Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Mathla'ul Anwar


Oleh: Fahad Asadulloh 
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)

(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di 
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)




PENDAHULUAN


Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek historis, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Islam baik yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, Mathla’ul Anwar dan lain-lainnya yang pada masa pra-kemerdekaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan yang begitu mendasar di tengah masyarakat.

Organisasi keagamaan Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Di samping itu, terbentuknya berbagai organisasi ini memberikan akses terhadap kesadaran untuk memperjuangkan nasib sendiri melalui instrumen organisasi yang bersifat nasional. Di Pandeglang Banten, terdapat sebuah organisasi yang juga memiliki lembaga pendidikan islam yaitu Mathla’ul Anwar. Organisasi ini merupakan organisasi dan lembaga keislaman pertama yang berdiri di Banten. Munculnya Mathla’ul Anwar dilatarbelakangi oleh rasa persatuan para kyai dan tokoh masyarakat yang ingin mempertahankan ajaran-ajaran islam di nusantara khusunya di Banten, mengingat pada saat itu Banten berada dibawah jajahan kolonial Belanda yang membawa mereka ke dalam lembah hitam dan jauh dari agama dan ketenangan.



Dengan demikian, makalah ini didesain untuk mengulas sejarah tentang Mathla’ul Anwar serta perkembangannya hingga sekarang.



