(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
A.
Latar
Belakang Masalah
Al-Quran
dan Hadits merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam. Al-Qur’an merupakan
wahyu dari Allah SWT yang berisi tentang firman-firmanNya yang disampaikan
kepada Nabi Muhamad SAW melalui Jibril untuk diajarkan kepada umat manusia.
Dilihat dari isi teksnya, makna Al-Quran ada yang masih bersifat global atau
garis besar, meskipun tidak secara keseluruhannya. Untuk menjelaskan hal-hal
yang masih bersifat garis besar tersebut diperlukanlah penjelas yang berupa
hadits dari Nabi Muhammad Saw. Hadits yang merupakan segala berita yang
berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal (segala sifat dan
keadaan) Nabi Muhammad Saw,
mempunyai fungsi menjelaskan dan menjabarkan segala keterangan-keterangan yang
ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global atau garis besar yang perlu
adanya penjelasan dalam pemahamannya atau pelaksanaannya. Selanjutnya didalam
memahami suatu hadits guna bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
diperlukan adanya metode yang sering disebut sebagai fiqih al hadits. Karena
dengan adanya kerja sama antara ahli fiqih dan ahli hadits, ajaran Islam
dapat dibuktikan kebenarannya dan dapat pula diamalkan ajarannya secara benar
Dalam
perjalanan sejarah, karena banyak faktor yang mempengaruhi periwayatannya,
para ahli hadits sangat berhati-hati didalam menerima periwayatan hadits tersebut,
apalagi ketika masa muhaddisin dalam membukukan hadits, mengingat begitu
pentingnya peranan hadits sebagai sumber Islam yang kedua. Para ahli hadits sangat
selektif didalam meriwayatkannya dan mengambilnya sebagai sumber pegangan.
Apakah termasuk hadits yang maqbul,
yang bisa diterima dan bisa diamalkan atau termasuk hadits yang mardud, yang keberadaannya di tolak
untuk diambil sebagai sumber pegangan.
Para ahli hadits mengkatagorikan hadits tersebut karena memandang dan
memperhatikan perowi-perowi yang membawanya, apakah bisa dimasukkan sebagai
hadits yang Maqbul atau termasuk dalam katagori hadits yang mardud.. Karena secara struktur
keberadaan hadits bisa dilihat dari aspek sanad
(rantai penuturnya), matan (redaksi
hadits) atau mukharij (rowi).
Sehubungan
dengan upaya tersebut, para ulama akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu.
Sebagai langkah awal, mereka mengadakan penelitian pada sanad hadis. Ulama
Hadis menilai bahwa kedudukan sanad hadis sangat penting dalam riwayat hadis. Sebagai
konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadis yang tidak memiliki sanad,
oleh ulama hadis tidak dapat disebut hadis
Di sinilah
sebenarnya pentingnya membahas lebih lanjut dan mendalam tentang studi sanad
kaitannya dengan keberadaan hadis Rasulullah. Makalah ini akan membahas I’tibar
meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan
dengan kegiatan penelitian sanad (i’tibar meneliti pribadi periwayat dan metode
periwayatanya), akan kami paparkan mengenai beberapa para periwat hadits mulai
dari masa sahabat sampai masa sesudah atba’at tabi’in, cara periwayatan dan penerimaannya,
keadaaan / sifat rowi serta langkah-langkah dalam penelitian sanad.
Masa sahabat
Tujuh sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits :
1. Abu Hurairoh
2. Abdullah bin Umar
3. Anas bin Malik
4. Sayyidal Aisyah, umul mukminin
5. Abdullah bin Anas
6. Jabir bin Abdullah
7. Abu Said al Khudri
Sebagian nama sahabat yang
ternama :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Abdullah bin Amd bin Ash
3. Abu Dzar al-Ghifari
4. Sa’ad bin Abi Waqqash
5. Mu’adz bin Jabal
6. Abu Darda
Masa tabiin
1. Said bin al-Musayyab
2. Nafi’ (sahaya ibnu Umar)
3. Muhammad bin Sirrin
4. Ibnu Syihab az-Zuhri
5. Sa’id bin Jubair
6. Imam Abu Hanifah
Masa atba’at tabi’in
1. Imam Malik bin Anas
2. Imam Syafi’i
3. Sufyan ats Tsaury
4. Sufyan bin Uyainah
5. Al Laits bin Sa’ad
Masa setelah atba’at tabi’in
1. Imam Ahmad bin Hambal
2. Imam Bukhori
3. Imam Muslim
4. Imam at Tirmidzi
B. Cara periwayatan Al-Hadist
1. Al-Sima’, yakni suatu cara yang ditempuh
para muhaddisin periode pertama untuk mendapatkab hadits dari Nabi Muhammad
Saw, kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi berikutnya dengan cara
yang sama. Intinya mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dibacakan
atau didektekan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Ungkapan cara
meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya
adalah dengan menggunakan kata ...sami’tu.. ...haddatsana...
