Orientasi Idiologis Gerakan Modern dalam Islam:
Fundamentalisme, Radikalisme, dan Liberalisme
Oleh: ADY ALFAN MAHMUDINATA
A.
Pengantar
1.
Identifikasi
Masalah
Pada saat ini, wacana keagamaan Islam
mengalami perkembang dengan munculnya berbagai aliran madzhab Islam
modern. Hal ini adalah sebagai suatu bentuk aksi perlawanan Muslim terhadap
dominasi modernisasi Barat. Islam yang notabenenya adalah lawan Barat
pada era keemasan Islam menjadikan umat Islam merasa tertuntut untuk melawan
dominasi barat tersebut. Zaman modern yang dikuasai oleh Barat sejak akhir
perang dunia I hingga saat ini, dirasa membawa pengaruh di seluruh dunia Islam.
Kebanyakan muslim menganggap modernisasi Barat telah banyak menghilangkan
nilai-nilai ajaran Islam, prinsip kebudayaan modern yang lebih banyak dipengaruhi
oleh Barat yang mempunyai kecerendungan menyangkal realitas Ilªhiy dan melahirkan sebuah gaya hidup sekuler sangat
bertentangan dengan prinsip dasar Islam.
Namun sebagian muslim ada pula yang beranggapan bahwa patutnya Islam
mengadopsi sistem Barat yang benar-benar telah sukses adanya sebagai bentuk
aktualisasi kemajuan zaman dalam hal-hal keduniawiyan. Mereka berorintasi pada
tujuan untuk merebut kembali kejayaan Islam dari tangan Barat.
Dalam menghadapi modernisasi, para pemuka umat Islam berusaha merumuskan
kembali doktrin agama mereka agar mampu merespon secara tepat semua bentuk
tantangan yang muncul. Namun, upaya dalam merumuskan bentuk respon tersebut, tidaklah
menjadikan semua kalangan umat Islam bersepakat menerimanya yang terjadi adalah
bermunculannya perbedaan asumsi mereka dari berbagai pendekatan yang menjadikan
tumbuhnya perseberangan orientasi mereka, bahkan menjadi bahan pertikaian atar
sesama muslim.
Hal inilah yang melahirkan emberio gerakan-gerakan modern dalam Islam (fundamentalisme,
radikalisme, dan liberalisme) yang masing-masing memiliki berbagai macam bentuk
pemikiran dan gerakan, masing-masing gerakan tersebut merasa bahwa merekalah
yang paling berada pada posisi yang mendekati kebenaran yang dikehendaki Allah
SWT dan mereka juga merasa bahwa merekalah yang menjadi wakil Allah yang sah di
muka bumi, yang berhak menerjemahkan maksud Allah yang tertuang dalam kitab
suci al-Qur’an, sehingga tejadilah perselishan faham diantara gerakan-gerakan
tersebut. Setelahnya, gerakan-gerakan modern dalam Islam tersebut tetap terus
berjalan dengan konsisten sesuai asumsi mereka masing-masing dalam pemahaman
yang berbeda.
Bagaimanakah idiologis gerakan fundamentalis, radikalis dan liberalis dalam
Islam? Apakah dampaknya terhadap Islam?
2.
Pendekatan dan
Sistematika Pembahasan
Pendekatan yang digunakan dalam paper ini
adalah pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis
digunakan untuk menelaah obyek kajian paper ini dari aspek
sejarahnya. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui
bagaimana respon umat Islam dalam menghadapi perkembangan
kebudayaan modernisasi Barat. Oleh karena
itu, maka penulisan mengacu pada penelitian kepustakaan (library research) terhadap literatur-literatur yang terkait dengan kajian yang sesuai dengan bahasan.
3.
