Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Penelitian Sanad (I'tibar, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatan)



Oleh: Fahad Asadulloh 
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)

(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di 
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)


A.    Latar Belakang Masalah
Al-Quran dan Hadits merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang berisi tentang firman-firmanNya yang disampaikan kepada Nabi Muhamad SAW melalui Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia. Dilihat dari isi teksnya, makna Al-Quran ada yang masih bersifat global atau garis besar, meskipun tidak secara keseluruhannya. Untuk menjelaskan hal-hal yang masih bersifat garis besar tersebut diperlukanlah penjelas yang berupa hadits dari Nabi Muhammad Saw. Hadits yang merupakan segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal (segala sifat dan keadaan) Nabi Muhammad Saw[1], mempunyai fungsi menjelaskan dan menjabarkan segala keterangan-keterangan yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global atau garis besar yang perlu adanya penjelasan dalam pemahamannya atau pelaksanaannya. Selanjutnya didalam memahami suatu hadits guna bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya metode yang sering disebut sebagai fiqih al hadits. Karena dengan adanya kerja sama antara ahli fiqih dan ahli hadits, ajaran Islam dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat pula diamalkan ajarannya secara benar[2]
Dalam perjalanan sejarah, karena banyak faktor yang mempengaruhi periwayatannya[3], para ahli hadits sangat berhati-hati didalam menerima periwayatan hadits tersebut, apalagi ketika masa muhaddisin dalam membukukan hadits, mengingat begitu pentingnya peranan hadits sebagai sumber Islam yang kedua. Para ahli hadits sangat selektif didalam meriwayatkannya dan mengambilnya sebagai sumber pegangan. Apakah termasuk hadits yang maqbul, yang bisa diterima dan bisa diamalkan atau termasuk hadits yang mardud, yang keberadaannya di tolak untuk diambil sebagai sumber pegangan[4]. Para ahli hadits mengkatagorikan hadits tersebut karena memandang dan memperhatikan perowi-perowi yang membawanya, apakah bisa dimasukkan sebagai hadits yang Maqbul  atau termasuk dalam katagori hadits yang mardud.. Karena secara struktur keberadaan hadits bisa dilihat dari aspek sanad (rantai penuturnya), matan (redaksi hadits) atau mukharij (rowi)[5].


Sehubungan dengan upaya tersebut, para ulama akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu. Sebagai langkah awal, mereka mengadakan penelitian pada sanad hadis. Ulama Hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting dalam riwayat hadis. Sebagai konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadis yang tidak memiliki sanad, oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis[6]
Di sinilah sebenarnya pentingnya membahas lebih lanjut dan mendalam tentang studi sanad kaitannya dengan keberadaan hadis Rasulullah. Makalah ini akan membahas I’tibar meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya.
B.     Rumusan Masalah
Berkaitan dengan kegiatan penelitian sanad (i’tibar meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatanya), akan kami paparkan mengenai beberapa para periwat hadits mulai dari masa sahabat sampai masa sesudah atba’at tabi’in, cara periwayatan dan penerimaannya, keadaaan / sifat rowi serta langkah-langkah dalam penelitian sanad.

A.    Para periwayat hadits [7]
Masa sahabat
Tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits :
1.    Abu Hurairoh
2.    Abdullah bin Umar
3.    Anas bin Malik
4.    Sayyidal Aisyah, umul mukminin
5.    Abdullah bin Anas
6.    Jabir bin Abdullah
7.    Abu Said al Khudri
Sebagian nama sahabat yang ternama :
1.    Abdullah bin Mas’ud
2.    Abdullah bin Amd bin Ash
3.    Abu Dzar al-Ghifari
4.    Sa’ad bin Abi Waqqash
5.    Mu’adz bin Jabal
6.    Abu Darda
Masa tabiin
1.    Said bin al-Musayyab
2.    Nafi’ (sahaya ibnu Umar)
3.    Muhammad bin Sirrin
4.    Ibnu Syihab az-Zuhri
5.    Sa’id bin Jubair
6.    Imam Abu Hanifah
Masa atba’at tabi’in
1.      Imam Malik bin Anas
2.      Imam Syafi’i
3.      Sufyan ats Tsaury
4.      Sufyan bin Uyainah
5.      Al Laits bin Sa’ad
Masa setelah atba’at tabi’in
1.      Imam Ahmad bin Hambal
2.      Imam Bukhori
3.      Imam Muslim
4.      Imam at Tirmidzi

