Link terkait tulisan atau kajian tentang sistem pembelajaran: di sini
Baca juga:
Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)
Baca juga:
Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)
Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid
Oleh: Fuad Imron
(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri dan Kepala Sekolah SD Islam Al- Minhaj Wates Kabupaten Kediri)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah
satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari
keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun. Secara historis, Islam pada
mulanya memang turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada
dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun
untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan
hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu
berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat
selalu up to date dengan setiap masyarakat yang ada. Dengan demikian
diperlukan adanya reinterpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam agar dapat
didialogkan dengan setiap masyarakat yang dihadapinya.
Di Indonesia, Islam kembali menemukan momentum untuk bangkit
setelah Soeharto lengser dari kedudukannya. Para intelektual Islam menggunakan
momen keterbukaan yang ada untuk mendirikan partai-partai politik, ormas,
publikasi media, dan organisasi-organisasi payung untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami
kemajuan yang lebih cepat daripada masa sebelumnya. Dinamisasi Islam yang
terjadi tidak dapat dilepaskan dari munculnya para intelektual muda yang
mengenyam pendidikan barat. Sepulang dari barat, mereka berusaha menerjemahkan
pemikirannya dalam alam Indonesia yang majemuk. Dengan tidak bermaksud
mengesampingkan peranan para intelektual yang lain, dalam makalah ini akan
dideskripsikan pemikiran Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid merupakan tokoh yang besar peranannya
dalam mengembangkan pemikiran yang moderat di Indonesia. Pemikirannya
menginspirasi munculnya para intelektual muda yang menunjukkan dinamisasi Islam
di Indonesia.
Nurcholish Madjid telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim Indonesia. Amich Alhumami menyamakan peranannya seperti H. Agus Salim dan M. Natsir yang menjadi simbol kaum terpelajar pada masa awal kemerdekaan. Simbol itu sekarang melekat pada diri Madjid. Dalam konteks ini, posisi individualnya mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan kaum Muslim Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan dan melebih-lebihkan, dia dapat disebut sebagai sisi intelektual Muslim Modernis par exellence.[1] Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas beberapa pemikiran yang digagas dan dikembangkan oleh Nurcholish Madjid.
PEMBAHASAN
I.
Dinamisasi
Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Fakta bahwa
Islam bukanlah penyebab kemunduran umat muslim bukan berarti meniadakan
perlunya reformasi pemahaman Islam dewasa ini. Penekanan Islam pada aspek
keadilan, persaudaraan, dan toleransi serasa semakin melemah di berbagai belahan masyarakat muslim, demikian
halnya penekanan pada aspek pembangunan karakter. Reformasi
pemahaman Islam bisa dilakukan melalui jalan dialog. Peran pemerintah dalam hal
ini seharusnya adalah hanya terbatas pada penciptaan iklim yang kondusif bagi
proses dialog. Hal ini akan menciptakan hubungan baik antara pemerintah dan
ulama serta rakyat.[2] Sayangnya, wacana toleransi antar umat beragama yang
dikawal secara rapi semasa kekuasaan Orde Baru ternyata tidak mengakar pada
masyarakat, karena tampaknya pendekatan yang digunakan pada masa itu lebih
bersifat politik. Jadi, toleransi dan kehidupan harmonis yang dikonstruksi pada
masa itu tidak mengakar dan menjadi
kesadaran struktural tetapi lebih dilakukan sebagai keharusan karena ada
kontrol dan tekanan dari alat-alat kekuasaan negara.[3]
Sejarah
perjalanan umat Islam di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya memprihatinkan.