Literatur
pembahasan
Beberapa buku literatur
yang terkait dalam pembahasan paper ini yang sengaja penulis gunakan adalah Aziz Ahmed “Political and Religious
Ideas of Shah Waliyullah of Delhi, The Muslim World Hartford Seminary
Foundation1962, Ahmad Asroni Radikalisme Islam Di IndonesiaTawaran
Solusi untuk mengatasinya 2011, Azumardi
Azra Pergolakan politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Post modernism 1996, Kurzman, ” Islam Liberal dan Konteks Islaminyah,” dalam Wacana Islam
Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul
Ulum dan Heri Junaidi 2003, Eko Prasetyo Islam Kiri Melawan Kapitalisme
Modal : Dari Wacan Menuju Gerakan 2002, Qutb, Ma’lim al-£ariq 1992, Fazlur Rahman Islam
dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual 1995, Michael A. Riff (ed), Kamus Idiologi Politik
Modern terj. M. Miftahuddin dan Hartian Silawati 1995, Shalahuddin, Henri, Memaknai LiberalismeIslam 2010, dan Taufiqurrahman, Pemikran Dan Gerakan Pembaruan Islam Abad Modern Dan
Kontermporer 2009.
B.
Kerangka
Teoritis
Umat Islam pada umumnya percaya bahwa ajaran Islam itu
bersifat universal tetapi pemahaman kaum muslimin terhadap ajaran universal tersebut
bersifat polyinterpretable (banyak interpretasinya)-bukan interpretasi tunggal.
Karena pemahaman kaum muslimin terhadap Islam bersifat polyinterpretable, hal
ini nampak dan berimplikasi pada formulasi pemikiran dan praktek politik di
negara-negara muslim kontemporer
Dalam penelitian ini, dari kerangka pemikiran yang
dikemukakan di atas peneliti pergunakan dalam menelusuri bagaimanakah idiologi
Islam fundamental, radikal, dan liberal dalam wacana pemikiran politik muslim.
C.
Pemaparan
Materi
1.
Gerakan Fundamentalisme Dalam Islam
Fenomena fundamentalisme yang tidak hanya
dipahami sebagai sebuah gejala agama, sosial, budaya dan bahkan politik
. Hal ini, juga dapat dilihat dalam perspektif
kelompok fundamentalisme dalam Islam. Istilah
fundamentalisme Islam, kendati populer di barat menyusul pecahnya revolusi
Islam di Iran tahun 1978-1979, yang membuktikan kemenangan sejarah kaum militan
Islam atas rezim sekuler, namun istilah ini seringkali digunakan untuk
menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan
nafas kebangkitan Islam (
Islamic revival).
Penggunaan Istilah ini, awal mulanya juga
dinisbatkan berkaitan dengan kebangkitan Fundamentalisme dalam Protestanisme
Amerika yang kemudian dipakai untuk menyebut fenomena yang memiliki “kemiripan”
dalam dunia Islam.
Secara terminologis, fundamentalisme
diidentikkan sebagai kelompok Islam tradisionalis, yang secara historis juga
disebut sebagai kelompok konservatif, merupakan sebutan lain kelompok revivalis
yang muncul pada abad 18 di Arab, India dan Afrika.
Gerakan
ini pada umumnya muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan
reaksi terhadap Barat, kendati dalam gejala serupa ada yang
menunjukkan bahwa kasus revivalisme Islam menemukan momentum tepat sebagai
respon terhadap merosotnya nilai-nilai agama akibat kultur yang
Barat sentris.
Berkaitan dengan ini,
pada masa Islam klasik telah muncul gerakan-gerakan fundamentalis yang dikenal
dengan sebutan Usuliyah al-Islamiyah dan Muttatarif, seperti Islamiyun,
Ashliyun, Salafiyun, Muta’asibin.
Secara umum, karakteristik
gerakan revivalisme ini adalah : pertama, memiliki keprihatinan yang
mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam; kedua, menghimbau
umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits serta menghilangkan
praktik-praktik taÊayul, bid’ah dan khurafªt; ketiga,
menghimbau umat Islam agar membuang sikap fatalisme; keempat, menghimbau
umat Islam untuk melaksanakan pembaharuan, lewat jihad jika diperlukan. Gerakan
revivalisme ini, pada tahap berikutnya dasar-dasarnya digunakan oleh modernisme
klasik yang kemudian direspon oleh gerakan neo-revivalisme. Namun karena
sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan Islam dengan Barat, maka
gerakan kelompok ini cenderung eksklusif, apologetik dan tidak otentik.