B.     Cara periwayatan Al-Hadist
1.      Al-Sima’, yakni suatu cara yang ditempuh para muhaddisin periode pertama untuk mendapatkab hadits dari Nabi Muhammad Saw, kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Intinya mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dibacakan atau didektekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ...sami’tu.. ...haddatsana... ....akhbarona... ....khobbarna....qola.....
2.      Al-‘aradl, yakni si pembaca menyuguhkan hadistnya kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarkannya. Aradl juga diartikan bahwa seorang murid membacakan kitab kepada gurunya (qari’) sedang murid yang lain membandingkan hadist yang dibacakan itu dengan kitab mereka, atau mendengarnya dengan penuh perhatian, baru menyalinnya dengan kitab tersebut. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata..qoro’tu ‘ala fulan...
3.      Ijazah, yakni pemberian ijin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis darinya atau kitab-kitabnya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ..albaana...
4.      Munawalah, yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan dengan sanad darinya. Munawalah dibagi menjadi dua tipe :
a.       Dengan dibarengi ijazah, misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan “Riwayatkanlah dari saya ini……”
b.      Tanpa dibarengi ijazah, yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengan dari si Fulan, tanpa diikuti dari suatu perintah untuk meriwayatkannya.
5.      Mukatabah, yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadist kepada orang ditempat lain atau yang dihadapannya (korespondensi). Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ..akhbarona fulaan makatabah.... atau ...kataba ilayya fulaan qola haddasanaa fulaan...
6.      Wijadah, yakni memperolah tulisan hadist orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadl sama’, qiroah maupun selainnya, dari pemilik hadist atau pemilik tulisan tersebut (dalam arti lengkap dengan sanadnya). Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ....wajadtu bikhoththi fulaan, haddasana fulaan... (aku dapatkan pada tulisan fulan bahwasanya fulan menceritakan kepada kami...)
7.      Washiyah, yakni pesan seseorang dikala mau mati atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Tapi menurut Ibnu al Shalah tidak boleh meriwayatkan melalui metode ini karena yang namanya wasiat hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah dan bukan masalah periwayatan.
8.      I’lam, berarti pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadist yang ditunjuknya adalah hadits yang diterima dari seseorang, dengan tidak mengatakan menyuruh agar si murid meriwayatkannya.[8]
Selanjutnya Nurudin menjelaskan bahwa dengan melihat cara periwayatannya seperti tersebut di atas, maka hadits dapat diterima atau ditolak karena :
1.      Istilah istilah itu menunjukkan kepada kita cara yang ditempuh oleh seorang rawi dalam menerima hadits yang sedang kita teliti, maka kita akan tahu apakah cara penerimaan hadits itu benar atau salah. bila cara yang ditempuh itu tidak benar, maka gugurlah salah satu syarat diterimanya hadits.
2.      Jika seorang perowi menerimanya hadits dengan cara penerimaan yang dinilai rendah lalu dalam menyampaikannya menggunakan ungkapan yang lebih tinggi, seperti menggunahakan lafadh hassanana atau akhbarona untuk hadits yang diterima melalui ijazah maka berarti ia telah melakukan penipuan (tadlis) dan seringkali ulama menuduhnya berbuat dosa karena hal itu.[9]
C.    Pribadi Perawi Hadits
Meneliti pribadi perowi hadist dalam ilmu hadist disebut dengan Rijali al-Hadist, secara definisi diartikan ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in[10]
1.      Sahabat
Menurut para ulama sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rosulullah saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia dalam keadaan Islam[11]. Masa sahabat berakhir dengan wafatnya Abu Thufail Amir bin Watsilah al Laitsi al Kanani di tahun 100 H[12]. Sedangkan cara untuk mengenali sahabat adalah :
a.       Berita yang mutawatir dalam arti sudah diketahui secara meluas tentang persahabatannya dengan rasul. Misalnya tentang Khulafaurrosidin
b.      Dikenal, meskipun tidak meluas, seperti Dhammam bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Mihsshan
c.       Melalui pengukuhan sahabat lain, seperti Hamamah al-Dusi yang disaksikan oleh Abu Musa al-Asy’ari
d.      Melalui berita dari salah seorang tabi’in yang tsiqoh
e.       Pengakuan bahwa dirinya adalah sahabat, tetapi dengan dua syarat dia harus benar-benar adil dan hidup pada zaman yang memungkinkan.[13]
2.      Tabii’n
Tabi’in ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.[14] Menurut al Hakim masa tabiin berakhir setelah orang yang bertemu sahabat terakhir meninggal dunia. Jadi tabiin terakhir adalah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Makkah, As Saib di Madinah, Abu Ummah di Syam, Ubaidullah bin Abi Aufah di Kuffah dan Anas bin Malik di Basrah, yang berarti Kholid bin Khalifah dianggap sebagai tabiin terakhir (meninggal di tahun 180 H), karena pernah bertemu dengan seorang sahabat yang paling akhir wafatnya yaitu Abu Thufail di Makkah.[15]
Sebagian tabiin ada yang disebut sebagai mukhodhramun yaitu orang yang hidup semasa dengan Nabi Saw, pada masa jahiliyyah lalu masuk Islam dan tidak pernah berjumpa dengan beliau, seperti Abu Usman al Nahdi Abdurrahman bin Mullin (w. 95 H)[16]
3.      Tabi’it tabi’in
Tabi’it tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabiin dalam keadaan beriman kepada rasulullah saw.[17]dan meninggal dalam keadaan Islam[18]. Masa ini berakhir pada tahun 220 H.

