Oleh: ALVIN MASKUR
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri, Alumni PMII, dan Mantan Presiden Mahasiswa STAIN Kediri)
Foto: Alvin Maskur (sumber foto: facebook)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah
satu organisasi keagamaan berskala nasional yang lahir di Sumatera Barat pada
awal abad 20 adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Organisasi di
bidang sosial keagamaan dan pendidikan
Islam ini muncul di latar belakangi oleh perkembangan paham keagamaan yang digerakkan
oleh kaum muda untuk mengubah tradisi, terutama gerakan tarekat. Kaum muda ini
melakukan perubahan melalui pendidikan, dakwah, media cetak dan
perdebatan-perdebatan. Menyadari gencarnya kegiatan kaum muda ini, kaum tua pun
mulai bergerak. Mereka juga menerbitkan majalah untuk menandingi
majalah-majalah yang di terbitkan kaum muda. Dalam lapangan pendidikan , kaum
tua mengaktifkan lembaga surau, seperti surau syekh khatib Muhammad Ali di
Parak Gadang, Surau Syekh Sulaiman ar-Rasuli di Candung, Bukittinggi dll.selain
itu kaum tua juga membentuk perkumpulan yang bernama ittihad Ulama yang
kemudian berganti nama dengan Persatuan tarbiyah Islamiyah.
Selain
Perti terjun di bidang kemasyarakatan dalam sejarahnya Perti juga sempat
menjadi salah satu organisasi politik Praktis ,yaitu pada tahun 1945yang
kemudian mengikuti pemilu pada tahun 1955 bahkan pernah bergabung juga dengan
GOLKAR serta PPP sebelum akhirnya menyatakan sebagai organisasi yang konsen hanya
dalam bidang kemasyarakatan dan tidak terikat dengan organisasi politik
manapun. Dalam makalah ini penulis akan menguraikan organisasi PERTI dari
sejarah munculnya sampai peran-perannya terutama dalam dunia pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinyaPERTI?
2.
Bagaimana
sejarah pergerakan PERTI dalam bidang sosial keagamaan dan politik?
3.
Bagaimana peran
dan pergerakan PERTI dalam bidang pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya PERTI
Minangkabau merupakan wilayah yang terkenal
kuat keterkaitannya pada adat, disamping itu, Minangkabau adalah salah satu
daerah yang mengalami proses Islamisasi sangat dalam. Akan tetapi Sulit
dipastikan kapan sebenarnya Islam masuk ke daerah ini. Ada yang mengatakan abad
ke-8, abad ke-12 dan bahkan ada juga yang memperkirakan abad ke-7 karena
menurut almanak tiongkok, sudah didapati suatu kelompok masyarakat Arab di
Sumatera Barat pada tahun 674 M.
Terlepas dari berbagai versi yang
ada, Hamka mengatakan bahwa raja Islam pertama di Minangkabau (pagaruyung)
adalah Raja Alam Arif sekitar tahun 1600 M. Oleh karena pusat kerajaan ini jauh
dari daratan, diperkirakan bahwa dengan masuknya raja tersebut, berarti Islam
telah menyebar di wilayah Minangkabau sekitar tahun 1600 M tersebut
Sejak Islam masuk ke Minangkabau, telah terjadi
beberapa kali pembaharuan. Pada awal abad ke-20 muncul gerakan pembaharuan
Islam di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum muda. Gerakan itu bertujuan
untuk mengubah tradisi, terutama gerakan tarekat. Kaum muda melakukan perubahan
melalui pendidikan, dakwah, media cetak dan perdebatan. Mereka mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan seperti Sumatera Thawalib yang lebih mengutamakan
ilmu-ilmu untuk menggali dan memahami Islam dari Sumbernya.
Menyadari gencarnya kegiatan kaum muda, kaum tua pun
mulai bergerak, mereka melakukan reaksi yang sama, yaitu dengan menerbitkan
majalah. Diantara majalah yang mereka terbitkan termasuk Suluh Melaju di
Padang (1013), al-Mizan di Maninjau (1918) yang diterbitkan oleh
organisasi local Sjarikat al-Ihsan, Al-Mizan, (lain pula) 1928 dan Suarti
(Suara Perti) dalam tahun 1940 yang berkenaan dengan soal-soal organisasi . Dalam
bidang pendidikan, kaum tua mengaktifkan lembaga surau. Kaum tua juga membentuk
suatu perkumpulan yang bernama Ittihadul sebagai tandingan kaum muda yang
dikenal dengan PGAI.