Kelompok fundamentalisme
keagamaan yang berkeyakinan bahwa Islam mencakup segaka aspek dan ruang
kehidupan (shumul) ini, berupaya bagaimana agar Islam diwujudkan dalam
kehidupan, yang karenanya menuntut struktur dan piranti kekuasaan yang menjamin
terlaksananya Syariat Islam tersebut.
Gerakan fundamentalisme Islam yang pernah
muncul yakni salafisme yang berupaya menekankan kepada sumber Islam yang otentik
(al-Qur‟an, Sunnah Nabi dan tradisi pasa generasi
Muslim awal, salaf). Salafisme cenderung skripturalis dan tradisionalis,
seperti halnya
Wahhabiyah oleh Muhammad Ibnu Abdul
Al-Wahab, Sanusiyyah pengikut Muhammad Ibnu Ali As-Sanusiy,
Mahdiyyah dari golongan Syiah, dan
ajaran-ajaran yang bersumber dari Shah Waliyullah Ad-Dihlawiy.
Gerakan-gerakan fundamentalis ini adalah gerakan yang menjadi titik awal
munculnya gerakan-gerakan Islam selanjutnya, yakni gerakan yang sama dalam orientasinya ataupun gerakan
yang berbeda orientasinya sebagai gerakan tandingan. Seperti halnya radikalisme
yang muncul sebagai pembaharu dari fundamentalisme dan juga liberalisme Islam
sebagai gerakan modern yang tidak sepaham dengan adanya fundamentalisme Islam.
2.
Gerakan Radikalisme Dalam Islam
Radikalisme Islam tidak lahir begitu
saja. Ada konteks yang melatarbelakangi dan tidak melulu disebabkan oleh satu
faktor. Ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi kemunculan organisasi Islam
yang berhaluan radikal. Dimensi politik, sosial, dan ekonomi telah menjadi
konteks yang signifikan dalam membaca gerakan radikalisme Islam di setiap negara.
Perubahan politik yang berimplikasi pada kebebasan berekspresi, krisis ekonomi
yang berkepanjangan, dan perubahan tata nilai masyarakat menjadi salah satu
penyebab lahirnya radikalisme, yang ditopang oleh cara pandang keagamaan yang
skripturalistik.
Sebagai sebuah faham, radikalisme
Islam tentu saja tidak dapat dipisahkan dari gerakan Islam sebelumnya yakni fundamentalisme Islam. Bahkan radikalisme sering dikatakan dengan
fundamentalisme baru. Keduannya
merupakan gerakan keislaman yang sehati dan seirama dalam orientasinya, sama halnya seperti fundamentalisme Islam, term dan konsep
radikalisme Islam bukanlah berasal dari rahim Islam itu sendiri, akan tetapi
sebenarnya merupakan produk impor dari Barat. Hingga detik ini, belum ada
kesepakatan diantara pemerhati Islam mengenai istilah yang tepat untuk
menggambarkan gerakan radikalisme Islam. Fazlurrahman Rahman melabeli gerakan
ini sebagai gerakan neorevivalisme atau neofundamentalisme,
sebuah gerakan yang mempunai semangat anti Barat.
Sedangkan John L. Esposito yang dikutip oleh Ahmad Asroni menjuluki gerakan ini dengan Istilah Islamic revivalisme
untuk membedakan dari istilah fundamentalisme yang dinilai khas
protestan. Hampir senada dengan John
L. Esposito, Azyumardi Azra mengatakan radikalisme Islam merupakan bentuk
ekstrim dari gejala revivalisme.