....akhbarona... ....khobbarna....qola.....
2. Al-‘aradl, yakni si pembaca menyuguhkan
hadistnya kepada sang guru, baik ia sendiri yang
membacanya maupun orang lain yang membacanya sedang dia mendengarkannya. Aradl
juga diartikan bahwa seorang murid membacakan kitab kepada gurunya (qari’)
sedang murid yang lain membandingkan hadist yang dibacakan itu dengan kitab
mereka, atau mendengarnya dengan penuh perhatian, baru menyalinnya dengan kitab
tersebut. Ungkapan cara
meriwayatkannya sesuai dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya
adalah dengan menggunakan kata..qoro’tu ‘ala fulan...
3. Ijazah, yakni pemberian ijin dari seseorang kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadis darinya atau kitab-kitabnya. Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara
penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata
..albaana...
4. Munawalah, yakni seorang guru memberikan
sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan dengan sanad darinya. Munawalah dibagi menjadi dua tipe :
a. Dengan dibarengi ijazah, misalnya setelah
sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan “Riwayatkanlah
dari saya ini……”
b. Tanpa dibarengi ijazah, yakni ketika
naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa
itu adalah apa yang didengan dari si Fulan, tanpa diikuti dari suatu perintah
untuk meriwayatkannya.
5. Mukatabah, yakni seorang guru yang menulis
sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadist kepada orang ditempat
lain atau yang dihadapannya (korespondensi). Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai
dengan cara penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan
kata ..akhbarona fulaan makatabah.... atau ...kataba ilayya fulaan qola
haddasanaa fulaan...
6. Wijadah, yakni memperolah tulisan hadist
orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadl sama’, qiroah maupun
selainnya, dari pemilik hadist atau pemilik tulisan tersebut (dalam arti
lengkap dengan sanadnya). Ungkapan cara meriwayatkannya sesuai dengan cara
penerimaan yang seperti ini diantaranya adalah dengan menggunakan kata ....wajadtu
bikhoththi fulaan, haddasana fulaan... (aku dapatkan pada tulisan fulan
bahwasanya fulan menceritakan kepada kami...)
7. Washiyah, yakni pesan seseorang dikala mau
mati atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Tapi menurut Ibnu
al Shalah tidak boleh meriwayatkan melalui metode ini karena yang namanya
wasiat hanya berfungsi sebagai pelimpahan hak milik atas naskah dan bukan
masalah periwayatan.
8. I’lam, berarti pemberitahuan guru kepada
muridnya bahwa hadist yang ditunjuknya adalah hadits yang diterima dari
seseorang, dengan tidak mengatakan menyuruh agar si murid meriwayatkannya.
Selanjutnya
Nurudin menjelaskan bahwa dengan melihat cara periwayatannya seperti tersebut
di atas, maka hadits dapat diterima atau ditolak karena :
1. Istilah istilah itu menunjukkan kepada
kita cara yang ditempuh oleh seorang rawi dalam menerima hadits yang sedang
kita teliti, maka kita akan tahu apakah cara penerimaan hadits itu benar atau
salah. bila cara yang ditempuh itu tidak benar, maka gugurlah salah satu syarat
diterimanya hadits.
2. Jika seorang perowi menerimanya hadits
dengan cara penerimaan yang dinilai rendah lalu dalam menyampaikannya
menggunakan ungkapan yang lebih tinggi, seperti menggunahakan lafadh hassanana
atau akhbarona untuk hadits yang diterima melalui ijazah maka berarti ia
telah melakukan penipuan (tadlis) dan seringkali ulama menuduhnya berbuat dosa
karena hal itu.
