Foto Fajar Nahari (sumber foto: facebook)
Oleh: Fajar Nahari
(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri)
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.
Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai: ‘Proses transliterasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat.”
Dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak lepas dari sejarah kemunculan-kemunculan organisasi yang berbasis Islam. Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respons terhadap kepincangan-kepincangan yang terjadi pada masyarakat pada abad ke 19 sebagai akibat penjajahan. Banyak cara yang digunakan oleh kolonial untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia. Akan tetapi tidak membawa hasil, sebaliknya tokoh-tokoh organisasi Islam makin sadar untuk melawan penjajahan Belanda dengan menumbuhkan rasa dan sikap nasionalisme kepada rakyat melalui pendidikan. Kemudian lahirlah beberapa organisasai Islam salah satunya adalah NU.
Untuk lebih mengetahui tentang sejarah sosial keagamaan dan pendidikan NU, maka penulis akan membaginya dalam:
1. Sejarah berdirinya NU.
2. NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan.
B. Pembahasan
1. Sejarah Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama’ didirikan oleh KH. Hasyim As’ari (1871-1947) pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya. Didirikannya adalah sebagai perluasan dari Komite Hijaz, yang dibangun untuk dua maksud: Pertama, untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu; Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang Islam Indonesia telah tertarik pada masalah khilafat ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Daulat Usmaniyah goncang, sedangkan kekuasaan Sultan Turki yang juga dipandang sebagai khalifah, termasuk kaum muslimin di Indonesia, diperebutkan olah nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Dalam tahun 1922 Majelis Raya Turki menghapuskan kekuasaan sultan dengan menjadikan negeri itu satu republik, tetapi pada tahun itu majelis tersebut menjadikan Abdul Majid Khilafat tanpa batas duniawi. Dua tahun kemudian majelis itu menghapuskan khilafat sama sekali.
Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa kewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta K.H.A Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah tahun 1924. Segera setelah kemenangan ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran madzhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indoensia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenengan Ibnu Sa’ud ini, baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.
Suatu undangan dari Inu Saud kepada kaum Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makkah dibicarakan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Maka sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharuan di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Cokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah untuk mengikuti kongres. Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, K.H.A Abdul Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran madzhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah.
Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dai Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama kaum tua, misalnya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaraan utama. Dan K.H. Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar.
Jadi susunan pengurus NU yang pertama adalah sebagai berikut:
-Ra’isul Akbar : K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
-Wakil Ra’isul Akbar : K.H. Dahlan Surabaya
-Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah Surabaya
-Katib Tsani : K.H. Abdul Halim Cirebon
-A’wan : K.H.M. Alwi Abdul Azizi Surabaya
-A’wan : K.H. Ridwan Surabaya
-A’wan : Dan lain-lain
-Mustasyar : K.H.R. Asnawi Kudus
-Mustasyar : K.H. Ridwan Semarang
-Mustasayar : Dan lain-lain.
2. NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan
Mulanya organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas, kecuali yang bersangkutan dengan masalah pergantian kekuasaan di Hijaz. Pada awalnya organisasi ini tidak mempunyai anggaran dasar, tidak ada pula pendaftaran keanggotaan mereka dalam menyelenggarakan rapat-rapat, bahkan kongres yang mula-mula tidak ada notulen dan laporan. Keputusan yang diambil hanya di ingat tanpa tertulis dan keputusan ini selanjutnya dicatat pada waktu kemudian berdasarkan ingatan saja. Setelah organisasi ini berjalan, barulah mempunyai maksud. Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazdhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu: (1) Syafi’I (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
1) mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzhab tersebut di atas.
2) memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3) Menyiarkan agama Islam berasaskan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik.
4) Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
5) Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin
6) Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.
Demikianlah maksud dan tujuan NU sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar tahun 1926 (yaitu sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberpa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Bahkan pada tahun sebelum didirikannya NU yakni tepatnya tahun 1919, K.H. Hasyim Asy’ari sudah mendirikan Madrasah Salafiyah. Sejak masa pemerintah Belanda dan Penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, dan mengadakan tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka NU tampil ke muka dengan resolusi jihadnya, tanggal 22 Oktober 1945. Isinya mengajak umat Islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi itu ditetapkan, bahwa hukum jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia, adalah fardlu’ain, yakni tiap-tiap muslim wajib berjihad di mana saja mereka berada. Resolusi itu disambut oleh umat Islam dengan patuh.
Untuk memperkuat perjuangan umat Islam, maka dalam kongres umat Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 diambil keputusan, bahwa Masyumi dijelmakan menjadi Partai Politik Islam di Indonesia. Sedangkan organisasi-organisasi Islam NU, Muhammadiyah, POI, dan POII menjadi anggota istimewa dalam Masyumi.
