Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Rincian buku:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
NASIONALISME
DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
Oleh: ALVIN MASKUR
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan Mantan Presiden Mahasiswa STAIN Kediri)
A.
Pengantar
Timbulnya gerakan
nasionalisme dikalangan masyarakat Islam melahirkan suatu negara-bangsa. Nation-states
yang lahir karena nasionalisme itu mempunyai karakteristik darinya seperti,
etnis, bahasa, serta suatu wilayah yang jelas. Yang pasti pada awalnya gerakan
nasionalisme di Mesir mendapat reaksi yang sangat keras dari para ulama
Al-Azhar. Namun anehnya, mereka mendukung gerakan nasionalisme yang dikaitkan
dengan semangat kebangkitan Islam pada saat Revolusi 1952 di Mesir.
Nasionalisme mempunyai beberapa
permasalahan yang pada akhirnya melahirkan gerakan demokratisasi di tiap
wilayah Islam. Sebab nasionalisme lebih menekankan kepada superior ras tertentu
yakni, Arab. Memang pada dasarnya lahirnya nasionalisme berbarengan dengan nasionalisme Arab. Bahkan mereka
juga menyadari tidak mungkin untuk melepaskan Islam dalam gerakan nasionalisme
tersebut. Islam telah dianggap sebagai faktor kejayaan bangsa Arab yang nomor wahid. Karena itulah wajar bila muncul
superioritas bangsa Arab yang muncul dikemudian hari.
Hal ini menyebabkan
lahirnya gerakan demokrasi yang menekankan nilai-nilai universal dalam masalah
hak asasi manusia. Isu kesamaan, pengambilan kebijakan bersama, telah
melahirkan persoalan-persoalan yang menyangkut suku/etnis (sara’), agama
minoritas tertentu dalam suatu negara. Hasilnya ialah Islam kembali dimunculkan
untuk memperlihatkan bahwa Islam itu sendiri tidak bertentangan dengan
demokrasi. Pemakaian Islam dilakukan oleh kalangan politisi, pejabat negara,
ulama, pemikir, serta gerakan Islam. Bagi mereka, sebagaimana hadist Nabi yang
menerangkan adanya jaminan hak bagi setiap muslim dalam hal darahnya, harta
bendanya, dan kehormatannya selaras dengan nilai-nilai demokrasi modern seperti
hak hidup, kepemilikan, dan kebebasan (life, property, liberty).
Namun masalahnya bagaimana dengan hak-hak minoritas (non muslim). Disini Islam
memberikan solusi dengan adanya persamaan dalam bidang hukum dan juga tidak
mengenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas. Akan tetapi walaupun Islam memberikan kebebasan tetap hal itu
harus berada dalam lingkup batas yang telah ditentukan[1]
Dari uraian di atas,
penulis akan memfokuskan pada masalah nasionalisme dan demokrasi yang berkembang di dunia modern, serta
bagaimana nasionalisme dan demokrasi dalam perspektif Islam sendiri,
Dalam makalah ini
pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan historis,yaitu usaha menyingkap, mengkaji,
menelaah dan menganalisis
persoalan yang menjadi objek kajian berdasarkan kacamata sejarah. Di samping
itu juga di pakai pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana
umat Islam dalam menyikapi masalah nasionalisme dan demokrasi yang sudah menjadi keniscayaan dalam
dunia Islam itu sendiri. Oleh karena
itu, maka penulisan makalah ini mengacu pada penelitian kepustakaan terhadap
literatur-literatur yang terkait dengan kajian makalah, yang disajikan dengan
teknik deskriptif dan analisis kritis
Adapun sumber rujukan dalam
makalah ini adalah nasionalisme arti
dan sejarahnya karya Hans Kohn, Soekarno,Islam dan Nasionalisme
karya Badri Yatim, Ma’rakatul Musthalahat baina al Gharbi wal Islam
karya Muhammad Imarah, Persinggungan Islam dan Barat:Studi Pandangan
Badiuzzaman Said Nursi karya Moh Asror Yusuf dan buku-buku lain yang
relevan dengan pembahasan nasionalisme sreta demokrasi.