C. Pribadi Perawi Hadits
Meneliti pribadi perowi hadist
dalam ilmu hadist disebut dengan Rijali al-Hadist, secara definisi diartikan
ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan hal ikhwal dan sejarah
kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
1. Sahabat
Menurut
para ulama sahabat ialah orang yang bertemu dengan Rosulullah saw dalam keadaan
beriman dan meninggal dunia dalam keadaan Islam.
Masa sahabat berakhir dengan wafatnya Abu Thufail Amir bin Watsilah al Laitsi
al Kanani di tahun 100 H.
Sedangkan cara untuk mengenali sahabat adalah :
a. Berita yang mutawatir dalam arti sudah
diketahui secara meluas tentang persahabatannya dengan rasul. Misalnya tentang
Khulafaurrosidin
b. Dikenal, meskipun tidak meluas, seperti
Dhammam bin Tsa’labah dan Ukasyah bin Mihsshan
c. Melalui pengukuhan sahabat lain, seperti
Hamamah al-Dusi yang disaksikan oleh Abu Musa al-Asy’ari
d. Melalui berita dari salah seorang tabi’in
yang tsiqoh
e. Pengakuan bahwa dirinya adalah sahabat,
tetapi dengan dua syarat dia harus benar-benar adil dan hidup pada zaman yang
memungkinkan.
2. Tabii’n
Tabi’in
ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati
dalam keadaan islam.
Menurut al Hakim masa tabiin berakhir setelah orang yang bertemu sahabat
terakhir meninggal dunia. Jadi tabiin terakhir adalah orang yang bertemu dengan
Abu Thufail di Makkah, As Saib di Madinah, Abu Ummah di Syam, Ubaidullah bin
Abi Aufah di Kuffah dan Anas bin Malik di Basrah, yang berarti Kholid bin
Khalifah dianggap sebagai tabiin terakhir (meninggal di tahun 180 H), karena
pernah bertemu dengan seorang sahabat yang paling akhir wafatnya yaitu Abu
Thufail di Makkah.
Sebagian
tabiin ada yang disebut sebagai mukhodhramun yaitu orang yang hidup
semasa dengan Nabi Saw, pada masa jahiliyyah lalu masuk Islam dan tidak pernah
berjumpa dengan beliau, seperti Abu Usman al Nahdi Abdurrahman bin Mullin (w. 95
H)
3. Tabi’it tabi’in
Tabi’it
tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabiin dalam keadaan beriman kepada
rasulullah saw.dan
meninggal dalam keadaan Islam.
Masa ini berakhir pada tahun 220 H.
D. Kegiatan Penelitian Sanad
Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah
kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.
Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman Nabi dan zaman
sahabat Nabi, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lain.
Kegiatan penelitian hadis baik dari segi sanad maupun matan
adalah bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima
atau tidak, shahih atau dhoif. Salah seorang ulama hadis yang
berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan hadis tersebut adalah Abu ‘Amr
‘Usman bin Abdir-Rahman bin al-salah asy-syahrazuri, yang biasa disebut
Ibnus-Salah, adapun rumusannya adalah: Hadis shahih yaitu hadis yang
bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat
yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu
tidak terdapat kejanggalan (syuzuz ) dan cacat (’illat)
Adapun langkah-langkahnya adalah
1. Melakukan takhrij (meneliti sanad dan
rawi)
Takhrij adalah menunjukkan asal beberapa hadits pada kitab-kitab yang ada
(kitab-kitab induk hadits) dengan menerangkan hukum dan kualitasnya.
Dengan tujuan :
a.
Mengetahui keberadaan
suatu hadits, apakah benar suatu hadits yang akan diteliti terdapat dalam
buku-buku hadits atau tidak
b.
Mengetahui sumber-sumber
otentik suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapat
c.
Mengetahui ada berapa
tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits
atau dalam bebrapa buku induk hadits.
d.
Mengetahui kualitas
hadits (maqbul atau mardud)
Menurut Agil Husein al-Munawar dan Masykur
Hakim metode untuk mentakhrij hadits adalah :
a.