Dalam kongres NU tahun 1946, NU mengajarkan kepada anggota-anggotanya supaya memasuki Masyumi, sehingga NU merupakan tulang punggung Masyumi itu. Keadaan itu berjalan beberapa tahun lamanya, sehingga Masyumi merupakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang berjuang untuk kejayaan Islam di samping partai-partai yang lain. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa waktu kemudian pemimpin-pemimpin PSII mengundurkan diri dari Masyumi dan membangkitkan kembali PSII sebagai partai politik Islam. Dan karena beberap hal, maka NU dalam kongresnya di Palembang tanggal 26 April 1952 memutuskan untuk memisahkan diri dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dengan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian NU menjelma menjadi partai politik di samping Masyumi, PSII, dan Perti. Sejak saat itu usaha NU bukan hanya memelihara madrasah-madarsah, mengadakan pengajian-pengajian dan tabligh-tabligh, melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan cara turut serta dalam pemerintahan dan dewan-dewan perwakilan rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Anggaran dasar NU yang baru (sesudah menjadi partai politik) adalah sebagai berikut:
1) menegakkan syari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari pada empat madzhab: Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali.
2) melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat
(pasal 2). Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan ikhtiar dengan jalan:
a. menyiarkan agama Islam dengan jalan tabligh-tabligh, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
b. mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam
c. menggiatkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan jalan yang sebaik-baiknya.
d. Menggiatkan usaha-usaha kebajikan (sosial).
e. Mempererat hubungan di antara umat Islam, khususnya ulama’nya.
f. Meperhatikan tentang perekonomian umat Islam
g. Menyadarkan umat Islam dalam ketatanegaraan.
h. Mengadakan kerjasama dengan lain-lain organisasi dan goloongan dalam usaha mewujudkan masyarakat Islam
i. Memperjuangkan tujuan NU dalam badan-badan pemerintahan, dewan-dewan perwakilan rakyat dan dalam segala lapangan masyarakat (pasal 3)
Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaanya. Oleh karena itu NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis. Selain dari alasan tersebut, NU juga tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadith Sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena menurut mereka, sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadith Sahih itu tidak berarti bertentangan dengan Islam selama belum menyangkut masalah akidah. Di dalam pendidikannya NU menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaruan pendidikan. Namun begitu, NU juga terjun dalam kegiatan pembaharuan pendidikan, meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU juga mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat. Pesantren Tebu Ireng sebagai salah satu pesantren yang didirikan oleh pendiri NU yakni K.H. Hasyim Asy’ari, mulai memasukkan ide-ide pembaharuan dalam pendidikannya. Ini terjadi ketika K.H Mohammad Ilyas berusia 18 tahun dipercayai untuk dijadikan pengawas umum di pesantren tersebut pada tahun 1929. Di pesantren ini atas inisiatif K.H Mohammad Ilyas keponakan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, putra beliau sendiri, telah berupaya mengadakan pembaruan. Di pesantren ini atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari telah dimasukkan mata pelajaran umum seperti membaca, dan menulis huruf lain, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Pada akhir tahun 1356 H (1938 M) komisi Perguruan NU telah dapat mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU ynag harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Susunan madrasah-madrasah umum NU itu sebagai berikut:
1. Madrasah Awaliyah (2 tahun)
2. Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun)
3. Madrasah Tsanawiyah (3 tahun)
4. Madrasah Mu’allimin Wustha (2 tahun)
5. Madrasah Mu’allimin ‘Ulya (3 tahun).
Kendati demikian, NU mendapat kesulitan untuk memprakarsai pembaruan pendidikan di lingkungan pesantren di pedesaan. Dalam hal ini, menurut Steenbrink, NU tidak pernah mengambil keputusan yang revolusioner. Semua ini dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi keras dari kyai dan masyarakat muslim. Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlatul Ulama membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan nama Al-Ma’arif yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan/sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan NU. Dalam salah satu keputusan dari suatu Konferensi Besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-26 Februari 1954, ditetapkan susunan sekolah/madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
1. Raudlatul Athfal (Taman Kanak-kanak) -----(3 tahun)
2. SR (Sekolah Rendah)/SD-sekarang -----(6 tahun)
3. SMP NU -----(3 tahun)
4. SMA NU -----(3 tahun)
5. SGB NU -----(4 tahun)
6. SGA NU (SPG) -----(3 tahun)
7. MMP NU (Madrasah Menengah Pertama) -----(3 tahun)
8 MMA NU (Madrasah Menengah Atas) -----(3 tahun)
9. Mu’allimin/Mu’allimat NU -----(5 tahun).
Susunan sekolah/madrasah NU sekarang ini sudah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan. Demikian pula mengenai nama madrasah/sekolah tidak lagi menggunakan misalnya dengan nama tokoh-tokoh NU seperti KH. Hasyim Asy’ari. A. Wahid Hasyim, atau tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Shalahudin, Ibnu Sina atau semboyan-semboyan Islam, seperti Nurul Huda, Darul Ulum, Miftahul Jannah, Baitul Hikmah, dan lain-lain. Seperti halnya dengan Muhammadiyah, NU setelah zaman merdeka, tersebar ke seluruh Indonesia.
C. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama’ didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya. Didirikannya adalah sebagai perluasan dari Komite Hijaz, yang dibangun untuk dua maksud: Pertama, untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu; Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazdhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu: (1) Syafi’I (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberpa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaanya. NU juga terjun dalam kegiatan pembaharuan pendidikan, meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU juga mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat. Sebagaimana ketika K.H Mohammad Ilyas berusia 18 tahun dipercayai untuk dijadikan pengawas umum di pesantren tersebut pada tahun 1929. Di pesantren ini atas inisiatif K.H Mohammad Ilyas keponakan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, putra beliau sendiri, telah berupaya mengadakan pembaruan. Di pesantren ini atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari telah dimasukkan mata pelajaran umum seperti membaca, dan menulis huruf lain, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Sususnan sekolah/madrasah NU sekarang ini sudah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan. Demikian pula mengenai nama madrasah/sekolah tidak lagi menggunakan misalnya dengan nama tokoh-tokoh NU seperti KH. Hasyim Asy’ari. A. Wahid Hasyim, atau tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Shalahudin, Ibnu Sina atau semboyan-semboyan Islam, seperti Nurul Huda, Darul Ulum, Miftahul Jannah, Baitul Hikmah, dan lain-lain. Seperti halnya dengan Muhammadiyah, NU setelah zaman merdeka, tersebar ke seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
-------, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Mustafa, Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Alfabeta, 2004.
Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1986.
Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.
Pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagai: ‘Proses transliterasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat.”
Dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak lepas dari sejarah kemunculan-kemunculan organisasi yang berbasis Islam. Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respons terhadap kepincangan-kepincangan yang terjadi pada masyarakat pada abad ke 19 sebagai akibat penjajahan. Banyak cara yang digunakan oleh kolonial untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia. Akan tetapi tidak membawa hasil, sebaliknya tokoh-tokoh organisasi Islam makin sadar untuk melawan penjajahan Belanda dengan menumbuhkan rasa dan sikap nasionalisme kepada rakyat melalui pendidikan. Kemudian lahirlah beberapa organisasai Islam salah satunya adalah NU.
Untuk lebih mengetahui tentang sejarah sosial keagamaan dan pendidikan NU, maka penulis akan membaginya dalam:
1. Sejarah berdirinya NU.
2. NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan.
B. Pembahasan
1. Sejarah Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama’ didirikan oleh KH. Hasyim As’ari (1871-1947) pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya. Didirikannya adalah sebagai perluasan dari Komite Hijaz, yang dibangun untuk dua maksud: Pertama, untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu; Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang Islam Indonesia telah tertarik pada masalah khilafat ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Daulat Usmaniyah goncang, sedangkan kekuasaan Sultan Turki yang juga dipandang sebagai khalifah, termasuk kaum muslimin di Indonesia, diperebutkan olah nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Dalam tahun 1922 Majelis Raya Turki menghapuskan kekuasaan sultan dengan menjadikan negeri itu satu republik, tetapi pada tahun itu majelis tersebut menjadikan Abdul Majid Khilafat tanpa batas duniawi. Dua tahun kemudian majelis itu menghapuskan khilafat sama sekali.
Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa kewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta K.H.A Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah tahun 1924. Segera setelah kemenangan ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran madzhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indoensia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenengan Ibnu Sa’ud ini, baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.
Suatu undangan dari Inu Saud kepada kaum Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makkah dibicarakan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam. Maka sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharuan di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Cokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah untuk mengikuti kongres. Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, K.H.A Abdul Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran madzhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah.
Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dai Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama kaum tua, misalnya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaraan utama. Dan K.H. Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar.
Jadi susunan pengurus NU yang pertama adalah sebagai berikut:
-Ra’isul Akbar : K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
-Wakil Ra’isul Akbar : K.H. Dahlan Surabaya
-Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah Surabaya
-Katib Tsani : K.H. Abdul Halim Cirebon
-A’wan : K.H.M. Alwi Abdul Azizi Surabaya
-A’wan : K.H. Ridwan Surabaya
-A’wan : Dan lain-lain
-Mustasyar : K.H.R. Asnawi Kudus
-Mustasyar : K.H. Ridwan Semarang
-Mustasayar : Dan lain-lain.
2. NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan
Mulanya organisasi ini tidak mempunyai rencana yang jelas, kecuali yang bersangkutan dengan masalah pergantian kekuasaan di Hijaz. Pada awalnya organisasi ini tidak mempunyai anggaran dasar, tidak ada pula pendaftaran keanggotaan mereka dalam menyelenggarakan rapat-rapat, bahkan kongres yang mula-mula tidak ada notulen dan laporan. Keputusan yang diambil hanya di ingat tanpa tertulis dan keputusan ini selanjutnya dicatat pada waktu kemudian berdasarkan ingatan saja. Setelah organisasi ini berjalan, barulah mempunyai maksud. Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazdhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu: (1) Syafi’I (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
1) mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzhab tersebut di atas.
2) memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3) Menyiarkan agama Islam berasaskan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik.
4) Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
5) Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin
6) Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.
Demikianlah maksud dan tujuan NU sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar tahun 1926 (yaitu sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberpa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Bahkan pada tahun sebelum didirikannya NU yakni tepatnya tahun 1919, K.H. Hasyim Asy’ari sudah mendirikan Madrasah Salafiyah. Sejak masa pemerintah Belanda dan Penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, dan mengadakan tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka NU tampil ke muka dengan resolusi jihadnya, tanggal 22 Oktober 1945. Isinya mengajak umat Islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi itu ditetapkan, bahwa hukum jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia, adalah fardlu’ain, yakni tiap-tiap muslim wajib berjihad di mana saja mereka berada. Resolusi itu disambut oleh umat Islam dengan patuh.
Untuk memperkuat perjuangan umat Islam, maka dalam kongres umat Islam di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 diambil keputusan, bahwa Masyumi dijelmakan menjadi Partai Politik Islam di Indonesia. Sedangkan organisasi-organisasi Islam NU, Muhammadiyah, POI, dan POII menjadi anggota istimewa dalam Masyumi.
Dalam kongres NU tahun 1946, NU mengajarkan kepada anggota-anggotanya supaya memasuki Masyumi, sehingga NU merupakan tulang punggung Masyumi itu. Keadaan itu berjalan beberapa tahun lamanya, sehingga Masyumi merupakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang berjuang untuk kejayaan Islam di samping partai-partai yang lain. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa waktu kemudian pemimpin-pemimpin PSII mengundurkan diri dari Masyumi dan membangkitkan kembali PSII sebagai partai politik Islam. Dan karena beberap hal, maka NU dalam kongresnya di Palembang tanggal 26 April 1952 memutuskan untuk memisahkan diri dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dengan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian NU menjelma menjadi partai politik di samping Masyumi, PSII, dan Perti. Sejak saat itu usaha NU bukan hanya memelihara madrasah-madarsah, mengadakan pengajian-pengajian dan tabligh-tabligh, melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan cara turut serta dalam pemerintahan dan dewan-dewan perwakilan rakyat dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Anggaran dasar NU yang baru (sesudah menjadi partai politik) adalah sebagai berikut:
1) menegakkan syari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari pada empat madzhab: Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali.
2) melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat
(pasal 2). Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan ikhtiar dengan jalan:
a. menyiarkan agama Islam dengan jalan tabligh-tabligh, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
b. mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam
c. menggiatkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan jalan yang sebaik-baiknya.
d. Menggiatkan usaha-usaha kebajikan (sosial).
e. Mempererat hubungan di antara umat Islam, khususnya ulama’nya.
f. Meperhatikan tentang perekonomian umat Islam
g. Menyadarkan umat Islam dalam ketatanegaraan.