Bahkan Indonesia dapat disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam
mendialogkan Islam dan modernitas. Islam di Indonesia bersifat terbuka dan
toleran, sehingga mampu mendialogkan doktrin agama dengan modernitas. Keadaan tersebut berbeda dengan
yang terjadi di Timur Tengah dan wilayah-wilayah lain yang mengalami kegagapan
dalam berdialog dengan modernitas dan kemanusiaan, meskipun pemikiran pembaharuan Islam telah
terjadi lebih awal di wilayah tersebut. Di Indonesia, perubahan arah dari
gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh kekuatan Islam politik menjadi
de-Islamisasi negara yang dipelopori oleh para tokoh Islam semacam Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang telah
berlangsung sejak masa Orde Baru. Perubahan tersebut belum ditemukan padanannya
di wilayah lain, termasuk Timur Tengah.[4]
Meskipun tidak
dapat dipungkiri adanya peningkatan kemunculan kelompok-kelompok radikal di
Indonesia, namun secara keseluruhan basic landscap Islam di Indonesia adalah moderat. Selain
itu, gaung kampanye nilai-nilai Islam yang substantif seperti pembasmian
korupsi dan pembelaan terhadap kaum miskin menyebar ke seluruh pelosok tanah
air. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim di Indonesia tidak ragu dalam
menerima dan menyerap nilai-nilai demokrasi
yang sudah sejak lama diperjuangkan
tidak hanya oleh para pendiri bangsa tapi juga organisasi Islam yang
terus menggagas Islam yang kontekstual, yaitu yang mampu merespon secara
positif persoalan masa kini.
Islam di
Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Islam Timur Tengah. Sejak
awal kedatangannya, Islam di Indonesia mengalami proses akulturasi dengan
kepercayaan purba, pra Islam, dan sosio-kultural setempat. Sejak abad ke-17
para intelektual Muslim telah menanamkan benih-benih Islam progresif atau yang
sekarang sering disebut Islam kontekstual (moderat). Hal yang juga tidak kalah
penting adalah Islam di Indonesia tidak terbelenggu oleh romantisme kejayaan
masa silam.[5]
Menurut Amin Rais, dinamisasi syiar Islam beberapa tahun
terakhir disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: Pertama, Sejak masa orde lama, Islam
sebagai kekuatan politik mengalami kemandekan hingga runtuhnya Orde Baru.
Kemandekan tersebut mendorong umat Islam
untuk menggerakkan kegiatan sosial, pendidikan, budaya, serta dakwah secara intensif.
Kedua, watak Islam yang senantiasa dinamis tidak memungkinkan para
pemeluknya bersikap statis, bahkan menyebabkannya demikian luwes dan terus hadir
dalam segala cuaca politik. Ketiga, khusus di kampus, fenomena dakwah
yang beberapa tahun terakhir semakin meningkat menunjukkan adanya kesadaran
beragama di kalangan mahasiswa yang semakin mendalam. Keempat, adanya
kesadaran dari dalam diri generasi muda, juga karena ekologi sosial, politik,
dan budaya yang terus berubah seirama dengan proses pembangunan. Kelima,
Generasi muda yang makin terpelajar menyadari peliknya memecahkan berbagai
permasalahan nasional Indonesia di masa depan.[6]
II.
Tokoh
Intelektual Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Berbicara
mengenai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lepas dari gagasan
para tokoh intelektual Islam, antara
lain Nurcholish Madjid, Abdurrahman
Wahid, M. Amin Rais, A. Syafi’i Ma’arif, dan lain sebagainya. Pemikiran yang
mereka kembangkan banyak diikuti oleh para intelektual muda lain dan memberikan
inspirasi bagi upaya penyebarluasan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Misalnya
di Jakarta, Muncul tokoh Dawam Raharjo yang memimpin LSAF (Lembaga Studi Agama
dan Filsafat), Masdar Farid Mas’udi, Ulil Absar Abdalla, dan para intelektual
Paramadina. Di Yogyakarta kaum intelektual muda NU berhimpun dalam wadah LkiS.
Muncul juga gerakan post-tradisionalisme Islam. Dinamisasi pemikiran di kedua
kota tersebut secara cepat menyebar di perguruan tinggi-perguruan tinggi di
seluruh Indonesia.
A.
Riwayat
Hidup Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret
1939 dan meninggal tanggal 29 Agustus 2005. Pendidikannya dimulai dari Sekolah
Rakyat dan Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, dan kemudian di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo.