Sistematika pembahasan dalam makalah ini adalah: Bagian pertama berisi pengantar
yang memuat identifikasi permasalahan, pendekatan dan sistematika yang di pakai
serta sumber rujukan. Bagian kedua berisi kerangka teori sebagai landasan bagi
tema yang di kaji. Bagian ketiga berisi
pemaparan materi yang memuat pengertian nasionalime dan demokrasi serta bagaimana
konsep yang ideal nasionalisme dan demokrasi dalam Islam itu sendiri. Bagian
keempat Analisis kritis menurut penulis sendiri dan bagian kelima kesimpulan
dari pembahasan.
B.
Kerangka Teori
Di era modern, nasionalisme tampaknya menjadi imbas paling utama dari
pengaruh Barat di negara-nagara Muslim yang pernah diduduki oleh kaum penjajah. Sebagai sebuah gejala historis,
nasionalisme muncul sebagai respon terhadap suasana politik,ekonomi,sosial dan
budaya,khususnya yang di ciptakan oleh kaum kolonialisme . Tentu saja
nasionalisme muncul karena beberapa sebab,tetapi yang paling penting adalah
relasi antara kolonialisme dan nasionalisme yang begitu dekat.
Dalam hal ini pemerintah kolonial berupaya memberantas nasionalisme, sementara
kaum nasionalis menentang pemerintahan kolonial. Nasionalisme yang mencurahkan perhatiannya
demi kebebasan negara-negara muslim tersebut adalah nasionalisme yang
berkembang sesuai dengan tradisi, agama, dan aspek sosial kemasyarakatan dalam Islam,
serta aspek-aspek lainnya.[2]Nasionalisme sendiri adalah
suatu faham yang berpendapat bahwa
tertinggi
individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan[3].
Yang oleh jamaluddin al-Afgani di munculkannya ide Pan Islamisme untuk
mengartikan bangsa tersebut dan yang mendasarkan pada al-Qur’an surat Ali Imran
Ayat 103 yang artinya “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya dengan tali (Agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”
Akan tetapi amat disayangkan dalam perkembangannya nasionalisme dalam
dunia Islam tersebut lebih mementingkan kedaerahan tempat lahir suatu bangsa
dari pada ukhuwah Islamiyah yang lebih luas, hal ini disebabkan karena
nasionalisme di dunia Islam sendiri juga ada tidak lepas dari pengaruh kemajuan pemikiran barat sebagaimana yang
tergambar di mesir ketika di invasi oleh Napoleon yang juga membawa pengaruh-pengaruh
pemikiran Barat, diantarnya: 1.Sistem pemerintahan republik, 2.ide persamaan (egaliter).
3.ide kebangsaan. [4]
Selain masalah nasionalisme dalam dunia Islam juga dibenturkan dengan
adanya masalah demokrasi, akan tetapi demokrasi dalam Islam bukanlah Demokrasi
sebagaimana Barat yang membangun
hubungan-hubungan antar individu masyarakat dan negara sesuai dengan persamaan
antar negara dan keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat undang-undang
hukum yang mengatur kehidupan umum, yang mengacu pada prinsip yang mengatakan
bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum, tetapi lebih kedalam
prinsip Syura yaitu kedaulatan hukum pada prinsipnya hak wewenang Alloh yang termanifestasikan
dalam Syariah, yang merupakan buatan alloh. Wewenang dan hak manusia dalam
pembuatan hukum, kekuasaan legislatif hanyalah kewenangan yang dibangun diatas
syari’ah ilahiah ini dan penjabaranya;merumuskan hukum-hukum dari
prinsip-prinsipnya; dan meici prinsip-prinsip umumnya. Begitu pula manusia ini
mempunyai kewenanhan ijtihad ng belum dotentukan oleh ketentuan samawi,dengan
syarat dewenangan menusia itu tetap tunduk pada kerangka filsafat Islam tentang
hukum.[5]
C.
Pemaparan
Materi
1.
Pengertian dan
sejarah Nasionalisme
Nasionalisme
berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata bangsa memiliki arti: (1)
kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya
serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama
atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan
bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah
tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa
bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya,
pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang
dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang
seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar[6]
Kata bangsa
mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian
politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu
masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan
masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa,
agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa
bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya satu bangsa tersebar pada lebih dari
satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku
bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda.
Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah
menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian
politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka
tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar
dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian
menjadi pokok pembahasan nasionalisme[7].
Dalam sejarah, nasionalisme
bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa—dalam
pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori
oleh Martin Luther di Jerman[8].
Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian
Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan
kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas
penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang
menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi
yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan
yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk
menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh
bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat
Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat
penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan.
Namun demikian,
nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak
manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self
interest dan bukan atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa
berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa
Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum
memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika
Latin[9].
Adanya
penjajahan ini,kemudian dalam waktu hampir
bersamaan,melahirkan gerakan nasional di negara-negara jajahan.Bentuk
dan tujuan gerakan nasionalisme di negara-negara jajahan itu hampir selalu
searah dan mengalami perkembangan yang relatif sama. Hal ini mungkin disebabkan
oleh nasib mereka yang sama-sama tertekan dan tertindas[10].
2.
Nasionalisme
dalam perspektif Islam
Nasionalisme
yang di gembor-gemborkan Barat dalam dunia Islam menurut said Nursi dapat
mengancam kelangsungan persatuan Islam. Nasionalisme ini merupakan ide Barat
yang diprogandakan untuk memecah kesadaran dan persatuan Umat. Dengan
nasionalisme, umat Islam saling memperebutkan daerahnya masing-masing sehingga
muncul rasa permusuhan dan peperangan di antara mereka,sehingga juga menjadi
lebih mudah bagi imperialis barat untuk menjajahnya.
Lebih
lanjut Said Nursi membedaka Nasionalisme menjadi dua, yaitu:
a.
Nasionalisme
destruktif (al-qaumiyyah al-Salabiyah)
Nasionalisme berdasarkan murni primordialisme daerah ini
menimbulkan permusuhan dan perpecahan karena terjadi perebutan kekuasaan dan
pengaruh dari masing-masing wilayah akibat ego nasionalitasnya. Sejarah
telah menunjukkan bahaya nasionalisme destruktif. Dinasti Umayyah yang
mengadopsi sebagian sistim nasionalitas (tepatnya kesukuan), menyebabkan
beberapa unsur masyarakat marah dan akibatnya terjadi sejumlah pembrontakan.
Begitu pula ketika ide nasionalisme modern dikembangkan di Eropa,terjadi
pertntangan antara Perancis dan Jerman,terjadi perang dunia yang sangat
mengerikan.[11]
b.
Nasionalisme
Konstruktif (al-qaumiyah al-ijabiyah).
Nasionalisme ini tumbuh dari dalam masyarakat yang bisa menunbuhkan
perasaan saling membantu. Dalam masyarakat Muslim (ummah) muncul
kelompok-kelompok dengan tujuan agar kelompok tersebut bisa memperkuat dirinya
masing-masing dan kemudian membantu yang lemah. Kelompok ini bukan ingin
memisahkan dari kelompok besar (ummah) tetapi justru membantu memperkuatnya.
Dari sini bisa dipahami bahwa nasionallitas yang diinginkan oleh
Said adalah nasionalitas yang tidak memisahkan diri dari persatuan Islam,
nasionalitas yang membantu mempercepat kemajuan umat Islam, atau dalam kata
lain, Nasionalisme Religius (Islamic Nationalism). Masing-masing nasionalitas
itu tetap dalam satu payung, yakni Iman dan Islam yang tidak dibatasi oleh
batas geografis sempit.
3.
Demokrasi Dalam
Islam
Orang-orang
yang mempromosikan demokrasi secara internasional berupaya membuktikan
universalitasnya. Promosi ini dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat
(berbarengan dengan globalisasi) sebagai kebijakan, dan didukung oleh para
ilmuwan politik Amerika melalui berbagai organisasi seperti the National
Endowment fo Democracy. Universalitas ini secara teoritis terdiri dari budaya
politik individualisme global, sekularisme, dan persamaan yang dianut bersama.