Diilhami oleh perkembangan tersebut, timbullah niat
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum tua dalam sebuah
wadah. Untuk itu, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, memprakarsai suatu pertemuan besar
di Candung Bukittinggi pada tanggal 5 Mei 1928. Pertemuan itu dihadiri oleh
sejumlah kaum tua, diantaranya Syekh Abbas al-Qadhi, Syekh Muhammad Djamil
Djaho, Syekh Wahid ash-Shahily dan ulama kaum tua lainnya..
Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan MTI. Pada tahun 1930,
mengingat pertumbuhan dan perkembangan madrasah-madrasah Tarbiayah Islamiyah,
timbullah keinginan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly untuk menyatukan ulama-ulama kaum
tua, terutama para pengelola madrasah dalam suatu wadah organisasi. Untuk itu,
ia mengumpulkan ulama-ulama kaum tua kembali di Candung Bukittinggi pada
tanggal 20 Mei 1930. Pertemuan ini memutuskan untuk membentuk organisasi
Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan PTI. Dan pada tanggal itulah
yang disepakati sejarawan sebagai tanggal berdirinya PTI. Serta
mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah sebagai organisasi yang berbadan
hukum.
Pada tahun 1935 diadakan rapat
lengkap di Candung Bukittinggi yang menunjuk H. Siradjudin Abbas sebagai ketua
Pengurus Besar PTI. Pada masa kepengurusan ini, berhasil disusun Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga dan disahkan oleh konfrensi tanggal 11-16
Februari 1938 di Bukittinggi, dan disepakati juga singkatan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah berubah menjadi PERTI. Ketika itu dirumuskan pula tujuan organisasi
ini, yaitu:
1.
Berusaha
memajukan pendidikan agama dan yang bersangkutan paut dengan itu.
2. Menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan.
3. Berdaya upaya memajukan perusahaan.
4.
Memperkokoh amal ibadah serta memperbanyak syiarnya.
Rumusan AD kemudian disempurnakan
pada konggres II (3-5 April 1935) di bukittinggi. Dan waktu itu, asas Islam
organisasi ini dilengkapi dengan kalimat “dalam iktikad menurut paham ahlusunah
waljamaah dan dalam syariat menurut madzhab Syafi’i. Dan struktur organisasi
pada masa itu terdiri dari pengurus besar (PB) yang didampingi oleh dewan
penasehat. Beberapa orang dari Pengurus Besar ditunjuk ebagai Pengurus Besar
Harian, yang semuanya berkedudukan di Bukittinggi. Untuk daerah yang jauh dari pusat
diadakan Majlis Wakil PB yang dipimpin oleh Konsul PB. Majlis ini bertugas
mengkoordinasi cabang, dan setiap cabang mengkoordinasi anak cabang.
B. Sejarah pergerakan
PERTI dalam bidang sosial keagamaan dan politik.
Isu
yang mengatakan PERTI hanyalah organisasi lokal dan partai kecil, kelihatannya
membuat para peneliti kurang tertarik menjadikan objek studi. Padahal menurut
Deliar Noer. Pada tahun 1945 saja organisasi ini sudah mempunyai cabang hampir
diseluruh Sumatera dan beberapa daerah lainnya di luar pulau Sumatera, seperti
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dengan anggota sekitar 400.000 orang.
Perkembangan selanjutnya tercatat 350 buah madrasah milik PERTI dari tingkat
kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Oleh karena itu perlu dipertegas lagi,
tidak mustahil organisasi “kaum tua” yang mengklaim dirinya sebagai pengikut Ahlussunnah
Waljama’ah dan mazhab Syafi’I ini, mempunyai banyak studi yang menarik
untuk dikaji.
Selain
aktif dibidang pendidikan, organisasi ini juga aktif diluar bidang pendidikan,
diantaranya membangun sejumlah masjid dan rumah yatim piatu. Sesudah 1945 PERTI
juga membangun klinik dan rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi).
Pada
tahun 1945 yaitu pada bulan november Perti mengadakan rapat pleno PB dalam
rangka menyambut imbauan Wakil Presiden Muhamad Hatta untuk mendirikan
partai-partai politik bagi seluruh bangsa.sejak itu Perti menyatakan diri
sebagai salah satu partai politik islam. Pernyataan ini disahkan oleh
Muktamar IV (24-26 Desember 1945) di
bukittinggi. Struktrur organisasi
berubah menjadi dewan Partai Tertinggi (DPT) sebagai pengambil keputusan
Mendasar, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebagai badan eksekutif, dan Majlis
Penasehat Pusat (MPP).
