ṢAḤIḤ MUSLIM
Biografi Imam Muslim, Metode dan Sistematika
Serta Pandangan Dan
Kritik Terhadap Ṣaḥiḥ Muslim
(foto Mualimul Huda, sumber foto: Facebook)
(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri dan Guru MTs. AL Muttaqin Kec. Kayen Kidul Kab. Kediri)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadith, oleh umat Islam diyakini sebagai
sumber pokok ajaran Islam sesudah Al-Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadis
dapat dijadikan ḥujjah keagamaan
dalam kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian Keislaman.
Secara struktural hadith merupakan
sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global. Artinya, jika kita
tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan di dalam
Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada Ḥadith. Oleh karena itu, Ḥadith
merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu hukum
yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Ḥadith
terbagi menjadi dua yaitu, Ḥadith Maqbul
(Ḥadith yang dapat diterima sebagai
dalil) dan Ḥadith Mardud (ḥadith
yang tertolak sebagai dalil). Ḥadith
Maqbul terbagi menjadi dua yaitu Ḥadith
Shaḥiḥ dan Ḥasan, sedangkan yang termasuk dalam Ḥadith Mardud salah satunya
adalah Ḥadith ẓa’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshaḥiḥan suatu
Ḥadith merupakan hal yang sangat
penting, karena hal tersebut sangat menentukan apakah Ḥadith
tersebut dapat dijadikan Ḥujjah yang
kuat atau tidak. Bersama Shaḥiḥ Bukhori,
Shaḥiḥ Muslim merupakan kitab hadith paling Shaḥiḥ dari kitab
hadits yang lain. Kitab Ṣaḥiḥ muslim
banyak menjadi rujukan para ulama’ dalam mencari dasar hukum yang berkenaan. Oleh kerena itu penulis akan memaparkan tentang
biografi imam muslim, metode dan sistematika pengumpulan hadith serta pandang
dan kritik terhadap Ṣaḥiḥ muslim.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biogarafi Imam Muslim?
2.
Bagaimana metode dan
sistematika dalam Ṣaḥiḥ muslim?
3.
Bagaimana pandangan dan kritik
para ulama’ Ḥadith tentang Ṣaḥiḥ muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abu Al-Ḥusain Muslim ibn Al-Hajjaj Al-
Qushairi Al-Nishaburi. Ia dinisbatkan kepada nisyabur karena dilahirkan
dikota nisyabur iran
pada tahun 204 H/ 820 M, ia juga dinisbatkan pada nenek moyangnya Qushairi ibn
kan'an ibn rabi'ah ibn sha'sha'ah suatu keluarga bangsawan besar di naisabur. Imam
Muslim tumbuh sebagai remaja yang giat belajar agama. Bahkan saat usianya masih
sangat muda beliau sudah menekuni ilmu ḥadith. Dalam kitab Siyar ‘Alamin
Nubala pakar ḥadith dan sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan bahwa Imam
Muslim mulai belajar ḥadith sejak
tahun 218 H. Berarti usia beliau ketika itu adalah 12 tahun. Beliau melanglang
buana ke beberapa Negara dalam rangka menuntut ilmu ḥadith dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan negara
lainnya. Imam
muslim wafat pada hari sabtu ahir bulan rajãb
261 H dalam usia 57 tahun. Ia
meninggal diduga karena terlalu banyak berfikir, dan di makamkan di Nashar
Abad( nishapur).
Dalam Tahzibut Tahdzib
diceritakan bahwa Imam Muslim paling banyak mendapatkan ilmu tentang Ḥadith dari 10 orang guru yaitu:
1.
Abu Bakar bin Abi Syaibah,
beliau belajar 1540 ḥadith.
2.
Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harab, beliau belajar 1281 ḥadith.
3.
Muhammad Ibnul Mutsanna yang
dijuluki Az Zaman, beliau belajar 772 ḥadith.
4.
Qutaibah bin Sa’id, beliau
belajar 668 ḥadith.
5.
Muhammad bin Abdillah bin
Numair, beliau belajar 573 ḥadith.
6.
Abu Kuraib Muhammad Ibnul ‘Ila,
beliau belajar 556 ḥadith.