Ini semua sebenarnya merupakan prinsip-prinsip dasar Pencerahan Eropa, dan sama
sekali tidak bersifat universal, serta cenderung terbatas di wilayah budaya
yang terpengaruh oleh budaya Eropa. Jadi, bukannya bersifat universal, tetapi
justru bersifat parokial. Lain halnya dengan di Asia (terutama Asia Selatan),
Afrika, Amerika latin, dan Timur Tengah. Budaya politik mereka merupakan budaya
kelompok dan budaya komunitas, bukan budaya individual. Nilai-nilainya berupa
nilai keagamaan , bukan sekular.[12]
Demokrasi
sendiri adalah suatu sistem politik dan sosial yang timbul di Barat,yang di
kenal oleh peradaban Barat modern dari peradaban yunani kuno dan
pengembangannya dilakukan oleh kebangkitan barat modern dan kontemporer ini.ia
membangun hubungan hubungan antar individu masyarakat dan negara sesuai dengan
persamaan antar negara dan keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat
undang-undang hukum yang mengatur kehidupan umum,yang mengacu pada prinsip yang
mengatakan bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum,(the voice
of people is the voice of god). Kekuasaan rakyat menurut pandangan sistem
demokrasi adalah milk rakyat dan melalui rakyat pula untuk mencapai kedaulatan
rakyat,tujuan-tujuannya dan kepentingan-kepentingannya.
Sedangkan
sistem perwakilan,dimana para wakil rakyat terpilih mewakili rakyat untuk
menjalankan tugas-tugas kekuasaan legislatif,mengawasi dan meminta pertanggungjawaban kekuasaan adalah perangkat
yang menjadi penyambung bagi demokrasi langsung dimana rakyat melakukan secara
langsung semua tugas-tugas kekuasaan ini dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan
demokrasi.[13]
Dalam Islam sendiri, dalam masalah politik
kenegaraan sebenarnnya tidak menggariskan sistem politik dan ketatanegaraan
tertentu,tetapi bisa menerima berbagai sistem dan bentuk sesuai dengan tuntutan
tempat,waktu,dan tradisi masing-masing negara.sedangkan Islam hanya
mengatur asas-asas atau prinsip-prinsipnya saja,di antara asas-asas atau prinsip-prinsipnya tersebut
adalah pemimpin harus jujur, amanah, adil, transparan, bermusyawarah dan melindungi hak asasi[14] .
Oleh
karena itu dalam menghadapi budaya demokrasi barat yang sudah tidak bisa di
bendung lagi masuk dalam dunia Islam ,Umat
Islam bukan kemudian antipati terus menerus terhadap demokrasi tersebut, tetapi
mengakomodasinya pada hal-hal yang sesuai budaya Islam.
Berikut
ini perbedaan-perbedaan demokrasi Barat dengan Islam
a.
bahwasannya
yang dikehendaki dengan rakyat oleh
demokrasi modern sebagai yang terkenal di dunia barat ialah bangsa yang warga
negaranya dibatasi oleh batas-batas geografi, yang hidup dalam suatu negara
anggota-anggotanya di ikat oleh persamaan darah, jenis, bahasa, dan adat
istiadat. Tidak demikian dengan Islam, umat di dalam Islam tidaklah diikat oleh
kesatuan tempat, darah dan bahasa semua ini dipandang pengikat-pengikat yang
sekunder. Tetapi pengikat-pengikat yang pokok ialaha kesatuan akidah maka pandangan
Islam adalah prikemanusiaan, dan ruangnya adalah universal.
b.
tujuan
demokrasi barat baik yang modern ataupun demokrasi kuno adalah terbatas untuk
tujuan keduniaan atau materiil belaka. Tetapi dalam Islam selain melengkapi
maksud kenduniaan, dengan menjauhkan pikiran fanatik kebangsaan meliputi pula
maksud kejiwaan. Bahkan maksud inilah yang dipandang lebih penting dialah
merupakan asas.