Kendati para ahli Islam tidak ada kesepakatan dalam melabeli gerakan ini, namun
secara idiologis terdapat benang merah yang dapat ditarik dari gerakan ini,
yaitu: absolutis, skripturalis, opositinalis, puritan, dan radikal Islam.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya gerakan
radikalisme Islam. Faktor ini bersifat internal dan eksternal
1) Skripturalisme-Idiologis
Faktor
internal yang ada dalam pemahaman terhadap pemaknaan teks-teks ajaran Islam
yang dimiliki kaum radikalis sediri, salah satu kecenderungan kaum
radikalis adalah skripturalis atau literalis dalam menafsirkan teks-teks agama.
Mereka menolak studi kritis terhadap teks-teks agama semisal hermeneutika. Mereka lebih
condong menafsirkan teks secara harfiah. Dengan penafsiran yang bersifat
harfiah ini tidak jarang mereka menjadikan teks kitab suci sebagai justifikasi
atau legitimasi dalam melakukan tindakan kekerasan.
Terkait dengan idiologisasi Islam, Sayyid Qutb mengatakan
bahwa pokok pemikiran para radikalis Islam berbasis pada konsep Hakimiyyat
Allªh, yaitu pengakuan akan otoritas tuhan dan syari’at-Nya
semata diatas bumi dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya. Landasan berpikir itu berupa kalimat tauhid lª ilªha
illa Allªh, yang berarti tiada tuhan
selain Allah dan tiada otoritas dan syariat kecuali syari’at
dan otoritas
Allah. Sehingga, itu berimplikasi secara epistimologis pada penegasian semua
yang bukan Allah dan bukan dari Allah adalah batil sehingga melabeli setiap
pelaku pebuatan yang bukan atas syari’at Allah dengan
label musyrik, kafir, fasik, dan zalim
Kaum
radikalis melabeli manusia yang tidak tunduk dengan kedaulatan dan sistem Allah
(syari’at Allah) sebagai musyrik jahiliyah. Hal ini lantaran telah
mempersekutukan Tuhan dengan mengakui otoritas selain-Nya dan menggunakan
sistem selain sistem-Nya. Pandangan mereka itu berpijak pada firman
Allah dalam Q.S al Maidah : 44-47.”.......... wa man lam yahkum bi mª anzala Allah faulªika
hum al-kªfirõn.....al-§ªlimõn....al-fasiqõn”.... “barang siapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir..... dholim....
fasik...”. Ide absolutitas akan otoritas Tuhan dan syari’at-Nya
ini tentu saja tidak mengakui demokrasi. Karena baginya demokrasi adalah buatan
manusia bukan berasal dari Tuhan. Singkatnya,
manusia harus menerima kedaulatan Tuhan. Kaum radikalis meyakini bahwa semua
telah taken for granted dari Allah. Untuk meralisasikan “kedaulatan Tuhan”
ini, maka mereka menerapkan syari’at Islam di level publik (negara). Hal inilah
yang menjadikan pengakuan mereka bahwa merekalah umat terbaik, umat Islamiyah yang
berjalan pada rel kebenaran. Pendapat mereka adalah pendapat terbenar dan harus ditaati
karena berpegang pada “Syari’at” Tuhan, sedang pendapat yang lainnya dalah
salah. Oleh karenanya, mereka yang bid’ah/sesat harus dimusuhi.
2) Respon terhadap Modernisasi, Sekularisasi
Faktor yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap munculnya kaum
radikalis adalah respon terhadap meluasnya modernisasi Barat. Bagi sebagian kalangan Islam, wacana modernisasi kerap
disalahpahami. Terlepas dari perdebadan konseptual mengenai modernisasi, bagi
kalangan radikalis Islam modernisasi tetaplah dianggap membahayakan ajaran dan
identitas Islam karena merupakan produk Barat. Hal ini sesuai dengan konsep
logika berpikir mereka yaitu apapun yang berasal dari produk Barat harus
ditolak. Karen
Armstrong, menandaskan bahwa gerakan fundamentalisme (baca:radikalisme)
mempunyai hubungan yang erat dengan modernitas. Fundamentalisme abad ke-20
merupakan reaksi terhadap kebudayaan sekuler dan ilmiyah yang muncul pertam
kali di Barat yang kemudian merambah ke berbagai penjuru Dunia.