7.
Muhammad bin Basyar Al Muqallab
yang dijuluki Bundaar, beliau belajar 460 ḥadith.
8.
Muhammad bin Raafi’ An
Naisaburi, beliau belajar 362 ḥadith.
9.
Muhammad bin Hatim Al Muqallab
yang dijuluki As Samin, beliau belajar 300 ḥadith.
10.
‘Ali bin Hajar As Sa’di, beliau
belajar 188 ḥadith.
Sembilan dari sepuluh nama guru Imam
Muslim tersebut, juga merupakan guru Imam Al- Bukhari dalam mengambil ḥadith, karena Muhammad bin Hatim tidak
termasuk. Perlu diketahui, Imam Muslim pun sempat berguru ilmu ḥadith kepada
Imam Al Bukhari. Ibnu Shalah dalam kitab Ulũmul Ḥadith berkata: “Imam Muslim memang belajar pada Imam Bukhari dan
banyak mendapatkan faedah ilmu darinya. Namun banyak guru dari Imam Muslim yang
juga merupakan guru dari Imam Bukhari”. Hal inilah yang menjadi salah satu
sebab Imam Muslim tidak meriwayatkan ḥadith
dari Imam Al - Bukhari.
Imam muslim mengadakan perlawatan ke
berbagai negeri untuk mencari ḥadith.
Ia pergi ke hijaz irak, syam mesir, dan negara-negara lainya untuk mencari ḥadith dan memperdalam ilmunya. Dalam
lawatanya imam muslim banyak berguru pada yahya ibn yahya dan ishaq ibn
rawahaih. Di irak ia belajar ḥadith
kepada ahmad ibn hambal dan abdullaoh ibn maslamah. Di hijaz ia belajar kepada
sa'id ibn mansur dan abu mas'ud. Di mesiria berguru kepada awaribn sawad dan
harmalah ibn yahya dan juga kepada ulama' ḥadith
lainya.
Selain disebutkan diatas imam muslim
masih bayak memiliki guru diantaranya usman dan abu bakar keduanya putra abu
shaibah. Shaibah ibn farwakh, abu kamil al juri, zuhair ibn harb, amr al naqid,
muhammad ibn musanna, muhammad ibn yassar harun ibn sa'id al- ijli, dan qutaibah ibn sa'id. Disamping itu banyak
ulama' hadith masa itu berguru pada iamam muslim dan menerima haith darinya, diantaranya adalah abu isa al- tirmidhi,
yahya ibn sa'id muhammad ibn sufyan, muhammad ibn ishaq ibn khuzaimah, abu
awanah ya'qub. Imam muslim bayak menghasilakan karya kitab hadithyang terkenal
dan bermanfaat. Serta masih tetap beredar hingga kini. Diantaranya Al-Jãmi’ Al- Ṣaḥiḥ yang terkenal
dengan Ṣaḥiḥ
muslim. Para ulama' hadith menyebut
kitab ini kitab yang belum pernah dijumpai sebelum dan sesudahnya dalam tertib
susunanya, tidak bertukar-tukar, tidak berlebih dan tidak berkurang sanadnya.
Imam An Nawawi menceritakan dalam Tahdzibul
Asma Wal Lughat bahwa Imam Muslim memiliki banyak karya tulis,
diantaranya:
1.
Kitab Ṣaḥiḥ muslim (sudah dicetak)
2.
Kitab Al Musnad Al Kabir ‘Ala Asma Ar Rijal
3.
Kitab Jami’ Al Kabir ‘Ala Al Abwab
4.
Kitab Al ‘Ilal
5.
Kitab Auhamul Muhadditsin
6.
Kitab At Tamyiz (sudah
dicetak)
7.
Kitab Man Laisa Lahu Illa
Rawin Wahidin
8.
Kitab Thabaqat At Tabi’in (sudah
dicetak)
9.
Kitab Al Muhadramain
Kemudian Adz Dzahabi pun menambahkan
dalam Tahdzibut Tahdzib bahwa Imam Muslim juga memiliki karya tulis
lain yaitu:
1.