Kemudian
PERTI ikut dalam pemilu 1955dan berhasil memperoleh 4 kursi di parlemen. Pada
tahun itu organisasi ini telah tersebar ke berbagai daerah, mempunyai 13 Dewan
Pengurus Daerah, 75 Dewan Pengurus Cabang, 300 Dewan Pengurus Anak Cabang , dan
2000 Pengurus Ranting.
Tujuan
Perti adalah: (1) meninggalkan agama Islam dalam arti seluas-luasnya; (2)
menjiwai masyarakat Indonesia dengan semangat keislaman; (3) membangun
masyarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan kepribadian Indonesia dan
agma Islam. Untuk mencapai tujuan itu Perti berusaha antara lain: (1)
mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara RI yang menjadi jembatan emas
untuk kemakmuran rohaniah dan jasmaniah rakyat; (2) menentang koloanisme dan
imperalisme dalam segala bentuknya; (3) memajukan pengajaran, pendidikan dan
kecerdasan rakyay; (4) memperdalm rasa cinta terhadap agama, bangsa dan tanah
air; (5) memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam;(6) memajukan
perekonomian dan kemakmuran rakyat .
Pada
masa demokrasi pemimpin, sebagian pengurus Perti dipandang condong ke “kiri”,
ketika terjadi pengganyangan terhadap G30S/PKI, maka pihak yang beroposisi
terhadap golongan “kiri”berhasil menduduki kepemimpinan partai. Dalam
Musyawarak kerja pada bulan Februari 1966 di Bukittinggi, Perti menyusun
pengurus baru yang diketahui oleh Rusli Halil. Karena pemilihan itu tidak
melalui muktamar dan pengurus baru itu dinilai tidak bersih dari pengaruh “kiri”,
maka timbul tuntutan agar partai mengadakan muktamar.
Muktamar di Jakarta pada tanggal 27 Agustus hingga 4
September 1966 memilih Rusli Halil sebagai ketua, Ahmad HMS sebagai sekretaris
jendral, dan rusli A. Wahid sebagai Rais Am Majelis Syura. Setelah susunan
pengurus diumumkan, dan peserta Muktamar belum meninggalkan Jakarta, maka
T.S.Marjohan membebtuk DPP tandingan yang diketuainya sendiri dengan
Sirajdjuddin Abbas sebagai Rais AM Majelis Syura. DPP tandingan ini hilang
begitu saja, karena tidak didukung daerah.
Konflik
di tubuh tetap berkelanjutan, terutama antara Rusli A.Wahid dan Rusli Halil.
Walaupun Peri berhasil mengadakan sidang Majelis Syura di Bogor tanggal 12-16
juni 1967 dan berhasil mempertahankan susuna pengurus hasil Muktamar ,
perselisihan antara kedua kubu itu menyeret mereka untuk saling mencari
dukungan. Dalam situasi demikian, maka syekh Sulaiman ar-Rasuli, sesepuh dan
pendiri Perti, meminta Perti menanggalkan baju politiknya dan kembali ke
khittah semula.Imbauan itu tidak berjawab
Melihat
suasana begitu parah, ar-Rasuli mengirim sebuah delegasi ke Jakarta di bawah
pimpinan Hamidin Saad untuk mengupayakan rujuk. Kaerena misi ini juga gagal,
maka delegasi tersebut mencari terobosan dan meminta bantuan Golongan Karya.
Dengan tangan terbuka, Jendral Soeowati sebagai ketua Golongan Karya dapat
menerimanya dan mengukuhkan Rusli Halil
sebagai Ketua, seperti Hasil keputusan Muktamar.
Berdasarkan
dekrit ar-Rasuli, Soekowati menganjurkan kelompok Ahmad HMS untuk mendirikan
“TARBIYAH” non politik. Kelompok ini pun mengadakan Musyawarah Besar Luar Biasa
di Bukittinggi pada tanggal 2-4 Juli 1970 dengan dukungan pemerintah Sumatera
Barat. Dan diantara keputusannya ialah mengukuhkan dekrit Syekh Sulaiman
ar-Rasuli dengan menjadikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah sebagai organisasi non
politik.
Di
pihak lain, kelompok Rusli A. Wahid tidak dapat meninggalkan dunia politik,
sehingga Perti tetap menjadi partai politik yang ikut mengambil bagian dalam
pemilu 1971 dan memperoleh 2 suara untuk DPR. Ketika terjadi penyederhanaan
partai, maka semua partai politik Islam, termasuk Perti, berfusi ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kecewa
dengan politik PPP di bawah kepemimpinan Jaelani Naro,S.H., maka pada tanggal
26 juni 1988 Perti mengeluarkan Pernyataan sikap kemandiriannya, yang isinya
antara lain: (1) Sejak 9 Januari 1973 Perti adalah organisasi kemasyarakatan
yang mandiri, tidak berpolitik, bebas dan tidak terikat dengan organisasi
sosisl politik manapun; (2) Perti hanyalah wadah kegiatan untuk beribadah
kepada allah SWT melalui pendidikan, dakwah, dan amal sosial.