Tahkrij dengan jalan
mengetahui sahabat perawi hadits
b.
Tahkrij dengan jalan
mengetahui lafadz pertama matan hadits
c.
Tahkrij dengan jalan
mengetahui lafadz (yang sering digunakan) dari bagian matan hadits
d.
Tahkrij dengan jalan
mengetahui topik hadits atau salah satu topiknya, jika ia memiliki topik yang
banyak
e.
Tahkrij dengan jalan
mengetahui sifat-sifat spesifik pada sanad hadits atau matannya
Sanad
Mengetahui
keadaan sanad hadits merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan
penelitian hadits. Karena keadaan sanad-lah, yang menyebabkan kedudukan
hadits itu berbeda-beda, dalam arti mungkin hadits yang satu lebih tinggi
derajatnya dari hadits yang lain. Perbedaan inilah yang nantinya oleh para ahli
hadits dijadikan patokan didalam mengklasifikasikan hadits. Apakah termasuk
hadits muttashil
(bersambung sanadnya) dan munqothi’
(terputus sanadnya) jika dilihat dari aspek sanadnya.
Atau termasuk hadits yang sahih, hasan atau dhoif, jika dilihat dari kualitas perowi di dalam rangkaian
sanadnya.
Sanad adalah
rangkaian para rawi yang memindahkan matan
dari sumber primernya, sehingga sanad
hanya berlaku pada serangkaian orang, bukan dilihat dari pribadi secara
perorangan. Jadi
yang perlu diperhatikan dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya adalah
mengenai keutuhan sanadnya, jumlahnya dan peawi akhirnya.
Zeid B Smeer dalam bukunya Ulumul Hadits (pengantar studi hadits praktis)
menjelaskan tentang tingkatan sanad dan jenisnya menurut muhaditsin, yaitu
:
1.
Ashahhu Al-Asanid (sanad
- sanad yang lebih sahih)
Penilaian sanad yang dikhususkan baik kepada sahabat tertentu, penduduk
tertentu atau suatu masalah tertentu. Misalnya :
a. Jika dikhususkan pada sahabat tetentu
misalnya Abu Hurairoh, rangkaian sanadnya yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu
Syihab Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairoh. Atau Ibnu Umar,
rangkaian sanadya yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi dari Ibnu Umar.
b. Jika dikhususkan pada penduduk tertentu
misalnya : penduduk Makkah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari
‘Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah. Kalau penduduk Madinah, yaitu yang
diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu
Hurairoh.
c. Contoh Ashahhu Al-Asanid yang mutlak
adalah : jika menurut imam Bukhori ialah Malik, Nafi dan Ibnu Umar, jika
menurut Ahmad bin Hambal adalah
Az-Zuhri, Salim bin Abdillah dan ayahnya (Abdillah bin Umar), jika menurut imam
An-Nasai adalah Ubaidillah ibnu Abbas dan Umar bin Khottob.
2.
Ahsanu Al-Asanid (sanand – sanad yang lebih hasan)
Hadits dengan Alsanu Al-Asanid lebih rendah
tingkatannya jika dibanding Ashahhu
Al-Asanid. Contoh antara lain jika ada hadits yang bersanad :
a. Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin
Muawiyah) dari kakeknya (Muawiyah bin Haidah
b. Amru bin Syuaib dari ayahnya (Syua’aib bin
Muhammad) dari kakeknya (Muhammad bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash)
3. Adh’afu
Al-Asanid (sanad – sanad yang lebih lemah)
Hadits dengan rangkaian sanad
ini adalah yang paling rendah tingkatannya. Contohnya :
a. Yang dikhususkan pada sahabat tertentu
o
Abu
Bakar Ash shidiq, hadist yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi
Ya’qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a
o
Abu
Hurairoh r.a, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh As-Sariyyu bin Isma’il dari
Dawud bin Yazid dari ayahnya dari Abu Hurairoh
b. Yang dikhususkan pada penduduk
o
Kota
Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin Umar dari Al-Hakam bin
Aban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a
o
Kota
Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj ibnu
Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari Qurroh bin Abdurrahman dari setiap orang
yang memberikan hadits kepadanya
o
Kota
Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais dari Ubaidillah bin
Zahr dari Ali bin Zaid dari Al-Qosim dari Abu Umamah r.a
Jenis sanad
1. Sanad ‘Aliy adalah sebuah sanad yang
jumlah rawinya lebih sedikit jika dibanding dengan sanad lain. Hadits dengan
sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika
jumlah rawinya lebih banyak.
