Oleh: Fahad Asadulloh
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
(facebook: fahad.asadulloh@yaho o.co.id)
A. Latar
belakang masalah
Al-Qur’an
adalah firman Allah yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi
petunjuk bagi seluruh manusia.[1] Secara
Istilah, al-Qur’an adalah firman Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat,
diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis dalam mushaf, disampaikan secara
mutawatir, dan menjadi ibadah dengan membacanya.[2]
Nabi
Muhammad sebagai penerima dan penyampai al-Qu’an adalah Nabi terakhir (Q 33:34)
tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelahnya. Ini artinya tidak akan ada lagi kitab samawi lain yang diturunkan. Al-Qur’an
adalah kitab samawi terakhir yang
diturunkan oleh Allah sampai akhir zaman.
AlQur’an
yang merupakan kumpulan dari firman-firman Allah berperan sebagai pembeda
antara hak dan yang bathil (al-furqan (Q3:138 dan Q10:57), dan lain-lain.
Kesemuanya ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mempunyai cakupan yang sangat luas,
baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Tetapi keluasan cakupan masalah yang
dibahas ini tidak didukung dengan metode pembahasan yang sistematis. Suatu masalah
yang dibahas di berbagai tempat, bukan pada satu ayat atau surat. Meminjam
istilah Quraish Syihab, al-qur’an tidak menggunakan metode sebagai mana metode
penyusunan karya-karya ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas suatu masalah
pasti menggunakan metode tertentu, dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode
ini tidak terdapat dalam al-Qur’an yang
didalamnya terdapat permasalahan induk silih berganti diterangkan.[3]
Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah /2:216-221 yang berisi
tentang pengaturan hukum perang dalam asyhur-al-hurum, tetapi secara berurutan
dibahas juga hukuman minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan
perkawinan dengan orang-orang musyrik.[4]
Berbagai
masalah yang dibicarakan dalam al-Qur’an diantaranya adalah sumpah Allah. Orang
boleh saja heran, mengapa Allah banyak bersumpah dalam al-Qur’an. Keheranan
tersebut muncul karena mereka tidak mengerti tentang idiom dalam al-Qur’an
serta perbedaan kesiapan individu dalam menerima kebenaran firman Tuhan.
Kesiapan jiwa setiap
individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahanya itu berbeda-beda.
Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak ternoda kejahatan akan segera menyambut
petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya
sekalipun petunjuk itu sampai kepadanya hanya sepintas kilas. Sedang jiwa yang
tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebatilan tidak akan tergoncang
hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yamg kuat lagi
kokoh, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya itu. Qasam
(sumpah) dalam pembicaraan, termasuk salah satu uslub pengukuhan kalimat yang
diselingi dengan bukti konkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang
diingkarinya.
Makalah ini akan
memberikan sedikit gambaran tentang pengertian ilmu aqsamul Qur’an, macam-macam
qasam, unsur-unsur qasam dan ungkapan, serta faedah qasam dalam al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud
dengan ilmu aqsamul Qur’an?
2. Unsur-unsur apa saja
yang ada dalam al-Qur’an?
3. Apa sajakah macam-macam
Qasam/atau sumpah dalam al-Qur’an?
4. Faedah apakah yang
terdapat dalam aqsamul Qur’an?
A. Pengertian Aqsamul Qur’an
Secara etimologi
kata Aqsama merupakan bentuk jamak
dari Qasama yang artinya sumpah.
Adapun kata yang memiliki makna sama dengan kata qasama
adalah yamin atau al-half.[5] Tentang yamin, Ibrahim
Anis dkk seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution mengatakan bahwa qasam sama dengan yamin
yang bermakna sumpah. Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim yang
berarti sama. Qasam didefinisikan
sebagai “mengikat hati jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu,
dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun
secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Bersumpah dinamakan juga dengan yamin (tangan kanan) karena orang arab
ketika bersumpah memegang tangan kanan sahabatnya. Selain Qasam sama dengan yamin, Qasam juga sama dengan half. [6]
Sedangkan secara
terminologi ilmu Aqsamul Qur’an adalah
ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Qur’an.
