
Di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Ali al-Abbasy,
gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu:
1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan
pertempuran.[3]
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan
sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh
pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama
dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada
mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan
diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia
yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany,
bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah
gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H. Marwan, Khalifah
Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah
Bani Abbasiyah resmi berdiri.
Propaganda Abbasiyah ketika Umar bin Abdul Aziz
menjadi Khalifah daulat Bani Umaiyah. Umar memimpin
dengan adil, ketentraman dan kestabilan negara memberikan
kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan
gerakannya yang berpusat di Humaimah sebagai pusat
perencanaan dan organisasi. Kufah sebagai pusat
penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad
meninggal pada tahun 125 H dan digantikan oleh anaknya yang
bernama Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang panglima yang kuat. Asal nama Khurasan ini berasal dari nama Abu Muslim
Al-Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul
kemenangan demi kemenangan. Di awal tahun 132 H. Ibrahim
al-Imam tertangkap oleh pemerintah daulat Bani Umayyah
dan dipenjara sampai meninggal. Dia digantikan oleh saudaranya
Abu al-Abbas. Tidak lama setelah itu balatentara Abbasiyah
dan Bani Umaiyyah bertemu di dekat sungai Zab bagian atas. Dalam pertempuran itu
Bani Abbas mendapat kemenangan, dan balatentaranya terus ke negeri Syiria dan kota demi kota dapat dikuasainya, sehingga kemenangan
dapat dikatakan sempurna. Sejak itulah Daulat Abbasiyah
berdiri dengan khalifahnya Abu al-Abbas al-Saffah. Daulat ini berlangsung hingga tahun 656
H/1258 M. Masa yang panjang itu dilaluinya tidak
dengan pola pemerintahan yang satu dan sama. Pola pemerintahanya
berubah sesuai dengan perubahan politik, budaya, sosial dan penguasa.
Sebenarnya ketika kekhalifahan dipegang oleh ‘Umar ibn ‘Abd
al-’Aziz, rival-rival politiknya
sudah mulai menyusun kekuatan termasuk dari golongan Abbas. Tetapi ia tidak
menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon
dan simbol Bani Hashim. Puncaknya,
dalam peperangan di Dzab II gerakan Abbasiyah mencapi hasil dengan mengalahkan Khalifah Marwan II. Dan al-Abbas (al-Saffah)
mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah pertama. Usahanya dalam
menyetabilkan pemerintahan adalah dengan membasmi rival-rivalnya
dan membunuh tokoh-tokoh Umayah. Sebelum wafat ia mengangkat
saudaranya, Abu Ja’far (al-Manshur) sebagai penggantinya.
B.Perkembangan Daulah Abbasiyah
Secara garis
besarnya perkembangan daulah abbasiyah dapat di bagi menjadi tiga periode:
1.
Periode pertama tahun
132-232 H.di mana para khalifah abbasiyah berkuasa penuh. Pada periode ini semua
wilayah kekuasaan Islam berada di tangan Abbasiyah kuat,ditopang oleh para ulama
besar yang saling bersilaturahmi dan mengeluarkan fatwa serta banyak berijtihad.
2.
Periode kedua tahun
232-590 H.tatkala kekuasaan para Khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan
orang lain. Dalam periode ini Saljuk.
3.
Periode ketiga tahun
590-656 H. Dalam periode ini kekuasaan kembali ke tangan para khalifah Abbasiyah
lagi yang wilayahnya telah menyempit,hanya di sekitar ibu kota,yakni bagdad saja.[4]
Pada masa al-Saffah, pusat pemerintahan berada
di Anbar dengan istana negaranya al-Hashimiyah.
Setelah al-Manshur menjadi Khalifah, ibu kota dipindah ke Baghdad dengan nama Daral-Salam agar lebih aman. Beliau dan saudaranya,
al-Saffah dikenal sebagai pembunuh masal. Bahkan Abu Muslim al-Khurasani
sendiri dibunuh atas perintah al-Manshur karena dikhawatirkan
akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755
M.[5] Pada masanya dalam bidang politik, negara cukup
stabil dan maju, setelah ia memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai nabi, menguasai
Khurasan dan Sizistan yang sangat luas.
Berbagai ekspansi yang dilakukan diantaranya adalah
merebut benteng-benteng Asia, Kota Malatia,
wilayah Coppacodia, dan Cicillia terus ke Utara melintasi
pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Setelah al-Mansur wafat (775 M), Mahdi menjadi Khalifah, populer bersikap lunak terhadap
rival politiknya, lebih dermawan, dan lebih berperan dalam
pembelaan Islam. Periodenya identik dengan negara yang aman dan
kekayaan negara bertambah. Bahkan kelompok mawali yang semula dari budak
selanjutnya telah dimerdekan.