2. Sanad Nazil adalah sebuah sanad yang
jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits
dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama, jika
jumlah rawinya lebih sedikit.
Rowi
Pengertian
rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu
bahasa penyampaian
sedangkan Subhi As Shaleh menjelaskan bahwa rawi adalah orang yang mengutip
hadits sekaligus dengan sanadnya dan ia bisa seorang laki-laki- atau perempuan.
Kemudian
jumhur imam hadits dan fiqih menyepakati bahwa orang yang dapat dipakai hujjah
riwayatnya hendaklah adil dan dhabith atas hadits yang diriwayatkannya.
Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi, sedangkan
ke-dhabit-annya berhubungan dengan kapasitas intelektual.
Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut
dinyatakan sebagai bersifat tsiqah, istilah tsiqah
merupakan gabungan dari sifat adil dan dabit.
Sedangkan
perinciannya adalah bahwa rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat,
terhindar dari kefasikan, bertaqwa dan memelihara muru’ah yakni
kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya
kebajikan moral dan kebiasaan kebiasaan dan bila meriwayatkan secara makna,
disyaratkan baginya untuk mengetahui kata-kata yang tepat seperti asalnya.
Intelektual
periwayat yang memenuhi syarat ke-shahihan sanad
hadis disebut sebagai periwayat yang dhabit, yaitu yang memiliki ciri sikap
penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang diriwayatkan
berdasarkan hafalannya, benar tulisannya bila hadits yang diriwayatkannya
berdasarkan tulisan dan bila ia meriwayatkan hadits secara makna maka ia tahu
persis kata-kata apa yang sesuai untuk digunakan.
Maka bagi
perowi yang memiliki sifat-sifat tersebut diatas, maka hadits yang diriwayatkannya
harus diamalkan dan dapat dipakai hujjah. Dan sebaliknya jika rawi tersebut
tidak memiliki sifat di atas maka hadits periwayatannya harus diteliti dulu
tingkat kecacatannya. Jika kecacatannya mengenai sifat ‘adalah perowi
seperti kafir, gila, fasik maka itu tidak dapat diterima, kecuali bagi perowi
fasik dan mau bertobat dari kefasikannya. Sedangkan jika kecacatannya dari
sifat kedhabitahn maka periwayatannya tidak dapat diterima karena
menunjukkan sifat ketidakcakapan perowi dalam meriwayatkan hadis.
2. Melakukan Itibar
Itibar
adalah meneliti jalur-jalur periwayatan hadits yang diduga diriwayatkan
sendiri, agar diketahui bahwa hadits tersebut memiliki hadits mutabi’
(yang mengikuti hadits dari jalur periwayatan lain yang semakna), syahidnya
(hadits lain yang jadi penguat) atau tidak memiliki syahid atau mutabi’.
Jadi dengan
dilakukannya al-i’tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur
sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan
metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang
bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i’tibar adalah untuk mengetahui
keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya
pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi’ atau syahid (dalam
istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid) ialah
periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat
nabi. Melalui al-i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad
hadis yang diteliti memiliki mutabi’ dan syahid ataukah
tidak.
3. Meneliti nama para perawi yang ada dalam
rangkaian sanad baik tentang nama, nisbat, kunyah dan laqob
(julukan) melalui kitab-kitab Rijal Al-Hadits
4. Meneliti al-jarh wa ta’dil untuk
mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi moral maupun
aspek intelektualnya ( keadilan dan ke-dhabit-an )
Al-jarh
menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan ‘adalah atau ke-dhabit-annya. Sedang ta’dil
diartikan sebagai kebalikan dari jarh yaitu menilai bersih terhadap
seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia seorang yang adil dan dhabit.