A.                            Konfigurasi Sosial, Politik, Dan Demografis Banten
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal Deandeles,[1] praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeraah di Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas, serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan.[2]
Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilayah memiliki sistem administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, sistem ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan sistem idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elit dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan lokal.[3]
Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran struktural sosial masyarakat Banten. Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiologi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap kolonialisme. Sehingga sebagian dari elit agama membentuk fron perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang walaupun sudah memeluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara “mipit”. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”. Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono (sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.
Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu merupakan bentuk sumbolisme atas harapan adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur.
Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil. Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah kualitasnya.
Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain. Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.[4]
B.                            Deskripsi Sejarah Mathla’ul Anwar
Mathla’ul anwar disingkat MA, nama sebuah himpunan atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Organisasi ini didirikan oleh KH. E Muhammad Yasin beserta beberapa orang kawannya pada tanggal 11 syawal 1334/10 juli 1916 di Menes, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Semula MA hanya menyelenggarakan pendidikan Islam yang berpusat di Menes, dengan maksud untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia serta taat menjalankan syari’at. Namun karena sambutan dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, maka organisasi ini terus berkembang menjadi organisasi sosial kemasyarakatan yang yang tidak hanya terbatas menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal dan dakwah.
Organisasi Mathla’ul Anwar bersifat keagamaan, independen, berakidah Islam menurut ahlus sunnah wal jama’ah , dan berdasarkan pancasila. Organisasi MA meliputi bidang organisasi/kaderisasi, bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan, bidang ekonomi/keuangan, bidang sosial/kesejahteraan, bidang penerangan/dakwah, bidang pemuda, olahraga dan kesenian, bidang pembinaan muslimah, bidang pembinaan hukum dan pembelaan, serta bidang hubungan luar negeri.
Lembaga pendidikan yang didirikan oleh MA, sampai dengan tahun 1985 tercatat sebagai berikut: 4.706 buah Madrasah Ibtidaiyah, 737 buah Madrasah Tsanawiyah, 311 buah Madrasah Aliyah, dan 711 buah pondok pesantren. Murid pendidikan tersebut di atas tercatat sebanyak 344.614 orang. Di samping itu MA juga memeiliki puluhan sekolah kanak-kanak, lembaga-lembaga keterampilan dan tempat-tempat kursus, seperti kursus bahasa dan komputer, bahkan telah memiliki perguruan tinggi. Untuk ikut serta menanggulangi masalah-masalah sosial , MA juga mendirikan yayasan untuk menyantuni anak yatim piatu dan orang jompo.
Kurikulum yang dipakai pada lembaga-lembaga pendidikan tersebut adalah sebgai berikut: untuk sekolah-sekolah agama disesuaikan dengan kurikulum Dpeartemen Agama RI dan untuk sekolah-sekolah umum disesuaikan dengan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sejak berdirinya, MA telah mengalami perkembangan yang cukup pesat walaupun juga mengahadapi berbagai macam kendala. Sampai dengan tahun 1985 telah berdiri 183 cabang MA di Propinsi. Ketika terjadi pemberontakan masyarakat Menes terhadap pemerintah Kolonial Belanda, banyak tokoh-tokoh dan murid-murid sekolah MA dibuang ke digul, dengan tuduhan ikut terlibat dalam pemberontakan tersebut. Tokoh yang di buang antara lain KH. Abdul Hadi dan K. Husen. Sejak saat itu pemerintahan kolonial terus menaruh kecurigaan terhadap tokoh-tokoh MA dan membatasi ruang gerak mereka. Suasana ini dialami, baik pada saat pemerintahan kolonial Belanda maupun pada masa pemerintahan Jepang. Akan tetapi karena semangat pengabdian dan dakwahnya yang tidak pernah padam, kegiatan organisasi tidak pernah terhenti. Pada tahun 1930-an dan 1943 MA berhasil menyelenggarakan beberapa kali muktamar. Pada saat meletusnya G-30-S/PKI, MA juga mendapat teror dari pihak PKI, namun semuanya dapat diatasi dengan baik. Bahkan tokoh-tokoh MA turut berandil dalam menghadapi dan menumpas gerakan tersebut.[5]
C.                             Peranan dan Kiprah Mathl’ul Anwar dalam bidang pendidikan
Sejak munculnya kesadaran akan pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas dari keterpurukan akibat kolonialisme, para pendiri yang notabene kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka juga bersepakat untuk menjadikan sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan modern sebenarnya sama sekali baru bagi komunitas Muslim nusantara, mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke 20 ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti Normal School dan Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.
Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan pesantren merupakan model pendidikan yang paling sesuai dan “islami”.
Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus jika melihat latar belakang pendiri MA yang justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari pernyataan salah seorang tokoh pendiri, K.H. Muhammad Sholeh. Beliau menyatakan bahwa dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus diserahkan kepada seseorang yang mengetahui dan mampu mengelola lembaga pendidikan baru tersebut. Keterbukaan ini merupakan fondasi utama berdirinya madrasah modern MA pertama di Menes, bahkan di Banten, sebelum kemudian berdiri Al-Khairiyah pada tahun 1920-an.
Kesadaran akan pentingnya sistem pendidikan Islam alternatif ini juga tidak lepas dari beberapa kenyataan yang terjadi saat itu. Diantara yang paling menonjol dan sering kali digarisbawahi adalah gagalnya sistem pendidikan Islam lama untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren dan gagalnya pesantren untuk “memproduk” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman.
 Faktor lainnya adalah intensifnya gerakan sekularisasi dan westernisasi oleh pemerintah kolonial melalui pendirian sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai objek pelajarannya. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting dalam proses penerimaan sistem pendidikan baru oleh para kiyai.
Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem pendidikan Islam pada masa selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar Menes bahkan Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah pusat MA. Hasilnya sungguh spektakuler. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40 madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini termasuk pada kategori a rural-based movement (gerakan berbasis desa).
Semangat modernisasi sistem pendidikan Islam juga terjadi pada wilayah kurikulum dengan diperkenalkannya beberapa materi umum seperti ilmu bumi, ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman. K.H. Uwes Abu Bakar kemudian mempertahankan semangat ini pada saat menerima aturan pemerintah Indonesia merdeka yang menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (6 tahun), MTs (3 tahun), MA (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Berdasarkan aturan tersebut, MA memutuskan untuk membagi sembilan tingkatan kelas ke dalam tingkatan Ibtidaiyah (MI) dan Tsanawiyah (MTs) untuk membagi sembilan kelas madrasah ke dalam dua level pendidikan (Ibtidaiyah dan Tsanawiyah). Kiyai Uwes juga menerima aturan untuk memasukkan materi-materi umum lainnya termasuk bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes berinisiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP). Ketika Kementrian Agama meluncurkan program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk mengintensifikasi pengajaran materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi program ini.
Keberhasilan untuk menyebarkan pengaruhnya melebihi dua provinsi dan adanya pengakuan secara legal dari pemerintah terhadap status madrasah dan status organisasi, MA berhasil memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk program subsidi pendidikan. Pencapaian ini telah menjadikan MA sebagai salah satu organisasi yang telah banyak menerima proposal penggabungan dari sekolah/madrasah lokal yang berasal dari berbagai daerah bahkan pulau seperti Al-Iman dari Magelang, Nahdlatul Wathan dari NTB dan lain-lain. Sebagai dampak langsung dari fusi madrasah/sekolah ini, MA pada awal tahun 1960-an tercatat sebagai organisasi massa Islam terbesar ketiga dibawah NU dan Muhammadiyah.
Perkembangan progressif ini bukan berarti tanpa tantangan, terutama ketika terjadi perubahan kepemimpinan dimana para pendirinya telah banyak meninggal dunia dan munculnya pemimpin-pemimpin baru yang memiliki sumber legitimasi yang berbeda-beda. Munculnya kiyai Uwes yang bukan berdarah “biru” keturunan para pendiri telah menciptakan perpecahan internal dengan munculnya madrasah Maslahul Anwar yang didirikan oleh kiyai Junaedi, putra kiyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di beberapa wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah, MALNU, MALINU dan Nurul Amal.
Selain faktor kepemimpinan pada tingkat elit, kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok dalam MA. Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh K.H. Abdul Latif, K.H. Asrori dan K.H. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dan agama dengan NU atau Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para kiyai senior terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum, khususnya Bahasa Inggris, mendorong para kiyai dan pengikutnya yang ada di madrasah keluar. Yang menarik dari peristiwa ini adalah bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi secara konvensional sebagai tempat mentransfer ilmu pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul madrasah-madrasah baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.
Melihat realitas di atas, kita bisa mengatakan bahwa meskipun madrasah dalam MA tidak hanya sebagai tempat mendidik generasi-generasi baru Muslim tetapi juga sebagai media memoblisasi politik, sepak terjang MA sangat erat kaitannya dengan gerakan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Tentunya untuk masa yang akan datang, identitas MA sebagai pembaharu pendidikan Islam harus terus dipertahankan, apalagi ketika bangsa Indonesia masih terpuruk dalam hal kualitas pendidikan apalagi menyangkut pendidikan Islam.[6]
D.                            Program Pendidikan Mathla’ul Anwar
Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan yang bernama K.H. Mustagfiri. di kota Menes. Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes.  Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-kanak Mathla’ul Anwar.  Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan Islam Mathla’ul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Mengenai program pendidikan, diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan) tahun, yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII.  Pada saat itu belum ada pemisahan tingkat Ibtidaiyah dan tingkat Tsanawiyah.  Disamping pendidikan dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi juga dibuka lembaga pendidikan dengan sistem pesantren.  Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan dikorelasikan dengan sistem sekolah.  Guru-guru yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam harinya di rumah masing-masing tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah Mathla’ul Anwar[7].
Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah.  Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes.  Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat.  Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam.  Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama saja[8].
E.                            Peranan dan Kiprah Mathl’ul Anwar dalam bidang Politik
Saat ini, Mathla'ul Anwar telah menjelma menjadi salah satu kekuatan civil society yang sangat diperhitungkan sebagai katalisator seluruh agenda pembangunan bangsa. Kini, diusianya yang memasuki 96 tahun, demi mengoptimalkan peran dan kontribusinya demi bangsa ini, Mathla'ul Anwar berupaya melakukan refleksi atas interrelasi Mathla'ul Anwar dengan politik yang seringkali mengundang perdebatan panjang. Ini adalah momentum yang paling tepat bagi Mathla'ul Anwar, apakah akan bersikap berpihak kepada salah satu partai atau saluran politik yang ada. Atau tetap menjaga netralitasnya tetapi membebaskan para kadernya masuk dunia politik praktis, atau bahkan sama sekali mengambil sikap tegas dengan menjauhkan Mathla'ul Anwar dari dunia politik. Hal ini penting untuk diklarifikasi demi menjaga eksistensi Mathla'ul Anwar yang benar-benar ditujukan untuk kemaslahatan umat dan bangsa ini.
Menurut Eko Supriatno, Dosen FKIP Universitas Mathla’ul Anwar, mengatakan bahwa: Dalam hal politik, Mathla'ul Anwar memiliki dalil landasan yang tegas, yaitu: “Mathla'ul Anwar tidak berpolitik praktis tetapi sangat mengerti politik.” Paham ini memiliki dua pengertian. Pertama, Mathla'ul Anwar dan partai politik adalah dua institusi yang sangat berbeda. Sesuai khittah dakwah Mathla'ul Anwar adalah menjaga jarak yang sama jauh dengan partai politik. Karena itu, pemimpin Mathla'ul Anwar seyogyanya tidak diperbolehkan merangkap sebagai pemimpin partai politik mana pun.