Setelah itu dia melanjutkan ke Fakultas
Sastra dan Kebudayaan IAIN Syarif Hidayatullah dan tamat pada tahun 1968. Tahun
1978-1984 dia melanjutka pendidikan doktoral di University of Chicago dan
meraih gelar Ph.D. dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu
Taimiyah.[7]
Kapasitas keilmuannya di bidang pemikiran Islam menjadikannya sebagai salah
satu tokoh penting dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Kemampuan
intelektualnya yang tinggi menjadikannya dipercaya sebagai ketua umum HMI
selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1972.) Selain itu dia pernah menjabat
sebagai Presiden PersatuanMahasiswa Islam Asia Tenggara.[8]
B. Pemikiran Nurcholish Madjid
Ide-ide Nurcholish Madjid mulai muncul semenjak ia
berkecimpung di dunia kampus. Hingga akhirnya dia dianggap sebagai salah satu
pencetus pembaruan pemikiran Islam. Ketokohannya secara tidak berlebihan
dianggap mewakili figur pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam secara
lebih brilian. Terbukti dengan banyaknya studi tentang pemikirannya dan
peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia.[9]
Nurcholish Madjid juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan pemikiran
Islam neo-modernis di Indonesia. Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya
sewaktu di Chicago.[10]
Gagasan neo-modernis Islam ini mendapat tempat di Indonesia, terutama di
kalangan intelektual muda sejak awal tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an,
bahkan hingga memasuki abad ke-21 sekarang.[11]
Mengenai
pemikiran Nurcholish Madjid, Abdurrahman
Wahid mengatakan bahwa dia berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan
oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan
yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya.
Penyerapan tersebut membuat Islam sarat dengan nilai universal. Karenanya,
Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan
semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia
hanya akan menyempitkan Islam sendiri.[12]
Tampaknya corak
pemikiran Madjid yang cenderung moderat sudah terarah sejak dia kecil. Hal itu
terlihat dari latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan pesantren.
Latar belakang pendidikannya di beberapa Pesantren baik di Jombang maupun di
Gontor juga semakin mengukuhkan corak pemikirannya. Hal itu semakin dipertajam
setelah dia berada di dunia kampus, baik ketika di IAIN maupun di Chicago.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa pemikiran Nurcholish Madjid yang
membawa pengaruh besar pada rekonstruksi pemikiran Islam dan dinamisasi
semangat keislaman di Indonesai.
1.
Tentang
Substansi
Nurcholish Madjid
dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan
sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan
peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta
ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan
Hadīth yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali
berdasarkan runtut dan rentang waktu sejarah kaum Muslim serta
dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.[13]
Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang
disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan
kata lain, sebagai salah satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai
keindonesiaan, Islam harus tampil produktif dan konstruktif terutama dalam
mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi
kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan bersama bangsa Indonesia.[14]
Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya menekankan
manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Bukan
hanya dalam penampilan akan tetapi juga dalam format pemikirannya. Menurut
Madjid, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim
politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan
islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Proses
Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan
demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada
menjadi gerakan politik.[15]
Pemikiran Madjid tersebut tampaknya terinspirasi dari pengalamannya
berada di dunia barat dimana etika dan nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan
dengan baik. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami”
daripada umat Islam yang berada di negara-negara yang mayoritas penduduknya
Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragaman Islam,
maka nilai-nilai keislaman yang seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya
mengarah pada kesalihan pribadi dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan
harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
2.
Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid
menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia
tidak dapat dihadang, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa
pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang.
Ia mengajukan gagasan tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan.
Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal,
pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan
sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan
politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).[16]
Gagasan
integrasi keislaman dan keindonesiaan yang ditawarkan Madjid sejalan dengan
konsep pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid.[17]
Keduanya sebenarnya merupakan bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat.[18] Dalam hal ini, Madjid menyatakan perlunya frame of
reference (kerangka referensi) yang jelas mengenai keindonesiaan. Dia
merasa optimis bahwa semangat nasionalitas adalah modal yang baik untuk
mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, yakni suatu bentuk saling
pengertian yang berakar dalam semangat untuk saling memberi dan menerima. Sikap
untuk saling memberi dan menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing
kelompok, golongan, maupun agama.[19]
Dengan adanya
integrasi keislaman dan keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis
Indonesia siap menghadapi dan menerima modernisasi. Modernisasi berarti
rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang
maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja
menurut fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah telah
mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk menjadi modern,
manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu
(perintah Allah). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu
pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh
manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional.[20]
3.