D.    Kegiatan Penelitian Sanad
Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir. Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman sahabat Nabi, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lain.
Kegiatan penelitian hadis baik dari segi sanad maupun matan adalah bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima atau tidak, shahih atau dhoif. Salah seorang ulama hadis yang berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan hadis tersebut adalah Abu ‘Amr ‘Usman bin Abdir-Rahman bin al-salah asy-syahrazuri, yang biasa disebut Ibnus-Salah, adapun rumusannya adalah: Hadis shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz ) dan cacat (’illat)[19]
Adapun langkah-langkahnya adalah[20]
1.      Melakukan takhrij (meneliti sanad dan rawi)
Takhrij adalah menunjukkan asal beberapa hadits pada kitab-kitab yang ada (kitab-kitab induk hadits) dengan menerangkan hukum dan kualitasnya.[21] Dengan tujuan :
a.       Mengetahui keberadaan suatu hadits, apakah benar suatu hadits yang akan diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak
b.      Mengetahui sumber-sumber otentik suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapat
c.       Mengetahui ada berapa tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits atau dalam bebrapa buku induk hadits.
d.      Mengetahui kualitas hadits (maqbul atau mardud)[22]
Menurut Agil Husein al-Munawar dan Masykur Hakim metode untuk mentakhrij hadits adalah :
a.       Tahkrij dengan jalan mengetahui sahabat perawi hadits
b.      Tahkrij dengan jalan mengetahui lafadz pertama matan hadits
c.       Tahkrij dengan jalan mengetahui lafadz (yang sering digunakan) dari bagian matan hadits
d.      Tahkrij dengan jalan mengetahui topik hadits atau salah satu topiknya, jika ia memiliki topik yang banyak
e.       Tahkrij dengan jalan mengetahui sifat-sifat spesifik pada sanad hadits atau matannya[23]