Kemudian yang dimaksud sumpah sendiri adalah sesuatu yang digunakan untuk
menguatkan pembicaraan. Menurut al-Jurjani seperti yang dikutip oleh Hasan
Mansur Nasution sumpah adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan salah
satu dari dua berita dengan menyebutkan nama Allah atau sifatnya. [7]
B. Unsur-Unsur Yang Membentuk Sumpah Dalam
Al-Qur’an
Lahirnya suatu
sumpah mengharuskan adanya unsur-unsur yang mendukungnya, yaitu hal-hal yang
dengannya terbentuk sumpah Allah. Tanpa adanya unsur-unsur dimaksud maka tidak
dapat disebut dengan sumpah Allah. Menurut Ahmad
Syadzali sedikitnya
terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi jika dikehendaki suatu ucapan menjadi
sebuah sumpah, yaitu: fi’il yang dimuta’addikan
atau ditransitifkan dengan “ba”,muqsam
bih dan muqsam ‘alayh. [8]
1. Fi’il yang berbentuk
muta’addi dengan diawali huruf ba’
Sighat qasam baik yang berbentuk uqsimu atau ukhlifu tidak
akan berfungsi tanpa dita’addiyahkan
dengan huruf ba’
Contoh:
Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah”[9]
Oleh karena qasam sering dipergunakan dalam percakapan maka ia
diringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan huruf ba’.
Kemudian ba’pun dihilangkan dengan wawu pada isim dzahir , kadangkala dengan
huruf ta’ pada lafdz jalalah.
Contoh dengan huruf
wawu:
«
Artinya:“Demi Allah,
sesungguhnya aku akan melakukan tipudaya terhadap berhala-berhalamu”.[11]
2. Muqsam Bih
Muqsam bih adaah lafad yang terletak sesudah adat
qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai
syarat.[12] Muqsam bih atau mahluf bih
maksudnya adalah sesuatu yang dengannya sumpah dilakukan. Misalnya Allah
bersumpah dengan Allah sendiri atau dengan sebagian makhluk-Nya.[13]
Allah dalam al-Qur’an bersumpah dengan Zatnya sendiri Yang Maha Suci atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya Yang Maha Besar.[14]
Contoh Allah bersumpah dengan dzatnya
sendiri:
Artinya: ”Katakanlah:
“Memang, demi Tuhanku benar-benar engkau akan dibangkitkan, kemudian akan
diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”[15].
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena
makhluk itu menunjukkan pada Pencipta-Nya, yaitu Allah di samping menunjukkan
pula akan keutamaan dan kemanfaatan makluk tersebut, agar dijadikan pelajaran
bagi manusia.[16]
Contoh Allah bersumpah
dengan makhluk ciptaan-Nya:
Artinya: “Demi
matahari dan cahanya di pagi hari.”[17]
3. Muqsam ‘Alaih
Muqsam ‘alaih adalah
bentuk jawaban dari syarat yang telah disebutkan sebelumnya (muqsam bih). Posisi Muqsam ‘alaih
terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki
dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqsam ‘alaih dan mentahkikannya.[18]
Jawab qasam itu pada
umumnya disebutkan. namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana
jawab “lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah:
Artinya: ”Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”.[19]
Penghilangan seperti
ini merupakan bentuk/uslub penghilangan yang paling baik, sebab menunjukkan
kebesaran dan keagungan-Nya. Dan takdir ayat ini adalah: “Seandainya kamu
mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan
kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya”.