Ibnu khaldun
dalam menakrifkan imamah mengatkan “imamah itu adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan akhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali kepada kemaslahatan
akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syara’ harus
dikaitkan dengan kemaslahatan akhirat.
c.
kekuasaan umat
atau (rakyat) dalam demokrasi barat adalah mutlak, umat itulah yang mempunyai
siyadah atau majelis yang dibentuknya, yang mempunyai hak dalam membuat
undang-undang atau yang membatalkannya. Ketetapan yang dikeluarkan oleh majelis
ini menjadi undang-undang yang harus dilaksanakan, wajiba ditaati walaupun
berlawanan dengan undang-undang moral untuk ketinggian bangsa. Atau untuk
menguasai pasaran dunia. Akan tetapi dalam Islam, kekuasaan umat tidak mutlak
tetapi di batasi oleh syariaat agama alloh yang dipeluknya. Rakyat tidak boleh
bertindak diluar batas undang-undang itu, undang-undng inilah yang diliputi
oleh al-qur’an dan as-sunah, kita
mengakui bahwasannya kehendak umat merupakan suatu sumber undang-undang
akan tetapi kehendak umat ini haruslah berdasarkan kepada apa yang terdapat di
dalam al-qur’an dan as-sunnah[15].
D.
Analisis Kritis
Nasionalisme
yang di bawa oleh Barat yang dipaksakan
diterapkan di dunia Islam merupakan nasionalisme yang berdasarkan
daerah,ras,suku dan etnis yang dapat membahayakan keutuhan umat islam sendiri
,nasionalisme yang seperti ini yang telah terbukti menghasilkan
penindasan-penindasan di belahan dunia asal nasionalisme berada harus bisa di fahami dengan baik oleh umat Islam sendiri sebelum di
ambil sebagai dasar negara dalam dunia Islam.
Oleh
karena nasionalisme pada saat ini merupakan sebuah keniscayaan,maka seharusnya
umat Islam harus memformalisasikan keberadaan nasionalisme yang sesuai dengan
budaya ketimuran yang tidak hanya mementingkan primordialisme kedaerahan saja.
Tetapi juga nasionalisme yang mementingkan persatuan umat islam dan kemajuan
umat islam di daerahnya masing-masing.
Di
samping Barat membawa ide nasionalime,juga membawa demokrasi ala barat yang
hanya mementingkan keduniaan saja. Dan sebagai umat Islam tidak diperkenankan
untuk mengadopsinya dengan mentah-mentah,tetapi harus di sinergikan dengan
budaya Islam yang juga mementingkan akhirat dalam menjalankan kehidupan
bernegara.
Faham
nasionalis dan demokrasi inilah yang dicoba diterapkan dalam negara yang
penduduknya mayoritas Islam ,di
antaranya Indonesia dengan idiologi pancasilanya yang meramu antara
nasionalisme dan demokrasi Barat dengan faham nasionalisme dan demokrasi
Islam,sebagaimana yang tergambar dalam pemikiran Ir.Soekarno salah satu bapak
pendiri bangsa Indonesia dengan tidak menafikan kelemahan-kelemahan dalam pengaplikasiannya
di indonesia sendiri.
E.
Kesimpulan
Nasionalisme
berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Kata bangsa ini mempunyai dua
pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut
pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang
merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota
masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat
istiadat. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam
suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai
suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.
Dalam
sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan.
Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi
Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. Kemudian dalam
perjalannya, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi
hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan
self interest dan bukan atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme
Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar
bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat
itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika,
dan Amerika Latin
Nasionalisme
dalam Barat tersebut kemudian di tanggapi oleh seorang tokoh Islam yaitu said
Nursi yang membagi nasionalisme dalam 2 kategori ,yaitu Nasionalisme
destruktif(al-Qaumiyah al-Salabiyah) yang ini sebagaiman konsep Barat dan
nasionalisme kontruktif (al-qaumiyah al-ijabbiyah) yaitu nasionalisme yang
tetap menjaga persatuan umat Islam yang menurut beliau merupakan konsep yang
paling tepat untuk negara Islam saat itu.