C. Peran dan Pergerakan PERTI dalam bidang pendidikan
Khusus bidang
pendidikan, MTI semakin berkembang pesat. Hingga pada tahun 1937, tercatat
sebanyak 137 MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada
tahun 1938, didirikan pula sebuah madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri
di Bengkawas, Bukittinggi yang dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada
tahun 1940 tercatat memiliki murid sekitar 250 orang. Bahkan pada tahun 1937,
misalnya, jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang, kemudian MTI
Candung dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai
500 orang murid. Sedangkan pada tahun 1942, sudah terdapat 300 MTI di berbagai
daerah dengan 45.000 murid.
Di antara
madrasah-madrasah Perti yang terkenal dan sangat berperan dalam mendidik anak
bangsa adalah MTI Candung. Berikut ini adalah perkembangan MTI Candung dari
masa ke masa.Pada Tahun
1928-1957, kurikulum MTI Candung 100% agama dengan memakai kitab kuning. Di
antara kitab-kitab tersebut adalah:
1.
Fathul Mu’in
2.
Al-Mahalli
3.
Waraqat
4.
Jam’ul Jawami’
5.
Sanusi
6.
Kifayatu ‘Awam
7.
Ummul Barahin
8.
Bukhari muslim
9.
Ibnu Aqil
10.
Fathul Qarib
11.
Dan lain-lain
Serta kitab-kitab yang
dikarang oleh Ulama Perti sendiri seperti Bidayatul Balaghah dan Khulashah
Tarikh Islam (H. Sirajuddin Abbas), Bidayat Tauhid (H.Rusli), Hidayatut
Thalabah (H.Mansur) dan lain-lain
Kemudian mulai tahun 1957, kurikulum MTI Candung telah mengadopsi
kurikulum umum dan berkembang secara bertahap sampai munculnya SKB tiga menteri
1974 dengan rasio: 70% agama dan 30% umum, dan tetap berlaku sampai sekarang.
1.
Fase
Perkembangan Pendidikan MTI Candung di Masa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tahun 1908 merupakan sistem halaqah sebagai awal pendidikan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung yang bertempat di Surau Baru, berakhir pada
tahun 1928. Di tanggal 5 Mei 1928, maka pendidikan madrasah mulai diberlakukan
dengan memakai sistem kalsikal dengan lama pendidikan adalah 9 tahun.
Pada tanggal 20 Mei 1930 organisasi yang dirintis bersama akhirnya
tuntas dalam suatu bentuk pembahasan yang intensif yang disebut dengan
“Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)”, kondisi ini berjalan sampai tahun
1945 dalam rangka mempertahankan eksistensi dan perkembangan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang telah berkembang di Indonesia Pada tanggal 24 September 1936,
diadakan suatu rapat di Candung yang dihadiri oleh ketua dan para guru Madrasah
Tarbiyah Islamiyah dengan salah satu keputusannya adalah menyamakan kurikulum
bagi seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada di Indonesia.
Kemudian di tahun 1938, Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengadakan Muktamar
di Bukittinggi yang intinya memutuskan untuk menyusun rencana kurikulum berupa
daftar pelajaran yang diseragamkan untuk seluruh Madrasah Tarbiyah Islamiyah
Memasuki tahun 1950, Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung mulai didaftarkan pada
Departemen Agama serta tahun 1970 kembali didaftarkan untuk kedua kalinya,
sehingga perencanaan tersebut mendapat kendala dengan sikap masyarakat yang
menentang masuknya pelajaran yang ditawarkan Dapertemen Agama karena ada bentuk
kekhawatiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat bahwa pendidikan tarbiyah
akan “dihapuskan” Tahun 1961 berdirilah sebuah yayasan sebagai tempat
bernaungnya sebuah pendidikan swasta yang dinamakan dengan Yayasan Syeikh Sulaiman
ar-Rasuliy. Yayasan ini bertugas untuk memikirkan, merencanakan dalam
penyelenggaraan pendidikan, pembangunan, dan perbaikan madrasah ini.
Berakhirnya Fase Kepemimpinan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy Pada tahun
1965 M, seiring kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, maka jabatan sebagai
pimpinan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung diserahkan kepada H. Baharuddin
ar-Rasuli Jabatan pimpinan yang ia tekuni tidak ada perubahan dari kepemimpian
yang dipegang oleh Ayah beliau.