Penerimaan
Terhadap Pancasila
Mengenai
penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam Indonesia, Madjid
mengapresiasi peran besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat
diterima oleh umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana
caranya untuk mengisi dan menjalankan Pancasila secara lebih baik dan konsisten.
Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, maka terbuka lebar
kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif
untuk mengisi dan melaksanakannya.[21] Madjid
mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila
setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya
dibenarkan oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan
antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.[22]
Madjid membenarkan pernyataan Mohammad Hatta, salah seorang penanda
tangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya kelak disebut Pancasila itu, yang me
rumuskan bahwa sila Ketuhanan Yanag Maha Esa adalah sila primer dan utama yang
menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Begitu pula pendapat Hamka yang menyatakan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila
dan sila apapun dalam kehidupan manusia. Ketuhanan atau tauhid itulah yang mendasari
dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia dan menjadi
intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi.[23]
Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara Islam, karena
yang terpenting adalah substansinya, bukan bentuk formalnya. Dia lebih setuju
terhadap konsep dan eksistensi negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.[24]
Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara berfikirnya
yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara yang berusaha mendirikan negara
Islam memberikan pelajaran bahwa konsep tersebut hanya akan mengecilkan dan
mempersempit peranan Islam sendiri sebagai sebuah sistem nilai. Perdebatan
mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah dianggap selesai pada saat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam
Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam Islam.
4.
Islam
Yes, Partai Islam No!
Mangenai
peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan pendapat “Islam
yes, partai Islam no!”.
Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak
menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi
absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam
yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang
terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan
korupsi.[25]
Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya yang
terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami
dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.[26]
Sebagaimana
telah diketahui, partai Islam yang bermunculan setelah Indonesia merdeka.
Partai-partai tersebut bertarung pada pemilu tahun 1955 dan banyak yang
mengalami kegagalan. Hingga akhirnya pada masa Suharto partai-partai tersebut
difusikan dalam satu partai, yaitu PPP. Setelah terbukanya pintu reformasi,
partai Islam bermunculan kembali, namun tetap kalah oleh partai nasionalis.
Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan PAN yang menggunakan Pancasila
sebagai ideologi partainya. Meskipun di satu sisi keduanya diuntungkan dengan
adanya basis massa yang besar (NU dan Muhammadiyah), namun di sisi lain
penggunaan ideologi Pancasila pada dua partai tersebut menunjukkan sikap
terbuka keduanya dalam menyikapi keberagaman Indonesia.
5.
Sekularisasi
bukan Sekularisme
Salah
satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah
tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang
dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya, yang dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating
development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam
perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka
Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal.[27] Oleh
karena itu, sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan
yang membebaskan, yang menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme
Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula dengan fungsi mereka
sebagai khalifah Allah di atas bumi.[28]
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis.
Tetapi dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di
hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi sifat
kaum muslimin. Mengenai banyaknya sikap
kontra terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah
menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.[29]
Sekularisasi yang dimaksud di atas
tampaknya mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana urusan
dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara bebas dan
kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk mampu berijtihad
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul.
6.
Peranan
Umat Islam
Mengenai peranan
yang harus dimainkan umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga
hal, yaitu: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam
hal ini Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh
masyarakat. Kedua, Mengembangkan pemahaman terhadap agama Islam sebagai
sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami
perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk
mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini
harus dijadikan pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan
proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.[30]
Madjid
menegaskan pendiriannya bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka dan
demokratis. Sehingga Pancasila harus dapat difahami secara benar agar tidak
berubah menjadi rumusan-rumusan dogma yang mati dan kaku. Sikap yang tepat
terhadap Pancasila akan menutup kesenjangan antara konsep keumatan dan
kenegaraan, khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Dengan hilangnya kesenjangan, maka dapat diharapkan pada diri umat Islam rasa
ikut memiliki Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini selanjutnya akan melandasi
perkembangan hubungan antara Islam dengan Indonesia, yaitu bahwa keislaman
adalah keindonesiaan dan keindonesiaan adalah sebagian besar keislaman.[31]
Keparalelan
keislaman dengan keindonesiaan, menurut Madjid secara lebih lanjut
mengisyaratkan pengakuan akan absahnya pandangan yang melihat perlunya membuat
interpretasi - jika bukan adaptasi - ajaran-ajaran universal Islam untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan nyata Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya,
Indonesia akan menjurus menjadi sebuah “negara santri.”[32]
Ini tidak berarti Pancasila akan terhapus atau terganti, akan tetapi
nilai-nilai Pancasila akan mengejawantah dalam bentuk inlai-nilai kesantrian
yang kosmopolit dan nasional.[33]
Menurut Madjid,
Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam bersifat
universal yang terbebas dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain, Islam harus
hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia terbungkus
oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang universal hanya bisa ditangkap
dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia
menjadi bentuk dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam
dapat muncul dalam berbagai warna dan corak.[34]
Dengan
demikian, integrasi antara keislaman dan keindonesiaan akan dapat terwujud jika
umat Islam mampu memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu
sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan karena
pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam
yang masuk dengan damai dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di
Indonesia, yang banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam
pada dasarnya sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh
sebelum kemerdekanaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang
berkembang setelah jatuhnya Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat
Islam untuk semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam
kehidupan masyarakat modern.