Karen
Armstrong juga menuturkan bahwa di dunia Islam saat ini, beberapa kalangan
muslim memiliki perhatian terhadap dua masalah. Pertama,
mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik,
gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar
masyarakat mereka diperintah menurut hukum Islam (Syari’at). Hal ini merupakan bentuk corak dari kaum radikalis yang muncul akibat
adanya paham sekularisme dalam Islam (pemisahan antara agama dengan negara)
karena hal ini merupakan produk dari politik Barat. Mereka merujuk pada masa kemasan
nabi Muhammad dan khulafªu al-rªshidin yang mampu menjayakan negara dengan
menegakkan hukum Islam.
3) Kapitalisasi Global dan Kemiskinan
Munculnya radikalisme Islam akibat adanya
kapitalisasi global serta kemiskinan tidaklah bisa dipungkiri, menurut Fredman.
Berkembnagnya kapitalisme pasti akan diikuti oleh makin berkurangnya ruang
gerak kelompok-kelompok sosial dan keagamaan karena terdesak oleh
kegiatan-kegiatan ekonomi.Diakui
atau tidak, krisis ekonomi di berbagai belahan dunia termasuk di negara-negara
Islam telah menyulut bangkitnya gerakan radikalisme Islam. Sebagaimana
diutarakan oleh Mansour Fakih, kaum radikalis menganggap bahwa kemiskinan yang
melilit umat Islam disebabkan karena semakin banyaknya umat Islam yang justru
menganut atau memakai ideologi lain atau isme lain sebagai dasar pijakan
ketimbang menggunakan al-Qur’an sebagai acuan dasar. Selain itu mereka juga
beranggapan bahwa kapitalisme merupakan salah satu agenda Barat dan konsep non
Islami yang dipaksakan pada masyarakat muslim.
Dari ketiga faktor penyebab munculnya gerakan radikalis Islam di atas
dapatlah dimengerti motif yang ada pada pergerakan ini yang berimplementasi
pada kebencian terhadap Barat. Mereka beranggapan bahwa Barat telah berdosa
besar karena telah menindas Islam dengan menjajah keseluruh wilayah negara Islam
dan menularkan/meninggalkan kebudayaan yang menyimpang dari syari’at Islam baik
itu faham modernisasi , sekularisasi, dan kapitalisasi.
Gerakan Islam radikal awalnya muncul sebagai gerakan yang berkedok pada
fundamentalisme (neofundamental) ataupun revivalisme pasca modernisme, maraknya
westernisme yang terjadi di dunia Islam saat itu menimbulkan pergolakan
penolakan tehadap modernisme, seperti yang terjadi di Mesir dengan gerakan
Ihwanul Muslim yang dipelopori oleh Hasan Al-Banna dan di Pakistan dengan gerakan Jamª’atu al-Islami yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi.
Namun kedepannya gerakan-gerakan ini menjadi bibit tumbuhnya gerakan radikal
yang sangat ekstrim di berbagai negara-negara Islam.
Di Indonesia organisasi-organisasi Islam yang berhaluan radikal juga
bermunculan, seperti halnya: KISDI, KAMMI, FPI, HTI, dll. Masing-masing klompok
ini sering menemakan perjuangan dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
menggunakan tindakkan kekerasan, ketika kelompok ini melihat realitas sosial
yang penuh dengan aroma kemaksiatan, yang didasarkan kepada tekstualitas Êadis: man ra’ª minkum munkaran…., kelompok ini tidak jarang melakukan
pemberantasan terhadap segala sesuatu yang berbau ma’ªîiy, dhunub,munkarªt, faÊsha’, nifªq, muÊarramªt dan sebagainya. Misalnya
eksploitasi seksual dalam berbagai media, perzinaan, perjudian, minum-minuman
keras, dan seabrek kehidupan “dugem” yang harus diberantas. Selain itu, Perjuangan
kultural dilakukan oleh kelompok-klompok ini
dengan membuka ruang diskursus dan sangat reaktif terhadap kelompok yang
diklaim sebagai liberal dan bernaung dibawah JIL.