Penghilangan jawab
qasam, misalnya:
Artinya: “ Demi
fajar, dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil.”[20]
Jawab qasam
terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan
sesudahnya seperti:
Artinya: “Tidak aku
bersumpah dengan hari kiamat dan tidak aku bersumpah dengan
jiwa yang banyak mencela”.[21]
Jawab qasam disini
sudah dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya yaitu:
Artinya:“Apakah
manusia mengira bahwa Kami tidak akan menggumpulkan kembali tulang
belulangnya?”[22]
Takdirnya adalah :
Sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
Untuk fi’il madli
yang muttasharif yang tidak didahului ma’mul, maka jawab qasamnya sering kali
menggunakan “lam” atau “qad”
Contoh:
Artinya: “Dan sessungguhnya merugilah
orang-orang yang mengotorinya”.[23]
C. Macam-Macam Qasam
Qasam itu adakalanya
zahir (jelas,tegas) dan adakalanya mudmar (tidak jelas, tersirat).[24]
1. Zahir adalah sumpah yang didalamnya disebutkan
fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya,
sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar, berupa “ba”,
“wawu”, dan “ta”.
Di beberapa tempat,
fi’il qasam terkadang didahului (dimasuki) “la” nafy, seperti:
Artinya:“Tidak, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak, Aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.[25]
Dikatakan “la” di dua tempat ini adalah “la” nafi yang berarti
tidak , untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan
konteks sumpah. Dan takdir (perkiraan arti) nya adalah: “Tidak benar apa yang
kamu sangka,bahwa hisab dan siksa itu tidak ada”. Kemudian baru dilanjutkan
dengan kalimat berikutnya: “Aku bersumpah dengan hari kiamat dan dengan nafsu
lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”. Dikatakan pula bahwa “la”
tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan: “Aku tidak bersumpah
kepadamu dengan hari itu dan nafsu itu. Tetapi aku bertanya kepadanya tanpa
sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengunpulkan tulang
belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Sungguh masalahnya
teramat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah”, tetapi dikatakan pula,
“la” tersebut zaidah (tambahan). Pernyataan jawab qasam dalam ayat di atas
tidak disebutkan tetapi telah ditunjukkan oleh perkataan yang sesudahnya.
Takdirnya adalah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.
2.
Mudmar adalah sumpah yang
didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia
ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk kedalam jawab qasam, seperti firman
Allah:
Artinya: “ Kamu sunggh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu”. [26]
D. Faedah Qasam Dalam al-Qur’an.
Bahasa arab
mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam
uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai
beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar as-salasah
atau tiga macam pola penggunaan kalkimat berita, ibtida’i, thalabi, dan ingkari.
Mukhatab terkadang
seorang yang berhati kosong (khaliyuz
zhanni) sama saekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang
diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu
memakai penguat (ta’kid). Penggunaan
perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia
ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka
perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna
menghilangkan keraguannya. Perkataan yang demikian dinamakan thalabi.
Dan terkadang ia
inkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai
penguat sesuai dengan kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pernyataan demikian
dinamakan inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.[27]
[1]
Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa
I’jazuh al-ilmi (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t), 12
[2]
‘Amir Abdul Aziz, Dirasat fi Ulumil
Qur’an (Beirut: Dar al-Furqan, 1983), 10
[3]M.Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:Mizan,1992), 34
[4]
Ibid
[5]
Manna’ Khalil Qathan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Lentera Antar Nusa,
2010), 413
[6] Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah
Allah (Bandung: Mizan, 1992),7
[7] Ibid.,8
[8] Ahmad Syadzali, Ulumul Qur’an (
Bandung: Pustaka Setia, 2000), 45
[9] QS. An-Nahl:38
[10] Q.S. Al-Lail:1
[11] Q.S.Al-Anbiya’:57
[12] Ahmad Syadzali, Ulumul Qur’an,46
[13] Hasan Mansur, Rahasia Sumpah Allah (Bandung:
Mizan, 1992),7
[14] Ahmad Syadzali, Ulumul Qur’an, 47
[15] Q.S. At-Taghabun:7
[16] Ahmad Syadzali, Ulumul Qur’an, 48
[17] Q.S. As-Syams:1
[18] Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, 418
[19] Q.S. At-Takatsur:5
[20] Q.S.Al-Fajr:1-3
[21] Q.S. Al-Qiyamah:1-2
[22] Q.S. Al-Qiyamah:3
[23] Q.S. Asy-Syams: 10
[24] Manna’ Khalil, Studi Qur’an, 4
[25] Q.S.Al-Qiyamah:1-2
[26] Q.S. Ali Imran:186