Kitab Al Asma Wal Kuna (sudah
dicetak)
2.
Kitab Al Afrad
3.
Kitab Al Aqran
4.
Kitab Sualaat Ahmad bin
Hambal
5.
Kitab Ḥadith ‘Amr bin
Syu’aib
6.
Kitab Al Intifa’ bi Uhubis
Siba’
7.
Kitab Masyaikh Malik
8.
Kitab Masyaikh Ats Tsauri
9.
Kitab Masyaikh Syu’bah
10. Kitab Aulad Ash Shahabah
11. Kitab Afrad Asy Syamiyyin
2.
Metode Dan Sistematika Ṣaḥiḥ muslim
Penulis kitab Ṣaḥiḥ muslim adalah Abu Al Husain Muslim Ibn Hajaj Al Qusyairi.
Kitab ini disusun denagn sistematia yang baik, sehingga isi ḥadith - ḥadith nya tidak bertukar tukar dan tidak berlebihan dan berkurang
sanadnya. Secara global kitab ini tidak ada bandinganya didalam ketelitian
menggunakan isnad. Ṣaḥiḥ muslim telah disarah oleh lama'-ulama' ḥadith sebanyak 15 buah, seperti al-Mu'lim
bil fawaidi muslim oleh Mazary, Al Ikmal leh al Qadi 'iyad, Minhaj Al
Muhaddithin Oleh Al-Nawawi, Ikmal Al -Iklmal Oleh Al-Zawawi, dan Ikmal Al -Iklmal Li Mu'lim Oleh Abu Abdullah
Muhammad Abi Al -Maliki. Diantara yang mengihtisarkanya adalah al-qurtubi yang
disyarahkan kembali dalam kitabnya al mufhim, zawaidnya telah disarah oleh ibn
al-mulaqqin.
Berdasarkan jalan yang ditempuh imam muslim dalam mentakhrijkan ḥadith nya,
para ulama' memandang bahwa muslim meriwayatkan
ḥadith yang sempurna, yang memiliki syarat-syarat keṣaḥiḥan dan memiliki sanad muttasil dengan syarat adil dan kuat
hafalan dari awal hingga ahir tanpa shad dan ‘ilat. Hal itulah yang menjadikan
ḥadith dalam kumpulan Ṣaḥiḥ muslim memilki keunggulan dari kitab hadith yang lain. Disamping itu muslim sangat teliti,
sehingga ia bedakan antara kata ḥaddathanã dengan kata akhbarona.
Yang pertama mengandung pengertian bahwa hadith tersebut langsung didengar
melalui ucapan guru, sedangkan yang kedua hadith itu dabacakan atas nama guru.
Hadith hadith tersebut ditulis dengan matan yang sempurna tanpa pengulangan.
Imam muslim telah menjadikan prinsip
‘an’anah (transfer secara langsung antara periwayat hadith dengan nara sumber hadith)
sebagai azaz dalam pola seleksi mutu transmisi hadith. Karena asas itulah imam
muslim selalu memelihara bukti kepastian bahwa antar pendukung riwayat itu
benar-benar hidup semasa ( mu’asarah) yang mungkin pila dapat dibuktikan segi
kecukupan waktu bagi proses berlangsungnya kintak pribadi( subutu al-liqa’i)
antar mereka.
Syarat kepribadian rijalul ḥadith mengutamakan mereka yang hafidz
dan mutqin(profesionala dalam ilmiah hadith),adil lagi pula ḍabit( terpercaya hafalanya). Jujur
serta terjamin stabil cara berfikirnya. Koleksi sahih muslim menampung pula ḥadith - ḥadith eks perawi yang
tingkat hafalan dan keahlianya ḥadith
nya kaliber menengah. Perawi setingkat mereka lazim disejajarkan dengan
peringkat ( ṭobaqah) kedua. Yang
jelas imam muslim sama sekali tidak memberi tempat pada perawi ḥadith yang disepakati kelemahan
pribadinya atau perawi ḥadith yang
disepakati kelemahan pribadinya atau perawi ḥadith
yang sekalian ulama’ muhaddisthin menolak periwayatanya. Koleksi ḥadith pada Ṣahih Muslim mengkhususkan pada ḥadith - ḥadith musnad,
muttasil, nyata bersandar(marfu’) kepada nabi/ rasulullah SAW, sejalan dengan
spesifikasi tersebut maka sulit dijumpai Qoul ( ucapan sahabat) apalagi qoul
tabi’in.