Sebelum wafat, al-Mahdi
menunjuk dua putranya sebagai pewaris kerajaan, Hadi dan Harun. Ketika kepemimpinan
dipegang Hadi, praktik kekhalifahan kembali keras. Ia tidak lagi menghargai mawali yang menjadi tulang punggung saat
revolusi dan berdirinnya Abbasiyah. Setelah ia wafat digantikan
oleh saudaranya, Harun al-Rasyid yang dibaiat oleh penduduknya menjadi
Khalifah. Periodenya identik dengan Islam memasuki “The
Golden Age of Islam”.[6] Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan
dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Dan dari sinilah mulai muncul berbagai madzhab
(Imam Abu Hanifah dan Malikiyah) karena pada masa
kepemimpinannya mereka sangat dihargai tidak seperti pada
masa sebelumnya dimana mereka dipenjara dan diasingkan.
Abu Hanifah ialah seorang ahli di bidang hukum.
Meski ia tidak terlibat langsung dalam pembuatan keputusan-keputusan
peradilan bahkan ia sendiri tidak menulis karya-karya mengenai hukum. Tetapi ajarannya dilestarikan oleh
para pengikutnya terutama Abu Yusuf dan al-Syaibani.
Karena kecakapan intelektualnya dan pendapat-pendapatnya
yang masuk akal, ia memperoleh perhatian istana Khalifah
dan ditunjuk sebagai qadhi di Baghdad. Bahkan Harun memberikan gelar kepadanya “qadhil qudat” (hakim agung). Seperti Abu Hanifah, Imam
Malik juga seorang ahli hukum dan mendapat perlakuan dengan
hormat oleh Khalifah Al Mahdi dan Harun. Bedanya, ia seorang
fuqaha yang bergerak di Madinah, sedangkan Hanifah di Kufah
dan Baghdad. Karya utama yang dihasilkan oleh Imam Malik adalah
Al Muwatta’.
Setelah Harun wafat (809 M) sesuai wasiatnya, Amin diangkat
menjadi Khalifah
sedangkan Ma’mun sebagai penguasa di Khurasan yang mengakui kedaulatan Amin sebagi Khalifah yang sah. Awalnya mereka rukun,
tetapi akhirnya menjadi konflik dan perang saudara
antara Amin dan Ma’mun dan dimenangkan oleh Ma’mun. Dari
sinilah terdapat perubahan besar atau era baru dalam sejarah. Khalifah baru tidak seperti pendahulunya
yang suka berfoya-foya, hidup mewah, pemalas. Ia sangat mencintai ilmu, ilmuwan dan kemajuannya seperti ayahnya,
Harun Al Rasyid. Dan ia menyerahkan tugas negara kepada wazirnya Fadhal bin Rabi’, sedang ia pergi ke Merv dan di sana ia tenggelam dalam keasikan ilmu pengetahuan
dengan para cendekiawan dan filosof.
Akan tetapi Fadhal bin Rabi’ dalam menjalankan kenegaraan, tidak seperti yang diharapkan oleh Ma’mun. Kemewahan, hidup foya-foya, suka wanita, kekerasan,
penyiksaan menjadi corak kepemimpinannya. Bahkan Fadhal bin Rabi’ mulai menyiksa
para pengikut Imam ‘Ali Reza (menantu
Ma’mun), mereka dibunuh dan ada yang dipenjarakan. Penyiksaan dan kelaliman wazir Fadhal bin
Rabi’ tidak bertahan lama, beberapa orang pengikutnya dari Persia marah dan akhirnya membunuhnya. Tahun berikutnya,
Ma’mun kembali ke Baghdad dan menguasai politik. Salah satu karya
besarnya adalah pembangunan Bayt al-Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagi perguruan tinggi dan
perpustakaan yang besar Ia juga meresmikan Mu‘tazilah sebagai
faham.
Abu Ishaq Muhammad (Al-Mu’tasim Billah), Khalifah berikutnya, memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk
masuk dalam pemerintahan. Keterlibatan
mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Umayah, Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah
berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit
professional.
Di sisi lain dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak
lagi menjadi sesuatu yang menonjol. Setelah al-Ma’mun wafat,
Ahmad ibn Hanbal mendekam dipenjara karena tidak mengakui Mu’tasim sebagai Khalifah, dia disiksa
dan kemudian dilepaskan. Mulai saat itu dan
sampai berakhirnya pemerintahan Mu’tasim, beliau tidak memberikan kuliah, kadang-kadang
karena dilarang dan kadang-kadang karena dianggapnya tidak aman.[7]
Pada pemerintahan Harun ibn Mu’tasim (Wathiq
billah), mulai muncul Amir al- Imarah. Jumlah mereka
makin lama makin bertambah, menyebabkan tahun-tahun ke
depan sejarak Abbasiyah identik dengan sejarah tentara Turki. Sampai pada Khalifah Mutawakkil yang merupakan awal kemunduran politik
Bani Abbas. Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat.