Demokrasi
dalam Islam merupakan demokrasi yang tidak murni mengikuti penuh demokrasi
barat,tetapi juga memformalisasikan dengan budaya Islam yang berlaku,terutama
dalam hal ini ada 3 perbedaan pokok dalam demokrasi barat,dan Islam yaitu:
1.bahwasannya yang dikehendaki dengan
rakyat oleh demokrasi Barat ialah bangsa
yang warga negaranya dibatasi oleh batas-batas geografi. Tidak demikian dengan
Islam, umat di dalam Islam tidaklah diikat oleh kesatuan tempat,tetapi
pengikat-pengikat yang pokok ialah kesatuan akidah.2. tujuan demokrasi barat
adalah terbatas untuk tujuan keduniaan atau materiil belaka. Tetapi dalam Islam
selain melengkapi maksud kenduniaan,juga demi kemaslahatan akhirat.3. kekuasaan
umat atau (rakyat) dalam demokrasi barat adalah mutlak. Akan tetapi dalam
Islam, kekuasaan umat tidak mutlak tetapi di batasi oleh syariaat agama alloh
yang dipeluknya.
Daftar Pustaka
Ali, Lukman dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka,1994.
Alim,
Muhammad. Asas-Asas
negara Hukum Modern Dalam Islam. Yogyakarta: LKIS, 2010.
al Jamri, Mansoor. Islamiisme, Pluralisme and
Civil society, terj Mahnun
Husein. Yogyakarta:Tiara
Wacana,2007.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Islam dan Politik bernegara. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Bakti, Andi
Faisal. Islam and
Nation Formation in Indonesia, terjemahan nawawi dan
Syamsul Rijal. Jakarta:Churia
Press, 2006.
Dault, Adhyaks. Islam dan
Nasionalisme: Reposisi Wacana dalam konteks nasional. Jakarta:Pustaka
kautsar, 2005.
Girindra, idiologi-idiologi
modern: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme, dalam http://kipp.pers.web.id/2011/08/ideologi-ideologi-modern-nasionalisme-demokrasi-dan-sosialisme/, di akses pada tanggal 13 april
2012.
Imarah, Muhammad. Perang
Terminologi Islam versus Barat, terj Musthalah Maufur. Jakarta:Robbani
Press,1998.
Kons, Hans. Nasionalisme
Arti dan Sejarahnya, terj Sumantri Mertodipuro. Jakarta:Erlangga,1984.
Nasution, Harun. Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:Bulan Bintang,1996.
Yatim, Badri
dan Soekarno. Islam dan
Nasionalisme. Jakarta:Logos
Wacana Ilmu,1999.
Yusuf, Asror. Persinggungan
Islam dan Barat. Kediri:
STAIN Kediri press, 2009.
[1]
Girindra, idiologi-idiologi
modern: nasionalisme, demokrasi dan sosialisme, http://kipp.pers.web.id/2011/08/ideologi-ideologi-modern-nasionalisme-demokrasi-dan-sosialisme/, di akses pada tanggal 13 april
2012.
[2] Andi Faisal
Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia, terjemahan nawawi dan Syamsul Rijal (Jakarta:Churia Press, 2006) 185-186.
[3] Hans kons, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, terj Sumantri Mertodipuro (Jakarta:Erlangga,1984) 11.
[4] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:Bulan
Bintang,1996) 31-33.
[5] Muhammad
Imarah,Perang Terminologi Islam versus Barat, terj
Musthalah Maufur (Jakarta:Robbani Press,1998) 178-180.
[8]Adhyaksa dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi
Wacana dalam konteks nasional (Jakarta:Pustaka
kautsar,2005)
[11] Asror yusuf, Persinggungan
Islam dan Barat (Kediri: STAIN Kediri press, 2009) 132-134.
[12] Mansoor al
jamri, Islamiisme, Pluralisme and Civil society, terj Mahnun Husein (Yogyakarta:Tiara
Wacana,2007) 111-112.
[13] Muhammad
Imarah, Perang Terminologi Islam versus Barat, terj
Musthalah Maufur(Jakarta:Robbani Press,1998)178-179.
[14] Mahfud Md,”Bernegara
Dan Berhukum Dalam Islam” dalam Asas-Asas negara Hukum Modern Dalam Islam, Muhammad
Alim (yogyakarta:LKIS,2010)xii.
[15] Teungku
Muhammad hasbi ash shiddieqy,Islam dan Politik bernegara(Semarang:Pustaka Rizki
Putra)188-181.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "NASIONALISME DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*