h. Mengadakan kerjasama dengan lain-lain organisasi dan goloongan dalam usaha mewujudkan masyarakat Islam
i. Memperjuangkan tujuan NU dalam badan-badan pemerintahan, dewan-dewan perwakilan rakyat dan dalam segala lapangan masyarakat (pasal 3)
Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaanya. Oleh karena itu NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis. Selain dari alasan tersebut, NU juga tidak menolak beberapa praktik ritual yang tidak tertulis dalam Hadith Sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena menurut mereka, sesuatu yang tidak tercantum dalam Hadith Sahih itu tidak berarti bertentangan dengan Islam selama belum menyangkut masalah akidah. Di dalam pendidikannya NU menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik. Pada awal berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaruan pendidikan. Namun begitu, NU juga terjun dalam kegiatan pembaharuan pendidikan, meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU juga mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat. Pesantren Tebu Ireng sebagai salah satu pesantren yang didirikan oleh pendiri NU yakni K.H. Hasyim Asy’ari, mulai memasukkan ide-ide pembaharuan dalam pendidikannya. Ini terjadi ketika K.H Mohammad Ilyas berusia 18 tahun dipercayai untuk dijadikan pengawas umum di pesantren tersebut pada tahun 1929. Di pesantren ini atas inisiatif K.H Mohammad Ilyas keponakan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, putra beliau sendiri, telah berupaya mengadakan pembaruan. Di pesantren ini atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari telah dimasukkan mata pelajaran umum seperti membaca, dan menulis huruf lain, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Pada akhir tahun 1356 H (1938 M) komisi Perguruan NU telah dapat mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU ynag harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Susunan madrasah-madrasah umum NU itu sebagai berikut:
1. Madrasah Awaliyah (2 tahun)
2. Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun)
3. Madrasah Tsanawiyah (3 tahun)
4. Madrasah Mu’allimin Wustha (2 tahun)
5. Madrasah Mu’allimin ‘Ulya (3 tahun).
Kendati demikian, NU mendapat kesulitan untuk memprakarsai pembaruan pendidikan di lingkungan pesantren di pedesaan. Dalam hal ini, menurut Steenbrink, NU tidak pernah mengambil keputusan yang revolusioner. Semua ini dikhawatirkan akan menimbulkan reaksi keras dari kyai dan masyarakat muslim. Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlatul Ulama membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan nama Al-Ma’arif yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan/sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan NU. Dalam salah satu keputusan dari suatu Konferensi Besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-26 Februari 1954, ditetapkan susunan sekolah/madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
1. Raudlatul Athfal (Taman Kanak-kanak) -----(3 tahun)
2. SR (Sekolah Rendah)/SD-sekarang -----(6 tahun)
3. SMP NU -----(3 tahun)
4. SMA NU -----(3 tahun)
5. SGB NU -----(4 tahun)
6. SGA NU (SPG) -----(3 tahun)
7. MMP NU (Madrasah Menengah Pertama) -----(3 tahun)
8 MMA NU (Madrasah Menengah Atas) -----(3 tahun)
9. Mu’allimin/Mu’allimat NU -----(5 tahun).
Susunan sekolah/madrasah NU sekarang ini sudah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan. Demikian pula mengenai nama madrasah/sekolah tidak lagi menggunakan misalnya dengan nama tokoh-tokoh NU seperti KH. Hasyim Asy’ari. A. Wahid Hasyim, atau tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Shalahudin, Ibnu Sina atau semboyan-semboyan Islam, seperti Nurul Huda, Darul Ulum, Miftahul Jannah, Baitul Hikmah, dan lain-lain. Seperti halnya dengan Muhammadiyah, NU setelah zaman merdeka, tersebar ke seluruh Indonesia.
C. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama’ didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Surabaya. Didirikannya adalah sebagai perluasan dari Komite Hijaz, yang dibangun untuk dua maksud: Pertama, untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu; Kedua, untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu mazdhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu: (1) Syafi’I (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberpa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaanya. NU juga terjun dalam kegiatan pembaharuan pendidikan, meski terbatas di lingkungan perkotaan, NU juga mendirikan madrasah-madrasah dengan model Barat. Sebagaimana ketika K.H Mohammad Ilyas berusia 18 tahun dipercayai untuk dijadikan pengawas umum di pesantren tersebut pada tahun 1929. Di pesantren ini atas inisiatif K.H Mohammad Ilyas keponakan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahid Hasyim, putra beliau sendiri, telah berupaya mengadakan pembaruan. Di pesantren ini atas persetujuan K.H. Hasyim Asy’ari telah dimasukkan mata pelajaran umum seperti membaca, dan menulis huruf lain, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diizinkan masuk ke pesantren.
Sususnan sekolah/madrasah NU sekarang ini sudah mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan. Demikian pula mengenai nama madrasah/sekolah tidak lagi menggunakan misalnya dengan nama tokoh-tokoh NU seperti KH. Hasyim Asy’ari. A. Wahid Hasyim, atau tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Shalahudin, Ibnu Sina atau semboyan-semboyan Islam, seperti Nurul Huda, Darul Ulum, Miftahul Jannah, Baitul Hikmah, dan lain-lain. Seperti halnya dengan Muhammadiyah, NU setelah zaman merdeka, tersebar ke seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
-------, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Mustafa, Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teotitis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Alfabeta, 2004.
Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1986.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan: Kasus NU"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*