Setelah Mutawakkil wafat, Turkilah yang memilih dan mengangkat
Khalifah dan terus sampai jajaran-jajaran Khalifah di bawahnya.
Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Abbas,
meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah.
Berdasarkan
pola dan perubahan poiltiknya, para sejarawan membagi daulat Abbasiyah menjadi lima periode:
1. Periode
pertama (132 H./750 M. – 232 H./847 M.). Periode ini disebut juga sebagai periode
pengaruh Persia yang pertama.
2. Periode kedua (232 H./847 M. – 334 H./945 M.). Periode ini disebut juga masa
pengaruh Turki yang pertama. Pada periode ini memang ada pemberontakan, seperti pemberontakan Zane di dataran rendah
Irak Selatan dan pemberontakan Qoramitha yang berpusat di
Bahrain. Tetapi bukan itu yang menybabkan gagalnya tewujudnya
kesatuan politik daulat Abbasiyah.
3. Periode ketiga (334 H./945 M. – 447 H./1055 M.). Pada periode ini daulat Bani Abbasiyah di
bawah pemerintahan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari
pada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih merupakan
penganut aliran Syi‘ah. Khalifah tidak lebih seperti pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaanya kepada
tiga bersaudara. ‘Ali wilayah bagian selatan negeri Persia,
Hasan wilayah bagian utara, dan Ahmad wilayah al-Ahwaz, Wasith
dan Baghdad. Dengan demikian, Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam, yang mana
pusat pemerintahan Islam pindah di Syiria di tempat ‘Ali
Ibn Buwaih yang memiliki kekuasaan umum daulat Bani Abbasiyah.
Pada zaman Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kerusuhan
antara aliran Ahl al-Sunnah dan Syi‘ah, pemberontakan negara dan lainya.
4. Periode keempat (447 H./1055M. – 590 H./1199 M.). Periode ini ditandai dengan
kekuasaan Bani Saljuk atas daulat Abbasiyah. Kehadiran Bani
Saljuk ini adalah “undangan” Khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang
membaik, paling tidak kewibawaanya dalam bidang agama
kembali, setelah sempat beberapa lama “dirampas” orang-orang
Syi‘ah. Pusat kekuasaan Islan pada periode ini tidak di Baghdad.
Mereka membagi wilayah kekuasaanya menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk masing-masing wilayah tersebut. Pada masa pusat
kekuasaanya melemah, setiap propinsinya memerdekakan diri,
konflik dan peperangan antar mereka sendiri, dan sedikit
demi sedikit kekuasaan Khalifah kembali, terutama untuk
negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawariz
Syah pada tahun 590 H/1199 M.
5. Periode kelima (590 H./1199 M. – 656 H./1258 M.). Pada periode ini daulah Abbasiyah
tidak berada di bawah daulah tertentu. Bani Abbas kembali
berkuasa, akan tetapi hanya di Baghdad. Wilayah kekuasaan Khalifah sangat kecil dan kekuatan politiknya sangat lemah. Pada masa
inilah kekuasaan Mongol dan Tatar di bawah pimpinan Hulagu Khan
menghancur-luluhkan daulat Abbasiyah dan tanpa ada perlawanan.[8]
Berikut ini daftar para khalifah Abbasiyah secara
keseluruhan ada 37 orang,dengan rincian sebagaimana berikut: Khalifah Daulah Abbasiyah berjumlah 37 orang, berikut nama-nama mereka
dan gelar yang mereka gunakan:
1.
Abual-Abbas
al-Saffah 132-136
H / 749-754 M
2.
AbuJa‘far
al-Mansur 136-158
H / 754-775 M
3.
Abu‘Abdullah
Muhammad al-Mahdi 158-169
H / 775-785 M
4.
AbuMuhammad
Musaal-Hadi 169-170
H / 785-786 M
5.
AbuJa‘far
Harun al-Rashid 170-193
H / 786-809 M
6.
AbuMusaMuhammad
al-Amin 193-198
H / 809-813 M
7.
AbuJa‘far
‘Abdullah al-Ma’mun 198-218
H / 813-833 M
8.
AbuIshaq
Muhammad al-Mu‘tasim 218-227
H / 833-842 M
9.