Tata letak dalam menyajikan ḥadith senantiasa diawali dengan ḥadith yang berkualitas tersahih
disusul kemudian dengan hadis sahih dan urutan terahir untuk ḥadith yang diunggulkan sebagai sahih.
Ḥadith- ḥadith dengan aliokasi terahir itulah yang menurut analisa Alqadi’iyadh
setara dengan ḥadith ḥasan seperti pola koleksi yang
dilakukan oleh ibnu huzaimah dan ibnu hibban.
Pengantar sanad maupun redaksi matan
sepenuh hadis-hadis koleksi sahih muslim menjunjung tinggi tehnik riwayah
billafdzi, yakni cara pengungkapan seluruh batang tubuh hadis dengan
mempertahankan keaslian redaksinya. Pemuatan hadis dalam sahih muslim selalu
diwarnai oleh penyajian inormasi matan selengakapnya tntas dan utuh. Pola penyajian semacam itu telah menjadi
redaksi suatu hadis dalam sahih muslim demikian panjang, mirip laporan
pandangan mata yang sempurna.
Periode penapisan dan penyusunan
sahih muslim berlangsung selama masa hidup guru-guru imam muslim dan seluruhnya
dikerjakan dirumah kediaman tetap beliau. Proses tersebut amat menunjang segi
kerapian tex
dan menjadi kecil kemungkinan salah tulis dalam mencantumkan nama pera
pendukung/rijal hadisnya. Pada tahap ahir proses pengujian mutu validitas hadis
imam muslim memanfaatkan konsultasi rutin dengan ulama’ hadis di naisabur bernama
abu zu’rah arrazi (w.264H ). Setioap
kali abu zurah arrazi mengisyaratkan indikasi illat segera saja imam muslim
membatalkan pemuatan hadis berilat itu kedalam koleksi sahihnya. Apabila abu
zur’ah tidak mencurugainya maka ḥadith tersebut akan dimuatnya.
3.
Pandangan dan Kritik Terhadap Sahih Muslim
Apabila Imam Bukhari sebagai ahli ḥadith nomor satu, ahli tentang
ilat--ilat (cacat) ḥadith dan seluk
beluk ḥadith, dan daya kritiknya
sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu,
keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah
salah satu dari muridnya. Al-Khatib al-Bagdadi berkata: "Muslim telah
mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya."
Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja.
Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta
memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapat
pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al--Khatib al-Bagdadi meriwayatkan
dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim
selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru- guru ḥadith lainnya. Ishak bin Mansur
al-Kausaj berkata kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan
selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin." Ishak bin Rahawaih
pernah mengatakan: "Adakah orang lain seperti Muslim?". Ibnu Abi
Hatim mengatakan: "Muslim adalah penghafal ḥadith. Saya menulis ḥadith dari dia di Ray." Abu Quraisy
berkata: "Di dunia ini, orang yang benar- benar ahli ḥadith hanya empat
orang. Di antaranya adalah Muslim." Mak-sudnya, ahli ḥadith terkemuka di
masa Abu Quraisy. Sebab ahli ḥadith itu cukup banyak jumlahnya.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring ḥadith-ḥadith yang diriwayatkan,
membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan
hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan
adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa,
maka lahirlah kitab Sahihnya. Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah
suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang
pernah didengarnya.
Diceritakan, bahwa ia pernah berkata:
"Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 ḥadith." Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata :
"Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15
tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah ḥadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah ḥadith Sahih Muslim itu sebanyak 4.000
buah ḥadith. Kedua pendapat tersebut
dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan ḥadith-ḥadith
yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung
ḥadith-ḥadith yang tidak disebutkan berulang. Imam Muslim berkata di dalam
Sahihnya: "Tidak setiap ḥadith yang sahih menurutku, aku cantumkan di
sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan ḥadith-ḥadith yang telah
disepakati oleh para ulama ḥadith."