Kedua, dalam melaksanakan misi utamanya sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, Mathla'ul Anwar tidak dapat melepaskan diri dari dinamika politik bangsa. Kelahiran Mathla'ul Anwar pada tahun 1916 dan strategi dakwahnya, sangat dipengaruhi oleh situasi politik penjajahan Belanda[9].
Eko Supriatno menambahkan bahwa kebijakan politik Mathla'ul Anwar tampak sangat dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik Mathla'ul Anwar (high politics). Sebagai ormas keagamaan, Mathla'ul Anwar tidak seharusnya terlibat pada wilayah politik praktis. Mathla'ul Anwar tidak seharusnya mendukung kekuatan politik tertentu. Sebaliknya, Mathla'ul Anwar harus menjaga kedekatan yang sama kekuatan politik yang ada[10].
Perkembangan-perkembangan yang dialami Mathla’ul Anwar mulai dari didirikannya hingga saat ini baik dalam hal dakwah dan pendidikan telah menjadi bukti konkrit bahwa organisasi ini memiliki prinsip yang tetap  kokoh. Hal ini tidak lepas dari semangat dari para pendiri dan para anggota Mathla’ul Anwar yang tetap konsisten untuk menjaga ajaran-ajaran islam melalui pendidikan dan dakwah.

PENUTUP
Mathla’ul Anwar merupakan organisasi keagamaan dan pendidikan terbesardi Indonesia setelah NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Organisasi ini juga menjadi organisasi yang mendirikan lembaga pendidikan islam pertama di Banten. Lahirnya organisasi ini dilatarbelakangi oleh rasa keprihatinan para tokoh agama dan kyai atas nasib rakyat nusantara khususnya rakyat Banten yang terus menerus mendapat menindasan dari kolonial Belanda baik dalam bidang politik, ideologi, agama, sosial-ekonomi maupun pendidikan.
 Pada akhirnya, pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H atau 10 Juli 1916 M para tokoh agama bermusyawarah dan memutuhkan bahwa didirikan lembaga pendidikan islam yang diberi nama Mathla’ul Anwar dengan harapan mampu memberi cahaya dalam kegelapan yang mereka alami saat itu.
Mulai zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini  Mathla’ul Anwar telah mampu menjadi kekuatan besar di Banten yang tetap konsisten untuk menyebarkan ajaran islam melalui pendidikan dan dakwah. Hal ini terbkti dengan adanya madrasah-madrasah dan lembaga pendidikan yang lain yang berhasil didirikan oleh Mathla’ul Anwar di Banten. Sedangkan dalam bidang politik, sesuai yang dikatakan Eko Supriatno bahwa Mathla’ul Anwar tidak memfokuskan dirinya dalam ranah politik, “Mathla’ul Anwar tidak berpolitik praktis tapi mengerti politik”.
Perkembangan-perkembangan ini tentu saja tidak luput dari antusiasme dan dukungan dari masyarakat Banten dan sekitarnya dalam memajukan pendidikan sehingga ajaran islam tetap terjaga dan tetap terjalinnya kerukunan umat beragama.








[1] Gubernur yang  memimpin wilayah  jajahan Belanda
[2] Tim Penyusun, Sejarah dan Khittah Mthla’ul Anwar  (Jakarta:PB Mahla’ul Anwar, 1996), 4

[3]Ibid.,
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, 2001), 204
[7] Tim Penyusun, “Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar” (Jakarta:PB Mahla’ul Anwar, 1996), 12
[8] Yudi Hendriawan, “ Sejarah Berdirinya Mathla’ul Anwar” dalam yudihendriawan blogspot com /2009/11.html diakses tanggal 5 April 2012
[9] Eko Supriatno, “Matha’ul Anwar dan Godaan Politikdalam http://www.radarbanten.com/ diakses 05 April 2011
[10] Ibid









Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Mathla'ul Anwar"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*