Sehingga dengan meng-jarh wa ta’dil seorang perowi, kita dapat
menetapkan periwayatan seorang rowi itu dapat diterima, atau ditolak sama
sekali.
Demikian paparan kami mengenai kegiatan
penelitian sanad (I’tibar meneliti peibadi periwayat dan metode
periwayatannya), kemudian dibagian akhir dari makalah ini kami beri contoh
kegiatan penelitian sanad yang penulis ambil dari internet guna menambah
pemahaman terkait materi yang sudah dipaparkan di atas.
Contoh
: …………من رأى منكم منكرا
Dalam melakukan penelitian hadis
ini, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah melacaknya dari berbagai macam
kitab koleksi para kolektor hadis, diantaranya adalah pada kitab-kitab sbb:
1) Shahih Muslim, Juz: 1 hal
69
حدثنا أبو بكر بن ابى شيبة حدثنا وكيع عن سفيان.خ- وحدثنا محمد
بن المثنى. حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة
كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب
وهذا حديث أبى بكر. فقال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام إليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك
ماهنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى
ما عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول: من راى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضهف الإيمان (أخرجه مسلم)
2) Sunan al-Turmudzi, Juz:
III, hal: 317-318
حدثنا بندار أخبرنا عبد الرحمن بن مهدى أخبرنا سفيان عن قيس بن
مسلم عن طارق
بن شهاب قال: أول من قدم الخطبة قبل الصلاة مروان. فقال لمروان: خالفت السنة. فقال: يافلان ترك ما هنالك
فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى
عليه. سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يقول: من راى منكرا فلينكره بيده ومن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع
فبقلبه وذلك أضعف الإيمان. هذا حديث
صحيح (أخرجه الترمذى)
3) Sunan Abi Dawud, Juz: I,
hal: 123
حدسنا محمد بن العلاء, اثنا أبو معويه ثنا الاعمش عن عسماعيل
ابن جاء عن
أبي سعيد الحدري و عن قيس بن مسلم عن طا رق ابن شهاب. عن ابن سعيد الحدري قال : اخرج مروان المنبر فى يوم
عيد فبدأ بالخطبة قبل الصلاة. فقام
رجل فقال, يا مروان خالفت السنة اخرجت
المنبر فى يوم عيد و لم يكن يخرج
فيه وبدأت بالخطبة قيل الصلاة, فقال ابو
سعيد الحدري : من هذا ؟ قالوا
فلان ابن فلان, فقال أماهذا فقد قض ما
عليه سمعت رسول الله صل الله عليه و
سلم يقول, من رأى منكرا فستطاع ان يغيره
بيده فليغيره بيده فان لم يستطيع
فبلسنه, فان لم يستطيع فبقلبه و ذلك
اضعف الايمان. ( سنن أبي داود)
حدسنا محمد بن العلاء وصناد بن السرى قال ثنا أبو معاويه عن
الأعمش عن اسمعيل
بن رجاء عن أبي سعيد و عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن أبي سعيد الحدرى , قال سمعت رسول الله صل الله
عليه وسلم يقول ( من رأى منكرا
فاستطاع أن يغيره بيده فليغيره بيده )
وقطع هناد بقيه الحديس ( وفاه ابن العلاء)
فان لم يستطيع فبلسانه, فان لم يستطيع (بلسانه) فبقلبه, ذلك
أضعف الايمان
( سنن أبي
داود : 123)
4) Sunan Al-Nasa’I, Juz:VIII,
hal:111-112
اخبرنا اسحق بن منصور و عمرو بن علي عن عبدالرحمن قال حدثنا
سفيان عن الأعمش عن أبى عمارعن عمرو بن شرحبيل عن
رجل من أصحاب النبى صل الله عليه و
سلم قال. قال رسول الله صل الله عليه وسلم ملئ عمار ايمانا الي مشاشه. أخبرنا محمد بنى بشا ر قال حدثنا عبد الرحمن قال حدثنا سفيان
عن قيش بن مسلم عن طارق شهاب . قال أبوسهيد سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من
رأى منكرا فليغيره بيده فان لم يستطيع فبلسانه فان لم يستطيع فبقلبه و ذلك اضعف الايمان. ( سنن النساءى)