Sanad
Mengetahui keadaan sanad hadits merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan penelitian hadits. Karena keadaan sanad-lah, yang menyebabkan kedudukan hadits itu berbeda-beda, dalam arti mungkin hadits yang satu lebih tinggi derajatnya dari hadits yang lain. Perbedaan inilah yang nantinya oleh para ahli hadits dijadikan patokan didalam mengklasifikasikan hadits. Apakah termasuk hadits muttashil[24] (bersambung sanadnya) dan munqothi’ (terputus sanadnya) jika dilihat dari aspek sanadnya[25]. Atau termasuk hadits yang sahih, hasan atau dhoif, jika dilihat dari kualitas perowi di dalam rangkaian sanadnya[26].
Sanad adalah rangkaian para rawi yang memindahkan matan dari sumber primernya, sehingga sanad hanya berlaku pada serangkaian orang, bukan dilihat dari pribadi secara perorangan.[27] Jadi yang perlu diperhatikan dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya adalah mengenai keutuhan sanadnya, jumlahnya dan peawi akhirnya.[28] Zeid B Smeer dalam bukunya Ulumul Hadits (pengantar studi hadits praktis) menjelaskan tentang tingkatan sanad dan jenisnya menurut muhaditsin, yaitu [29] :
1.         Ashahhu Al-Asanid (sanad - sanad yang lebih sahih)
Penilaian sanad yang dikhususkan baik kepada sahabat tertentu, penduduk tertentu atau suatu masalah tertentu. Misalnya :
a.    Jika dikhususkan pada sahabat tetentu misalnya Abu Hurairoh, rangkaian sanadnya yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairoh. Atau Ibnu Umar, rangkaian sanadya yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.
b.    Jika dikhususkan pada penduduk tertentu misalnya : penduduk Makkah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari ‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah. Kalau penduduk Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairoh.
c.    Contoh Ashahhu Al-Asanid yang mutlak adalah : jika menurut imam Bukhori ialah Malik, Nafi dan Ibnu Umar, jika menurut Ahmad bin Hambal adalah Az-Zuhri, Salim bin Abdillah dan ayahnya (Abdillah bin Umar), jika menurut imam An-Nasai adalah Ubaidillah ibnu Abbas dan Umar bin Khottob.
2.         Ahsanu Al-Asanid (sanand – sanad yang lebih hasan)
Hadits dengan Alsanu Al-Asanid lebih rendah tingkatannya jika dibanding Ashahhu Al-Asanid. Contoh antara lain jika ada hadits yang bersanad :
a.    Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah) dari kakeknya (Muawiyah bin Haidah
b.    Amru bin Syuaib dari ayahnya (Syua’aib bin Muhammad) dari kakeknya (Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash)
3.      Adh’afu Al-Asanid (sanad – sanad yang lebih lemah)
Hadits dengan rangkaian sanad ini adalah yang paling rendah tingkatannya. Contohnya :
a.       Yang dikhususkan pada sahabat tertentu
o  Abu Bakar Ash shidiq, hadist yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a
o  Abu Hurairoh r.a, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh As-Sariyyu bin Isma’il dari Dawud bin Yazid dari ayahnya dari Abu Hurairoh
b.      Yang dikhususkan pada penduduk
o  Kota Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin Umar dari Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a
o  Kota Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari Qurroh bin Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadits kepadanya
o  Kota Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Zaid dari Al-Qosim dari Abu Umamah r.a
Jenis sanad
1.      Sanad ‘Aliy adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibanding dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak.
2.      Sanad Nazil adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama, jika jumlah rawinya lebih sedikit.