Imam Muslim pernah berkata, sebagai
ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk
bumi ini menulis ḥadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan
berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap ḥadith yang diriwayatkan dalam
Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku
mencantumkan sesuatu ḥadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga
tiada aku menggugurkan sesuatu ḥadith daripadanya melainkan dengan alasan
pula."
Imam Muslim di dalam penulisan
Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul
kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah
dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara
pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya
adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
Imam Muslim memiliki jumlah karya
yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya Ṣaḥiḥ
Muslim. Dibanding kitab-kitab ḥadith sahih lainnya, kitab Ṣaḥiḥ Muslim memiliki
karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada
ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir
dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada
mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda
dalam metode penyusunan kitab ḥadith,
Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih ḥadith, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau
meriwayatkan setiap ḥadith di tempat yang paling layak dengan menghimpun
jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong
suatu ḥadith di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi
sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu,
sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan
al-Bukhari.
Kitab Ṣ̣haḥiḥ Muslim memang dinilai kalangan muḥadithun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada
sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang
kitabnya al-Bukhari. Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu
Zur’ah, salah seorang kritikus ḥadith terbesar, yang biasanya memberikan
sejumlah catatan mengenai cacatnya ḥadith. Lantas, Imam Muslim kemudian
mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam
Muslim tidak pernah mau membukukan ḥadith-ḥadith yang hanya berdasarkan
kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan ḥadith yang diterima oleh
kalangan ulama. Sehingga ḥadith-ḥadith Muslim terasa sangat populis.
Bila dikaji ulang dengan cermat
pengakuan mayoritas muḥadithin
cenderung obyektif dan benar, terbukuti oleh data penguat kelebihan Al-Jami’ Al-Bukhori
sebagai berikut:
1.
Imam Bukhori membatasi ḥadith- ḥadith, koleksinya dalam Al-Jami’
Al- Ṣ̣haḥiḥ khususu yang tersruktur personalia sanasnya terdiri atas
jajaran perawi pada Ṭabaqah (peringkat)
pertama. Imam muslim tampak demikian longgar dalam nominasi seleksi perawi
bahkan lebih banyak dipadati oleh jajaran perawi Ṭabaqah
kedua. Apabila Al Bukhori
mensyaratkan unsur Subut Alliqa’i(
kepastian cukup lama dalam keilmuan ḥadith-
) disamping unsur mu’asarah / semasa
juga berupa unsur penunjang berupa jarak domisili perawi dengan syaikh ḥadith nara sumbernya, maka imam muslim
cukup mengandalakan segi mu’asarah
saja.
2.
Rijãlul
Ḥadith pendukung ḥadith- ḥadith koleksi
Al Jami’ Al- Bukhori yang disorot oleh ahli jarh wa
ta’dil relatif jumlahnya kecil,
yakni sekitar 80 orang, dan jumlah ḥadith-mereka
sangat minim dalam koleksi Al-Bukhori.
Adapun Rijãlul Ḥadith yang ḥadith -nya termuat dalam Ṣ̣haḥiḥ Muslim mencapai 160 orang yang disoroti kepribadianya oleh ahli jarh wa ta’dil, lagi pula riwayat mereka
relatif banyak dalam Ṣ̣haḥiḥ Muslim
3.
Tuduhan adanya Ḥadith shadz dan berilat dalam Al-Jami’ Al-Bukhori melibatkan 78 Ḥadit, sedangkan hadis dengan tuduhan
serupa dalam Ṣ̣haḥiḥ Muslim mencapai 130-132 Ḥadith, termasuk didalamnya informasi
israilliyat dari ka’bu al-akhbar yang sebenarnya mauquf pada abu hurairah.
Wajar bila Qadhi Iyadh mengasumsikan banyaknya Ḥadith hasan dalam koleksi
sahih muslim setara dengan koleksi sahih ibnu khuzaimah dan ibn hibban.
4.