7.
Nurcholish
h Madjid dan Paramadina
Ide-ide
pembaruan Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat organisasi
Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina berhasil
menarik para elit dan profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha,
mahasiswa, dan pegawai negeri untuk mendalami Islam dan mengokohkan
keimanannya, dan mengarahkan pandangan progresif tentang peranan agama di
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa peranan Paramadina mirip dengan fungsi
madrasah atau tradisi pesantren akhir abad ke-20. Paradigma neomodernisme
tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Sebagaimana pernyataan Madjid
sebagai pendirinya, paramadina adalah lembaga pendidikan yang secara penuh
mempercayau bahwa nilai-nilai Islam universal dapat dibuat konkrit dalam
konteks tradisi lokal Indonesia serta keislaman dan keindonesiaan. Yayasan
Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang kreatif, konstruktif dan
produktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif atau bahkan
reaksioner.[35]
Paramadina
mangakomodir banyak pengusaha santri dan para birokrat santri terutama yang ada
di kota besar seperti Jakarta yang membutuhkan sejenis majlis taklim yang
modern dan corak kehidupan Islam yang lebih intelektual.[36] Melalui
Paramadina, Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi
pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya yang menjadi pendukung
pemikirannya dari kalangan santri kota. Paramadina sebagai lembaga keagamaan
dengan semangat keterbukaan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat yang
mampu untuk mengatasi perbedaan orientasi engan menciptakan pemikiran dan network
yang kuat bagi pemberdayaan masyarakat madani. Di paramadina pula dikembangkan
pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat dipakai sebagai common platform
bagi proses pemberdayaan itu.[37]
Menurut Madjid,
program Paramadina merupakan “human investment” yang bersifat jangka
panjang, sehingga harapan jangka pendek dapat diantisipasi. Apalagi jika
harapan-harapan tersebut bersifat politik, maka akan dihindari. Dalam gerakan
intelektual, dimensi waktu disadari berada dalam skala besar, karena itu
bersifat prediksi. Prediksi dan harapan yang akan dicapai Paramadina adalah demokratisasi,
yaitu demokratisasi dalam konteks keindonesiaan. Keindonesiaan inilah yang
diharapkan akan terwujud di Indonesia. Dalam hal ini, Madjid membandingkan
dengan Amerikanisme di Amerika. Sekalipun Amerika terdiri dari berbagai bangsa
dan agama, basis karakter dan etika Amerika sebagian besar berakar dalam
Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat Laut.[38]
Gagasan Madjid
tersebut tampaknya mengarah kepada masa depan Indonesia yang dia harapkan dapat
memiliki suatu karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dengan
membandingkan kuatnya karakter kaum Protestan di Amerika, semestinya yang
terjadi di Indonesia adalah kuatnya karakter Islam dalam kehidupan kebangsaan,
mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Selain itu, niali-nilai
Islam sudah banyak yang menyatu dengan kultur Indonesia, terutama karena Islam
masuk ke Indonesia secara damai.
III.