Rowi
Pengertian rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaian[30] sedangkan Subhi As Shaleh menjelaskan bahwa rawi adalah orang yang mengutip hadits sekaligus dengan sanadnya dan ia bisa seorang laki-laki- atau perempuan[31].
Kemudian jumhur imam hadits dan fiqih menyepakati bahwa orang yang dapat dipakai hujjah riwayatnya hendaklah adil dan dhabith atas hadits yang diriwayatkannya.[32] Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan ke-dhabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat tsiqah, istilah tsiqah merupakan gabungan dari sifat adil dan dabit.[33]
Sedangkan perinciannya adalah bahwa rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat, terhindar dari kefasikan, bertaqwa dan memelihara muru’ah yakni kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan kebiasaan dan bila meriwayatkan secara makna, disyaratkan baginya untuk mengetahui kata-kata yang tepat seperti asalnya.[34]
Intelektual periwayat yang memenuhi syarat ke-shahihan sanad[35] hadis disebut sebagai periwayat yang dhabit, yaitu yang memiliki ciri sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila hadits yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan dan bila ia meriwayatkan hadits secara makna maka ia tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.[36]
Maka bagi perowi yang memiliki sifat-sifat tersebut diatas, maka hadits yang diriwayatkannya harus diamalkan dan dapat dipakai hujjah. Dan sebaliknya jika rawi tersebut tidak memiliki sifat di atas maka hadits periwayatannya harus diteliti dulu tingkat kecacatannya. Jika kecacatannya mengenai sifat ‘adalah perowi seperti kafir, gila, fasik maka itu tidak dapat diterima, kecuali bagi perowi fasik dan mau bertobat dari kefasikannya. Sedangkan jika kecacatannya dari sifat kedhabitahn maka periwayatannya tidak dapat diterima karena menunjukkan sifat ketidakcakapan perowi dalam meriwayatkan hadis.[37]
2.      Melakukan Itibar
Itibar adalah meneliti jalur-jalur periwayatan hadits yang diduga diriwayatkan sendiri, agar diketahui bahwa hadits tersebut memiliki hadits mutabi’ (yang mengikuti hadits dari jalur periwayatan lain yang semakna), syahidnya (hadits lain yang jadi penguat) atau tidak memiliki syahid atau mutabi’.[38]
Jadi dengan dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat nabi. Melalui al-i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki mutabi’ dan syahid ataukah tidak.
3.      Meneliti nama para perawi yang ada dalam rangkaian sanad baik tentang nama, nisbat, kunyah dan laqob (julukan) melalui kitab-kitab Rijal Al-Hadits
4.      Meneliti al-jarh wa ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi moral maupun aspek intelektualnya ( keadilan dan ke-dhabit-an )
Al-jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya. Sedang ta’dil diartikan sebagai kebalikan dari jarh yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia seorang yang adil dan dhabit.[39] Sehingga dengan meng-jarh wa ta’dil seorang perowi, kita dapat menetapkan periwayatan seorang rowi itu dapat diterima, atau ditolak sama sekali.[40]
Demikian paparan kami mengenai kegiatan penelitian sanad (I’tibar meneliti peibadi periwayat dan metode periwayatannya), kemudian dibagian akhir dari makalah ini kami beri contoh kegiatan penelitian sanad yang penulis ambil dari internet guna menambah pemahaman terkait materi yang sudah dipaparkan di atas.
Contoh :                                                           …………من رأى منكم منكرا
Dalam melakukan penelitian hadis ini, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah melacaknya dari berbagai macam kitab koleksi para kolektor hadis, diantaranya adalah pada kitab-kitab sbb:
1)      Shahih Muslim, Juz: 1 hal 69
حدثنا أبو بكر بن ابى شيبة حدثنا وكيع عن سفيان.خ- وحدثنا محمد بن المثنى. حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب وهذا حديث أبى بكر. فقال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام إليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ماهنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من راى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضهف الإيمان (أخرجه مسلم)
2)      Sunan al-Turmudzi, Juz: III, hal: 317-318
حدثنا بندار أخبرنا عبد الرحمن بن مهدى أخبرنا سفيان عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب قال: أول من قدم الخطبة قبل الصلاة مروان. فقال لمروان: خالفت السنة. فقال: يافلان ترك ما هنالك فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من راى منكرا فلينكره بيده ومن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان. هذا حديث صحيح (أخرجه الترمذى)
3)      Sunan Abi Dawud, Juz: I, hal: 123
حدسنا محمد بن العلاء, اثنا أبو معويه ثنا الاعمش عن عسماعيل ابن جاء عن أبي سعيد الحدري و عن قيس بن مسلم عن طا رق ابن شهاب. عن ابن سعيد الحدري قال : اخرج مروان المنبر فى يوم عيد فبدأ بالخطبة قبل الصلاة. فقام رجل فقال, يا مروان خالفت السنة اخرجت المنبر فى يوم عيد و لم يكن يخرج فيه وبدأت بالخطبة قيل الصلاة, فقال ابو سعيد الحدري : من هذا ؟ قالوا فلان ابن فلان, فقال أماهذا فقد قض ما عليه سمعت رسول الله صل الله عليه و سلم يقول, من رأى منكرا فستطاع ان يغيره بيده فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسنه, فان لم يستطيع فبقلبه و ذلك اضعف الايمان. ( سنن أبي داود)
حدسنا محمد بن العلاء وصناد بن السرى قال ثنا أبو معاويه عن الأعمش عن اسمعيل بن رجاء عن أبي سعيد و عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن أبي سعيد الحدرى , قال سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم يقول ( من رأى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده فليغيره بيده )
وقطع هناد بقيه الحديس ( وفاه ابن العلاء)
فان لم يستطيع فبلسانه, فان لم يستطيع (بلسانه) فبقلبه, ذلك أضعف الايمان
( سنن أبي داود : 123)
4)      Sunan Al-Nasa’I, Juz:VIII, hal:111-112
اخبرنا اسحق بن منصور و عمرو بن علي عن عبدالرحمن قال حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبى عمارعن عمرو بن شرحبيل عن رجل من أصحاب النبى صل الله عليه و سلم قال. قال رسول الله صل الله عليه وسلم ملئ عمار ايمانا الي مشاشه. أخبرنا محمد بنى بشا ر قال حدثنا عبد الرحمن قال حدثنا سفيان عن قيش بن مسلم عن طارق شهاب . قال أبوسهيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من رأى منكرا فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسانه فان لم يستطيع فبقلبه و ذلك اضعف الايمان. ( سنن النساءى)
حدسنا عبد الحميد بن محمد . قال حدثان مخلد قال حدسنا مالك بن مغول عن قيش بن مسلم عن طارق بن شهابز. قال. قال أبو سعيد الخدرى سمعت رسولله صل الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا فيغيره بيده فقد برئ و لم يستطيع ان يغير بيده فغيره بلسانه فقد برئ ومن لم يستطيع ان يغير بلسانه فغيره بلسانه فقد برئ و ذلك اضعف الايمان.  ( سنن النساءى)
5)      Sunan Ibnu Majah, Juz: I, hal: 406 dan Juz:II, hal:1330
حدثنا ابوكريب ثنا ابو معاوية عن الأعمش عن اسماعيل بن رجاء عن أبيه عن ابى سعيد وعن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن ابى سعيد قال: أخرج مروان المنبر يوم العيد فبدأ بالخطبة قبل الصلاة فقام رجل فقال: يامروان! خالفت السنة أخرجت المنبر يوم عيد ولم يكن يخرج به وبدأت بالخطبة قبل الصلاة ولم يكن يبدأبها فقال أبو سعيد: أما فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من راى منكرا فاستطاع أن يغيره بيده فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع بلسانه فبقلبه وذلك أضعف الإيمان  (سنن ابن ماجه)
6)      Musnad Ahmad, Juz: III, hal:10, 20, 49, 52, 53 dan 92
Dengan demikian, untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan  al-I’tibar, diperlukan pembuatan skema seluruh matarantai sanad hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni:
Adapun contoh skemanya untuk perawi shahih muslim adalah sebagai berikut:
Nama
Periwayat
Urutan
sebagai periwayat
Urutan
sebagai sanad
1.      Abu Sa’id
2.      Tariq bin Syihab
3.      Qais bin Muslim
4.      Sufyan
5.      Syu’bah
6.      Waki’
7.      Muhammad bin Ja’far
8.      Abu Bakr bin Abi Syaibah
9.      Muhammad bin al-Musanna
10.  Muslim
Periwayat I
Periwayat II
Periwayat III