Pada kenyataannya ormas ini sering mendapat kecaman dan tudingan yang
miring dari berbagai pihak karena yang sifatnya anarkis dan merugikan bahkan
membahayakan keselamatan orang lain.
3.
Gerakan Liberalisme Dalam Islam
Istilah Islam liberal pertama dipopulerkan
Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an. Liberal diambil
dari bahasa Latin liber, free. Dalam Oxford
English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam
bahasa Inggris dengan makna sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati dalam
seni liberal. Sedangkan liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik (faham) yang
menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak
warganya. Liberalisme bermaksud bebas dari
batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta,
atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan
dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati,
keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalismme juga mengesampingkan
hak Tuhan dan semua kekuasaan yang berasal dari Tuhan.
Istilah Islam liberal tampaknya bukan merupakan nama baku dari satu
kelompok Islam, namun hanyalah satu kategori untuk memudahkan analisis. Dari
berbagai istilah yang disebutkan para pakar pendapat dari Kurzman adalah
pendapat yang paling spesifik Kurzman mengakui bahwa konsep Islam liberal
memang terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a
contradiction in term). Kurzman menyatakan bahwa konsep Islam liberal harus
dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak. Di
sinilah kurzman mendefinisikan “liberal” dengan pengertian yang agak longgar,
yakni kelompok yang bersikap oposan terhadap revivalis Islam. Sementara revivalis
Islam dipahami dengan mereka yang mempercayai bahwa Islam memiliki peranan
penting dalam dunia kontemporer, sebagai lawan dari kaum sekularis.
Menurut Kurzman, benih-benih paham liberal dalam pemikiran Islam
sesungguhnya telah muncul di antara gerakan-gerakan revivalis Islam sejak abad
XVIII, masa yang subur bagi perdebatan-perdebatan keislaman.
Figur terpenting yang menjadi rujukan bagi paham Islam liberal (liberal
Islam) terdapat pada diri Shah WalÌyullªh (1703-1762).
Argumentasi menempatkan Shah WalÌyullªh sebagai nenek moyang intelektual Islam liberal
dapat diamati dari pemikirannya yang tampak lebih humanistik dibanding dengan
MuÊammad bin ‘Abdul Wahhªb (1703-1787) dan pelopor kebangkitan Islam
lainnya. Sebagai contoh, WalÌyullªh sangat toleran dengan adat istiadat lokal,
yang mungkin oleh kaum revivalis dianggap telah bertentangan dengan rumusan
Islam ortodoks. WalÌyullªh juga sangat menekankan pentingnya ijtihad,
dan menolak taqlid.
Namun setelahnya faham liberalisme
Islam ini semakin berkembang dalam bentuk pandangan yang ekstrim pada kecenderung
memusuhi dogma agama dan meninggikan filsafat humanistik, puncaknya
seiring munculnya modernis dan juga radikalis dikalangan umat Islam
serta pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme
yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang
anti kemapanan.
Terdapat enam tema pokok yang
senantiasa diwacanakan kelompok Islam liberal: Pertama,
adalah menentang teokrasi. Kedua, adalah demokrasi. Ketiga,
adalah hak-hak perempuan. Keempat, adalah hak-hak non muslim. Kelima,
adalah kebebasan berpikir. Keenam, adalah gagasan tentang kemajuan (the
idea of progress).
Tokoh-tokoh awal yang dianggap cenderung pada faham liberalisme Islam
diantaranya adalah : ‘Ali ‘Abd al-Raziq (Mesir, 1888-1966) dipecat dari jabatannya
di al-Azhar karena berpendapat bahwa Islam menyerahkan bentuk pemerintahan
kepada temuan pemikiran manusia; Muhammad Khalaf Allah (Mesir, 1916-1997) tidak
hanya dipaksa membakar seluruh karyanya, tetapi juga dipaksa menegaskan kembali
keimanannya dan memperbaharui ikatan perkawinannya; Mehdi Bazargan (Iran,
1907-1995) didepak dari posisi perdana menteri dan kemudian keluar dari
parlemen Iran; Muhammad Shahrour (Syria, lahir 1938) menyaksikan karya-karyanya
dilarang masuk di beberapa wilayah Timur Tengah; Abdul Karim Soroush (Iran,
lahir 1945) dilarang berbicara di depan publik Iran dan diancam hukuman mati.