Imam Al-Bukhori menonjol dalam
menguasai Fiqih Al Hadis, terbukti
dengan ketajaman persepsi hukumnya yang terbaca pada rumusan sub-sub judul
setiap bab. Imam muslim ditengarai terjenak pada kesalahan seperti pemuatan
hadis tenatang salat gerhana matahari dwngan 3 kali ruku’ untuk setiap
rakaatnya dan riwayat perkawinan nabi SAW, dengan ummu habibah binti sufyan.
untuk kasus terahir ini imam muslim kurang jeli terhadap sejarah .
5.
Secara umum kadar ilmiah imam Al-Bukhori tentang ilat hadis dan ilmu
penunjang spesialisasi hadis jauh lebih unggul. Imam muslim lebih dikenal
sebagai murid imam bukhori dan diketahui banyak mengambil
oper teori hadis dari sang guru.
Apabila kriteria utama dalam menguji
kesahihan Ḥadith difokouskan pada 3
komponen, yakni sifat thiqoh perawi, persambungan sanad, dan jaminan sejahtera dari unsur illatul hadis, maka hadis-hadis yang termuat
dalam koleksi Al-Jami’ Al-Bukhori jelas lebih unggul pada 3 komponen tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nama lengkap Imam Muslim adalah Abu
al-husain Muslim ibn al-Hajjaj al- Qusyairi Al-Nisyaburi. Ia dinisbatkan kepada
nidyabur karena dilahirkan dikota nisyabur iran pada tahun 204 H/ 820 M, ia
juga dinisbatkan pada nenek moyangnya qushairi ibn kan'an ibn rabi'ah ibn
sha'sha'ah suatu keluarga bangsawan besar di naisabur. Imam
Muslim tumbuh sebagai remaja yang giat belajar agama. Bahkan saat usianya masih
sangat muda beliau sudah menekuni ilmu ḥadith. Dalam kitab Siyar ‘Alamin
Nubala pakar ḥadith dan sejarah, Adz Dzahabi, menuturkan bahwa Imam
Muslim mulai belajar ḥadith sejak tahun 218 H. Berarti usia beliau ketika itu
adalah 12 tahun. Beliau melanglang buana ke beberapa Negara dalam rangka
menuntut ilmu ḥadith dari mulai Irak, kemudian ke Hijaz, Syam, Mesir dan
negara lainnya. Imam muslim wafat pada hari sabtu ahir bulan rajab 261 H dalam
usia 57 tahun.
Berdasarkan jalan yang ditempuh imam
muslim dalam mentakhrijkan hadith-hadith nya, para ulama' memandang bahwa
muslim meriwayatkan hadith yang sempurna yang memiliki syarat-syarat kesahihan
memiliki sanad muttasil dengan syarat adil dan kuat hafalan dari awal
hingga ahir tanpa shadh dan ilat.
Disamping itu muslim sangat teliti, sehingga ia bedakan antara kata haddasana
dengan kata akhbarona. Yang pertama mengandung pengertian bahwa hadith tersebut
langsung didengar melalui ucapan guru, sedangkan yang kedua hadith itu
dabacakan atas nama guru. Hadith hadith tersebut ditulis dengan matan yang
sempurna tanpa pengulangan.
Apabila Imam Bukhari sebagai ahli ḥadith
nomor satu, ahli tentang ilat--ilat (cacat) ḥadith dan seluk beluk ḥadith,
dan daya kritiknya sangat tajam, maka Muslim adalah orang kedua setelah
Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak
mengherankan, karena Muslim adalah salah satu dari muridnya. Al-Khatib
al-Bagdadi berkata: "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan
ilmunya dan mengikuti jalannya." Pernyataan ini bukanlah menunjukkan bahwa
Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab ia mempunyai ciri khas tersendiri
dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri , Muhammad, kelengkapan Ḥadist Qudsi . Semarang :
Toha Putra
Abbas,Hasjim Kodifikasi
Hadis Dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: Bagian Penerbitan Fakultas Ushuludin
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003.
http://syafii.wordpress.com/2007/04/02/riwayat-hidup-imam-muslim/(si
akses 30 oktober 2011)
Muhammad zuhri,
Kelengkapan Ḥadith Qudsi (Semarang : Toha Putra,
tt).,13.