Periwayat VI
Periwayat VII
Sanad VI
Sanad V
Sanad IV
Sanad III
Sanad III
Sanad II
Sanad II
Sanad I
Sanad I
Mukharrijul Hadits

Dengan memperhatikan skema gambar tersebut akan mudah dilakukan kegiatan al-I’tibar. Posisi masing-masing periwayat dan lambang-lambang periwayatan yang digunakan mudah dikenali dengan baik, sehingga dapat diketahui bahwa perawi yang berstatus syahid tidak ada, karena dalam kenyataanya Abu Sa’id merupakan satu-satunya sahabat Nabi saw yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti.










an tetapi untuk muttabi’, harus melihat pada masalah jika yang akan diteliti itu sanad dari al-turmudzi, maka Ahmad bin Hanbal merupakan muttabi’ bagi bundar. Bundar dalam hal ini sebagai sanad pertama bagi al-turmudzi, lalu pada sanad ke-II, ke-III dan ke-V bagi sanad al-turmudzi, masing-masing memiliki muttabi’ yaitu waki’ al-a’masy sebagai muttabi’-nya sufyan. Sedang raja’ sebagai muttabi’-nya thariq bin syihab.
Jadi muttabi’ bagi sanad al-turmudzi itu datang dari sanad al-Nasa’I, Ahmad bin Hanbal, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah




DAFTAR PUSTAKA


Al-Mas’udi, Hafid Hasan. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Surabaya: Salim Nabkan, tt.
Al-Munawar, Agil Husein. dkk, Dasar-Dasar Ilmu takhrij Hadits dan Studi Hadits. Semarang: Dina Utama, 1995.
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadits. Surabaya: Al-Muna, 2010.
As Shaleh, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Ismail, Syuhudi. Metode Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M Abdurrahman. Studi Kitab Hadits. Yogyakarya: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2008.
Nurudin ITR. Ulum Al-Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Rahman, Fatkhur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT AL Ma’arif, 1974.   
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Rohman, Fatkhur. Ikhtisar Musthlahul Hadits. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1985.
Smeer, Zeid B. Ulumul Hadis. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Solahuddin, M. Agus. Dkk. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Zarkasyi Chumaidy, Ahmad. Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan Meneliti al-Hadits. Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1990.