Analisis
Pemikiran Nurcholish Madjid
Dari beberapa pemikiran Nurcholish Madjid tersebut di atas,
terdapat keparalelan. Pemikiran tentang substansi Islam yang harus dikedepankan
daripada formalitas dan simbol-simbol belaka mengarah pada penerapan Islam
sebagai suatu sistem nilai. Sistem nilai ini kemudian harus diterapkan dengan
mempertimbangkan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam hal ini memunculkan
ide integrasi keislaman dan keindonesiaan. Integrasi yang diterapkan akhirnya
mengarah kepada penerimaan Pancasila sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa
Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dapat
menjadikan Islam lebih membumi. Penolakan Madjid terhadap partai Islam
dimaksudkan agar Islam tidak terkebiri oleh pemeluknya sendiri. Penerapan
substansi nilai Islam lebih baik daripada penggunaannya secara formal dalam
bentuk ideologi negara maupun partai, mengingat Islam memiliki nilai-nilai yang
bersifat universal.
Sekularisme yang digagas
Madjid bukan dimaksudkan untuk menjauhkan umat dari ajaran agama, melainkan
untuk mengarahkan mereka menuju keseimbangan antara kehidupan antara dunia dan
akhirat. Umat Islam harus dapat memilah dengan benar mana urusan agama dan mana
urusan dunia. Pendapat tersebut memiliki korelasi dengan pemikiran-pemikiran
Madjid secara keseluruhan. Harapannya Umat Islam dapat lebih maju dan siap
menjadi modern dengan tidak meninggalkan Islam dalam nuansa keindonesiaan.
Meskipun banyak yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid, terutama
dari kalangan umat Islam yang berfikir moderat, namun demikian banyak pula yang
menolak ide-ide tersebut, terutama dari kalangan fundamentalis. Kaum
fundamentalis menganggap Madjid pro barat dan berusaha meggiring umat Islam
menjadi seperti bangsa barat yang kafir. Secara umum, masyarakat yangmenerima
pemikiran Madjid lebih banyak daripada yang menolak. Hal itu diindikasikan
dengan semakin banyaknya kajian baik secara lisan dan tulisan mengenai
pemikirannya dan para pemikir yang lain yang sejalan dengannya.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pasca
turunnya Suharto umat Islam memperoleh momentum untuk meloncat lebih jauh ke
depan setelah sebelumnya terkungkung oleh kediktatoran Orde Baru. Para
intelektual Muslim menggugah kesadaran kaum muda melalui pemikiran-pemikirannya
untuk menjadika Islam lebih berkembang secara dinamis.
2.
Nurcholish
Madjid dikategorikan sebagai kelompok
pemikir substantivistik. Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid
mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan
keindonesiaan. Dalam konteks Indonesia, Madjid mengarahkan umat Islam untuk
menerima Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Selain itu dia juga menawarkan ide
tentang sekularisme.
3.
Untuk
mengaplikasikan pemikirannya, Madjid mendirikan Paramadina. Paramadina diharapkan menjadi investasi
jangka panjang yang dapat mengarahkan umat Islam Indonesia menjadi masyarakat
modern yang demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Chapra, M.
Umer, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi, Terj.
Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010)
Hidayatullah
Syarif, Islam “Isme-isme”: Aliran dan
Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Madjid,Nurcholish
, Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998)
---------, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008)
---------,
Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010)
----------,
Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1997)
Mujib, Ibnu
& Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog Membangun Fondasi Dialog
Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Qodir, Abdul, Jejak
langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2004)
Rakhmat,
Jalaluddin, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 2010)
Rais, M. Amin, Cakrawala
Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994)
Taufiq, Akhmad
et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 151
Tsani,
Iskandar, Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri:
STAIN Kediri Press, 2009)
Zubaidi, Islam
dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
[1] Amich Alhumami, “Gerakan
Modernisme Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid”, dalam: Jalaluddin
Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
h Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 2010), 387.
[2] M. Umer Chapra, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan
Perlunya Reformasi, Terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010), 249.
[3] Ibnu Mujib & Yance Z. Rumahuru, Paradigma
Transformatif Masyarakat Dialog
Membangun Fondasi Dialog Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), 1.
[4] Syarif Hidayatullah, Islam
“Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 100.
[5] Ibid., 101.
[7] Akhmad Taufiq,
et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 151., .Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), V.,
[8] Akhmad Taufiq, et.al., Sejarah Pemikiran,151-152.
[9] Ibid., 152.