Seiring berjalannya waktu, gerakan Islam liberal tetap eksis keberadaannya
dalam dunia Islam yang menyebar di berbagai wilayah negara Islam sebagai
gerakan Islam tandingan atas Islam fundamental atau Islam radikalis. Di
Indonesia misalnya, pada tahun 2005 gerakan ini berani mendeklarasikan
keberadaannya dengan nama Jaringan Islan Liberal (JIL) di saat Indonesia sedang
geger masalah terorisme yang diisukan didalangi oleh para radikalis Islam.
4. Munculnya Pandangan Negatif Terhadap Umat
Islam
Telah didengar berbagai tuduhan kepada seseorang muslim, organisasi muslim dengan teroris, fundamentalis, ekstrim, fanatik atau radikal dan teriakan terbaru sebagai penggilan pelecehan kepada mulimin di dunia baru-baru ini adalah “Islamofasisme”. Ini adalah gelar
terkini bagi umat Islam yang datang dari pihak yang menyatakan perang terhadap
terorisme di negara-negara Barat. Gelar fasis untuk umat Islam ini
menyebar dengan cepat dan menjadi bahasa semua orang seperti halnya panggilan Islam sebagai teroris yang sulit dipisahkan baik di
media-media informasi dan pidato politik negara-negara Barat. Pada hakikatnya, istilah-istilah tersebut adalah hanya panggilan yang berbeda-beda untuk satu pihak
yang sama yaitu Islam. Panggilan dan penamaan dari orang yang melihat Islam sebagai musuh yang mengancam. Pandangan negatif terhadap dunia Islam semacam ini sangat berbahaya
karena itu refleksi atas pembuat keputusan yang menggelisahkan seluruh umat Islam.
Peristiwa penghinaan dan tudingan terhadap Islam bukanlah hal yang langsung
terjadi tanpa sebab dan akibat. Hal ini adalah akibat kefahaman terhadap Islam
yang sering mereka lihat dan dengarkan melalui media-media Informasi. Banyaknya tindakan-tindakan sekelompok umat
Islam yang sangat tidak manusiawi cenderung pada hal-hal yang anarkis, kejadian-kejadian ekstrem seperti serangan teroris
tanggal 11 September di Amerika Serikat, atau
kejadian-kejadian di tempat lain. Pengalaman dan kesan dari kejadian-kejadian
tersebut sering mengarah pada negatif
dibanding positif. Sering kali bukanlah Islam yang dipahami,
tetapi lebih pada perilaku Muslim yang dibiaskan sebagai gambaran Islam karena mereka
bertindak “atas nama Islam” tetapi sesungguhnya mereka sama sekali tidak
mewakili mayoritas Muslim.
Tudingan-tudingan miring kepada umat Islam yang gencar keberadaannya
sebenarnya merupakan buah hasil dari tindakan-tindakan dari kaum radikalis yang menamakan Islam sebagai orientasi
gerakannya, seperti organisasi
al-Qa’idah, Taliban dan lain sebagainya. Radikalisme yang dulunya merupakan faham pemikiran yang memproklamirkan
perlawanan terhadap Barat menjadi sebuah faham yang lebih ekstrim mengusung
kebencian terhadap Barat bahkan menjurus pada tindakan perang terhadap Barat.