2. Fase Kepemimpinan Buya H. Baharuddin ar-Rasuliy (1965-1971)
Seluruh operasional madrasah dikelola oleh H. Baharuddin ar-Rasuliy
dengan adanya persetujuan Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy. Kebijakan-kebijakan
pimpinan tetap dipegang oleh Syeikh Sulaiman ar-Rasuliy secara substansif.
3. Fase Kepemimpinan Buya H. Syahruddin ar-Rasuly (1971-2005)
Pada tahun 1977, PB. Persatuan Tarbiyah Islamiyah terlibat dalam
pengaturan pengelolaan madrasah ini dengan melahirkan direktorium madrasah yang
terdiri dari lima orang yang akan mengendalikan perkembangan madrasah, diantara
mereka adalah H. Baharuddin ar-Rasuli, H. Syahruddin ar-Rasuli, H. Moh. Nur
ar-Rasuli, H. Izzuddin Marzuki, dan Abdullah Ali. Mereka yang disebutkan
mempunyai tugas sebagai perencana dan pelaksana pendidikan madrasah agar dapat
dijalankan dengan baik. Kondisi yang seperti tetap berjalan sampai pada tahun
1994.
Pengelompokkan
Kurikulum semenjak 1994-2008:
a.
Pelajaran
Agama:
1)
Fiqh
2)
Hadit
3)
Tauhid
4)
Tafsir
5)
Tashauf
6)
Ushul Fiqh
7)
Mantiq
8)
Mushthalah
b.
Pelajaran
Bahasa:
1)
Arab
2)
B. Inggris
3)
B. Indonesia
4)
Nahwu
5)
Sharaf
6)
Qawa’id
7)
Balaghah
c.
Pelajaran Umum
1)
KWN
2)
Ilmu Jiwa
3)
Sejarah Umum
4)
Geografi
5)
Antropologi
6)
IPS
7)
IPA
8)
Ilmu
Komputer
4. Fase Kepemimpinan Buya H. Muhammad Noer ar-Rasuliy (2004-2006)
Kepemimpinan yang beliau jalankan sebagai Rais al-’Aam merupakan
usaha untuk membantu kepemimpinan yang dipegang oleh Buya H. Syahruddin
ar-Rasuliy sebagai Syaikh al-Madrasah.
5. Fase Kepemimpinan Buya Badra Syahruddin ar-Rasuliy 2005-2007
Kepemimpinannya sebagai Rais al-’Aam, dibimbing oleh Buya H.
Muhammad Noer ar-Rasuliy yang menjabat sebagai Syaikh al-Madrasah menggantikan
posisi Buya H. Syahruddin ar-Rasuliy yang wafat pada 24 Desember 2005.
6. Fase Kemimpinan Buya H. Amhar Zen ar-Rasuliy (2007-2008)
Kepemimpinan Buya H. Amhar Zen ar-Rasuliy merupakan usaha untuk
melanjutkan kepemimpinan Buya Badra Syahruddin sehubungan dengan kesibukan yang
beliau emban sebagai pegawai tata usaha Universitas Andalas
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lahirnya
Organisasi PERTI ini diilhami oleh adanya gerakan pembaharuan Islam yang di
motori kaum muda yang bertujuan untuk mengubah
tradisi terutama tarikat, untuk menandingi gerakan tersebut kemudian Syekh
Sulaiman Ar-Rasuly memprakasai perkumpulan ulama-ulama kaum tua yang bernama Ittihadul.
Dari perkumpulan itu lahir Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang disingkat dengan
MTI.
Untuk
menyatukan ulama-ulama kaum tua, terutama para pengelola madrasah dalam suatu
wadah organisasi, maka dibentuklah organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang
disingkat dengan PTI. Kemudian atas kesepakatan bersama, singkatan PTI berubah
menjadi PERTI.
Dalam
perkembangannya, PERTI mendirikan madrasah-madrasah / sekolah, membangun
sejumlah masjid dan panti asuhan. Selain itu, PERTI juga membangun klinik dan
rumah sakit melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi). PERTI juga aktif dalam
kancah politik, akan tetapi tidak lama kemudian, PERTI mendeklarasikan sebagai
organisasi masa keagamaan yang independen.
Karel A.Steenbrink,Pesantren,Madrasah,Sekolah.
Jakarta:LP3ES,1986.
Noer,Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:LP3ES,1980.
Hamka,
Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama,
(Jakarta: Widjaya. 1950),5.
Karel
A.Steenbrink,Pesantren,Madrasah,Sekolah(Jakarta:LP3ES,1986),64.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Organisasi Keagamaan Indonesia (Studi Kasus PERTI)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*