حدسنا عبد الحميد بن محمد . قال حدثان مخلد قال حدسنا مالك بن
مغول عن قيش
بن مسلم عن طارق بن شهابز. قال. قال أبو سعيد الخدرى سمعت رسولله صل الله عليه وسلم يقول من رأى منكرا
فيغيره بيده فقد برئ و لم يستطيع ان
يغير بيده فغيره بلسانه فقد برئ ومن لم
يستطيع ان يغير بلسانه فغيره
بلسانه فقد برئ و ذلك اضعف
الايمان. ( سنن النساءى)
5) Sunan Ibnu Majah, Juz: I,
hal: 406 dan Juz:II, hal:1330
حدثنا ابوكريب ثنا ابو معاوية عن الأعمش عن اسماعيل بن رجاء عن
أبيه عن ابى
سعيد وعن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب عن ابى سعيد قال: أخرج مروان المنبر يوم العيد فبدأ بالخطبة قبل
الصلاة فقام رجل فقال: يامروان! خالفت السنة أخرجت المنبر يوم عيد ولم يكن
يخرج به وبدأت بالخطبة قبل الصلاة ولم يكن يبدأبها فقال أبو سعيد: أما فقد قضى
ما عليه سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول : من راى منكرا فاستطاع
أن يغيره بيده فليغيره بيده فإن لم
يستطع فبلسانه فإن لم يستطع بلسانه
فبقلبه وذلك أضعف الإيمان (سنن ابن ماجه)
6) Musnad Ahmad, Juz: III,
hal:10, 20, 49, 52, 53 dan 92
Dengan
demikian, untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-I’tibar,
diperlukan pembuatan skema seluruh matarantai sanad hadis yang akan
diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian, yakni:
Adapun contoh skemanya untuk perawi shahih muslim adalah
sebagai berikut:
Nama
Periwayat
|
Urutan
sebagai periwayat
|
Urutan
sebagai sanad
|
1.
Abu Sa’id
2.
Tariq bin Syihab
3.
Qais bin Muslim
4.
Sufyan
5.
Syu’bah
6.
Waki’
7.
Muhammad bin Ja’far
8.
Abu Bakr bin Abi Syaibah
9.
Muhammad bin al-Musanna
10.
Muslim
|
Periwayat I
Periwayat II
Periwayat III
Periwayat VI
Periwayat VII
|
Sanad VI
Sanad V
Sanad IV
Sanad III
Sanad III
Sanad II
Sanad II
Sanad I
Sanad I
Mukharrijul Hadits
|
Dengan memperhatikan skema gambar tersebut
akan mudah dilakukan kegiatan al-I’tibar. Posisi masing-masing
periwayat dan lambang-lambang periwayatan yang digunakan mudah dikenali dengan
baik, sehingga dapat diketahui bahwa perawi yang berstatus syahid
tidak ada, karena dalam kenyataanya Abu Sa’id merupakan satu-satunya sahabat
Nabi saw yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti.
an tetapi untuk muttabi’, harus
melihat pada masalah jika yang akan diteliti itu sanad dari
al-turmudzi, maka Ahmad bin Hanbal merupakan muttabi’ bagi bundar.
Bundar dalam hal ini sebagai sanad pertama bagi al-turmudzi, lalu pada
sanad ke-II, ke-III dan ke-V bagi sanad al-turmudzi,
masing-masing memiliki muttabi’ yaitu waki’ al-a’masy sebagai muttabi’-nya
sufyan. Sedang raja’ sebagai muttabi’-nya thariq bin syihab.
Jadi muttabi’ bagi sanad
al-turmudzi itu datang dari sanad al-Nasa’I, Ahmad bin Hanbal, Muslim,
Abu Dawud dan Ibnu Majah
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadits. Surabaya: Al-Muna, 2010.
Ismail, Syuhudi. Metode Penelitian
Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2008.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta:
Gaya Media
Pratama, 1996.
Zarkasyi Chumaidy, Ahmad. Takhrij Al-Hadits, Mengkaji dan
Meneliti al-Hadits. Bandung:
IAIN Sunan Gunung Jati, 1990.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Penelitian Sanad (I'tibar, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatan)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*