Faktor-faktor yang menjadikan faham
radikalisme berubah menjadi faham yang sangat ekstrim diantaranya adalah disebabkan
oleh adanya penjajahan
negara-negara Barat terhadap Timur Tengah dan wilayah negara lain, Sejauh
keprihatinan pasca periode penjajahan,
konflik Arab-Israel adalah faktor yang teramat penting. Pada awalnya konflik
ini hanyalah semacam nasionalisme tentang perselisihan tanah Palestina. Namun
demikian, dalam perkembangan waktu, hal ini mendapatkan dimensi-dimensi lain
secara gamblang yakni konflik antara Yahudi dan Muslim. Dukungan kuat Barat secara terus menerus
terhadap Israel dan sikap Barat yang sering dilihat sebagai kebijakan standar
ganda terhadap Timur Tengah telah mengakibatkan permusuhan yang lebih besar terhadap
Barat.
Selain pandangan yang disebutkan di atas, pandangan miring terhadap umat
Islam adalah tudingan bahwa umat Islam merupakan golongan yang tidak
demokratis. Hal ini terlihat dari keadaan umat Islam yang sering berselisih
faham antara sesama muslim itu sendiri. Hal ini sudah terjadi semenjak dahulu,
peristiwa saling “kafir-mengkafirkan”
antar sesama muslim dan peristiwa perselisihan-perselisihan lain (pertikaian
antara kaum Fundamental dan kaum Liberal dll.) sering terjadi hingga menjurus
pada tindakan-tindakan anarkis, seakan muslim tidak menyadari arti demokrasi
yang telah diajarkan Nabinya bahwa “ikhtilªfu ummatiy rohmatun”.
Ahmed, Aziz “Political and Religious Ideas of
Shah Waliyullah of Delhi, The Muslim World Hartford Seminary
Foundation, LII, 1 January 1962.
Azra,
Azumardi, Pergolakan
politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post modernism Jakarta: Paramadina,1996
Kurzman, ” Islam Liberal dan Konteks Islaminyah,”
dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi Jakarta: Paramadina, 2003
Prasetyo, Eko, Islam Kiri Melawan Kapitalisme Modal
: Dari Wacan Menuju Gerakan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Qutb,
Ma’lim
al-£ariq
Cairo: Dªr al-Shuruq,
1992
Rahman,
Fazlur, Islam
dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka, 1995
Riff, Michael A. (ed), Kamus Idiologi Politik Modern
terj. M. Miftahuddin dan Hartian Silawati Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
Shalahuddin, Henri, Memaknai LiberalismeIslam, Jakarta:Paramadina,
2010
Taufiqurrahman, Pemikran Dan Gerakan Pembaruan Islam Abad
Modern Dan Kontermporer,Surabaya: Dian Ilmu, 2009
Umi
Sumbulah “Fundamentalisme
Sebagai Fenomena Keagamaan”http://
syariah.uinmalang.ac.id/index.Php?option=com_cotent&view=article&id=184:fudamentalisme-sebagai-fenomena
keagamaan & catid = 65 & Itemid =191
Zainul
Ma’arif, “Menggali Akar Fundamentalisme Islam; Paradigma
SebagaipisauAnalisis”http;//islamlib.com/id/index.php?page=article&id=74
Bahtiar Effendy, Islamdan Negara :
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. (Jakarta:Paramadina,1998),
5
Umi
Sumbulah “Fundamentalisme
Sebagai Fenomena Keagamaan”http: // syariah. uinmalang. ac.id/ index.
Php?option=com_cotent&view=article&id=184:fudamentalisme-sebagai-fenomena-keagamaan&catid=65&Itemid=191
diakses tanggal 18 April 2012
Henri Shalahuddin, Memaknai LiberalismeIslam (Jakarta:Paramadina, 2010), 3
Kurzman, ”Kata Pengantar: Islam Liberal dan
Konteks Isla,minya,” dalam Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer
tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta:
Paramadina, 2003), xv.
Aziz Ahmed, “Political and Religious Ideas of
Shah Waliyullah of Delhi, The Muslim World Hartford Seminary
Foundation, LII, 1 (January 1962).
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Orientasi Idiologis Gerakan Modern dalam Islam: Fundamentalisme, Radikalisme, dan Liberalisme"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*