[1] M. Agus Solahuddin, dkk, Ulumul Hadis  (Bandung : Pustaka Setia, 2008),  17.
[2] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadits, (Surabaya : Al-Muna, 2010), v
[3] Munculnya hadits palsu yang disebabkan karena pertentangann politik soal pemilihan kholifah, adanyapihak lain yang  mau merusak ajaran Islam, adanya perang dalil dalam masalah madzah baik masalah fiqih atau kalam dan dalam rangka menjilat para penguasa dalam mencari kedudukan. Lihat karangan M. Agus Solahuddin, dkk,
   Ulumul Hadis (Bandung : Pustaka Setia, 2008), 176 – 181.
[4] H Zeid B. Smeer, Lc, M.A. Ulumul Hadis (Malang : UIN Malang Press, 2008), 31.
[5] M Agus Solahudin, 87
[6] Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta:CESad YPI Al- Rahmah, 2001), 16
[7] Subhi As Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), 10.
[8] Nurudin ITR, Ulum Al-Hadits (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), 197 – 211.
[9] Ibid, 208 – 2011, lihat juga As-Subhi, 93 – 107.
[10] Agus Solahuddin, 111
[11] Subhi, 325
[12] Ibid, 328
[13] Nurudin, 102-103, bandingkan dengan Subhi, 326
[14] Subhi, 330
[15] Ibid.
[16] Nurudin, 133.
[17] Ibid, 136.
[18] Subhi, 331.
[19] Agus Solahudin, 141
[20] Ibid., 204.
[21] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : Amzah, 2008), 116, baca Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 191.
[22] Ibid, 117 bandingkan dengan, Ahmad Zarkasyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan Meneliti al-Hadits (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1990), 7.
[23] Agil Husein al-Munawar dkk, Dasar-Dasar Ilmu takhrij Hadits dan Studi Hadits, (Semarang : Dina Utama,1995), 39.
[24] Yang dimaksud bersambung sanadnya adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerima nya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu seterusnya sampai pada pembicara yang pertama. Hal ini bisa diketahui dengan cara mencatat semua perawi yang ada dalam sanad, mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi dan meneliti kata yang menghubungkan antara para perawi dan rawi yang terdekat dalam sanad yang diteliti.Baca
    Agus Solahudin, 143
[25] H Zeid B. Smeer, 49.
[26] M Agus Solahudin, 141.
[27] Ibid., 89-90.
[28] Ibid., 92.
[29] Ibid. hal 94 – 97 dan bandingkan, Fatkhur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung : PT AL Ma’arif,
    1974), 26 – 28.   
[30] Agus, 99.
[31] Subhi As Shaleh, 111.
[32] Nurudin ITR, 64.
[33] Ibid., 67.
[34] Ibid., 64.
[35] Hadits baru akan diterima setelah diakui kesahehannya dengan indikator sanad dan transmisinya muttasil, perawinya adil, dhabit, tidak syadz (janggal) dan juga tidak ada ‘illah (cacat). Lihat dalam kata pengantar Studi  Kitab Hadits, karya M Abdurrahman, Yogyakarya : UIN Sunan Kalijaga, 2003, xvii
[36] Ibid., 66.
[37] Ibid., 64 – 73.
[38] Hafid Hasan Al-Mas’udi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Surabaya : Salim Nabkan, tanpa th), 108, baca Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadits Nabi (Jakarta : Bulan Bintan, 1992), 51.
[39] Nurudin, 78, bandingkan dengan Fatkhur Rohman, Ikhtisar Musthlahul Hadits (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1985),   268.
[40] Agus Solahuddin, 159.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Penelitian Sanad (I'tibar, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatan)"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*