AbuJa‘far
Harun al-Wathiq 227-232
H / 842-847 M
10. AbuFadl Ja‘far al-Mutawakkil 232-247
H / 847-861 M
11. AbuJa‘far Muhammad al-Muntasir billah 247-248 H / 861-862 M
12. Abual-Abbas Ahmad al-Mustain billah 248
-252 H / 862-866 M
13. Abu‘Abdullah Muhammad al-Mu‘taz billah 252-255 H / 866-869 M
14. AbuIshaq Muhammad al-Muhtadi
billah 255-256 H /
869-870 M
15. Abual-‘Abbas Mahmud al-mu‘tamid ‘alallah 256 -279 H / 870-892 M
16. Abual-‘Abbas Mahmud al-mu‘tadid billah 279-289 H / 892-902 M
17. AbuMuhammad ‘Ali al-Muktafi billah 902-295
H / 902-905 M
18. AbuFadlJa‘far al-Muqtadir
billah 295-320
H / 905-932 M
19. AbuMansur Muhammad al-qahir billah 320-322
H / 932-934 M
20. Abual-Abbas Ahmad al-Radibillah 322-329
H / 934-940 M
21. AbuIshaq Ibrahim al-Muttaqibillah 329-333
H / 940-944 M
22. Abual-Qasim ‘Abdullah al-mustaqfi billah 333-334 H / 944-946 M
23. Abual-Qasim al-Fadl al-Muti‘ lillah 334-363
H / 946-974 M
24. Abual-Fadl ‘Abd al-Karim al-T{a’i‘ lillah 363-381 H / 974-991 M
25. Abual-Abbas Ahmad al-Qadir billah 381-422
H / 991-1031 M
26. AbuJa‘far ‘Abdullah al-Qa’im bi’amrillah 422-467 H / 1031-1075 M
27. AbuAbual-Qasim ‘Abdullah al-muqtadi 467-487
H / 1075-1094 M
28. AbuAbbas Ahmad al-Mustzhir billah 487-512
H / 1094-1118 M
29. AbuMansur al-Fadl al-Mustarshid billah 512-529 H / 1118-1135 M
30. AbuJa‘far al-Mansur al-Rashid billah 529-530 H / 1135-1136 M
31. Abu‘Abdullah Muhammad al-Muqtafi li’amrillah 530-555 H / 1136-1160 M
32. Abual-Muzaffar Yusuf al-Mustanjid billah 555-566 H / 1160-1170 M
33. AbuMuhammad al-hasan al-Mustadi’ bi’amrillah 566-575 H / 1170-1180 M
34. AbualAbbas Ahmad al-Nasir lidinillah 575-622 H / 1180-1225 M
35. AbuNasr Muhammad al-zahir bi’amrillah 622-623 H / 1225-1226 M
36. AbuJa‘far al-Mansur al-Mustansir bi’amrillah 623-640 H / 1226-1242 M
37. AbuAhmad ‘Abdullah al-Musta‘sim billah 640-656 H / 1242-1258 M
Dari beberapa khalifah di atas pada zaman Abbasiyah ini konsep
kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang
ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah,
bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar
dan Umar pada zaman Khalifah Rasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur: “Saya adalah
sultan Tuhan di atas buminya”.
Pada zaman Daulah Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah
I antara lain:
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang
para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari
keturunan Persia dan mawali;
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara,
yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan;
c. Ilmu pengetahuan dipandang
sebagai suatu yang sangat penting dan mulia;
d. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.[9]
Selanjutnya periode II , III , IV,V, kekuasaan
Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama
kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara
bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah
berkuasa di daerahnya, dan
mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani
Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada masa awal
berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan
oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan
dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau
timbulnya pemberontakan yaitu: pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah. Kedua, pengutamaan orang-orang turunan persi.[10]
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada
waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana menteri) atau yang jabatanya disebut
dengan wizarat. Sedangkan wizarat itu
dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizarat Tanfiz (sistem
pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan
bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaatut Tafwidl (parlemen
kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin
pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada
kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Daulah-Daulah lokal sebagai gubernurnya Khalifah.[11] Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama
diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh
seorang raisul kuttab (sekretaris
negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir
dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen).
Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul
idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan
perang, amirul umara, baitul maal, organisasi
kehakiman. Selama Daulah ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.[12]
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993)
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: P.T. Jayamurti, 1997)
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007)
Ali mufrodi, Islam di
kawasan kebudayaan Arab(Surabaya:Anika Bahagia,2010)
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islamii: Dirasah
Islamiyah II
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1999)
Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam
di Turki (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997)
W. Montgomery
Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari
Tokoh Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, Cet. I (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1990), 126-127.
[4] Ali mufrodi, Islam di
kawasan kebudayaan Arab,91.
[5]Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islamii: Dirasah Islamiyah II
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 50
[7]Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007),153.
[12]W. Montgomery Watt,
Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis, terj. Hartono Hadikusumo, Cet. I (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 1990),
126-127.