[10] Fazlur Rahman
adalah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari
Pakistan dan menetap di Amerika. Neo-modernis yang dicetuskannya adalah sebuah
gerakan pemikiran Islam progresif yang muncul dari modernisme Islam namun
mencakup juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan ini
mempunyai empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran al-Qur’an yang
sistematis dan komprehensif; kedua, penggunaan metode hermeneutika dan
kritik historis; ketiga, pembedakan secara jelas antara normativitas
Islam dan historisitas Islam; dan, keempat, penggabungan unsur-unsur
tradisionalisme dan modernisme Islam. Lihat: Hidayatullah, Islam “Isme-isme”,
107.
[11] Zubaidi, Islam
dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 175.,
Hidayatullah, Islam “Isme-isme”, 109.
[12] Abdurrahman Wahid menyebut Nurcholish h Madjid dan dua temannya
saat di Universitas Chicago, yaitu Syafi’i Ma’arif dan Amin Rais, sebagai “Tiga
Pendekar dari Chicago”. Namun sayangnya ketiganya tidak menampilkan citra dan
pemikiran yang sama dan padu. Pemikiran ketiganya sering bertabrakan. Hal
itu berbeda dengan para alumni Universitas McGill di
Montreal yang hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersifat terbuka
pada hal-hal baru, termasuk gagasan kerukunan antar umat beragama. Lihat:
Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago”, dalam: Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish h Madjid Jejak Pemikiran,
18-19.
[13] Iskandar Tsani,
Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri: STAIN Kediri
Press, 2009), 121.
[14] Ibid, 123-124.
[15] Abdul Qodir, Jejak langkah Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 122.
[16] Madjid, Islam, Kemodernan, 39.
[17] Menurut Abdurrahman Wahid, ide Pribumisasi Islam dimaksudkan
sebagai usaha melakukan pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan
masalah-masalah di Indonesia. Pada tingkatan yang lebih kontekstual,
pribumisasi ini sebenarnya tidak lain adalah usaha kontekstualisasi ajaran
Islam. Baginya, pribumisasi adalah upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya.
Pribumisasi Islam bertujuan membuat Islam sebagai nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, bukan sesuatu yang asing bagi kehidupan umat. Hal tersebut
tampaknya dimaksudkan sebagai upaya agar umat Islam Indonesia menerima kesadaran dan wawasan
kebangsaan sebagai realitas dan tidak perlu dipertentangkan, karena Indonesia
sebagai suatu bangsa mempunyai pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan
asal muasal sosial kelahiran dan keberadaan Islam dari tempat aslinya (Arab)
Lihat: Qodir, Jejak Langkah,76.
[18] Ibid., 89
[19] Ibid., 86.
[20] Madjid, Islam, Kemodernan, 182.
[21] Nurcholish Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 2010), 77.
[22] Qodir, Jejak langkah,
160.
[23] Madjid, Islam, Kemodernan, 189.
[24] Tsani, Transformasi Pemikiran, 133.
[25] Madjid, Islam, Kemodernan, 205.
[26] Tsani, Transformasi Pemikiran, 131.
[27] Ibid., 5.
[28] Nurcholish Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, 215.
[29] Ibid., 207.
[30] Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 76.
[31] Nurcholish
Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1997), 57-58.
[32] Madjid
menggunakan istilah santri sebagai bandingan kaum abangan. Karena istilah
kesantrian sesungguhnya merupakan ciri
kultural penduduk Muslim Indonesia, kecuali orang-orang abangan. Lihat :
Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 60.
[33] Secara lebih jauh, Madjid mencontohkan
paradigma salah satu negara sekuler demokratis, yaitu Amerika Serikat yang
secara tidak resmi sering disindir sebagai negara WASP (White Anglo-Saxon
Protestants). Yang terjadi di
Indonesia yang berpancasila, sedang tumbuh potensi untuk menjadi negara
santri. Jadi para santri adalah WASP-nya
Indonesia. Lihat: Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 61.
[34] Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, xix.
[35] Zubaidi, Islam
dan Benturan, 174-175.
[36] Moeslim Abdurrahman, “Modernisme Islam dan Semangat Swalayanisme”,
dalam: Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
Madjid Jejak Pemikiran, 26.
[37] Qodir, Jejak Langkah, 114
[38] Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai
Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998),
310.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*