(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
1. Peran Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara
a.
Syarat-Syarat Hakim
Hakim
diartikan sebagai pelaksana Undang-Undang atau hukum dari suatu Negara. Hakim
juga disebut dengan istilah qadli (jamak
: qudlat) yaitu sebagai pelaksana
hukum yang berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapkan kepadanya, baik
yang menyangkut hak-hak Allah maupun yang berkaitan dengan hak-hak pribadi
seseorang.[1]
Hakim
merupakan unsur utama dalam pengadilan. Bahkan ia identik dengan pengadilan itu
sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman sering kali diidentikkan dengan
kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan
keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan
terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang
mencerminkan keadilan.[2]
Karena
hakim adalah orang yang mengadili perkara (di Pengadilan atau Mahkamah).
Menurut pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa “Hakim adalah
pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman”.[3]
Oleh karena itu wajar apabila Undang-undang menentukan syarat pengangkatan
hakim. Syarat yang paling utama berbeda bagi Hakim dilingkungan Pengadilan
Agama dibanding dengan lingkungan Peradilan lain adalah mutlak harus beragama
islam. Sedang pada lingkungan Peradilan lain, Agama tidak dijadikan sebagai
syarat.[4]
Adapun
syarat-syarat hakim yang ditetapkan oleh fiqih
Islam bagi seorang hakim dapat kita sebutkan secara global sebagai berikut :
Pertama,
harus orang dewasa. Karena itu tidak sah pengangkatan anak kecil sebagai hakim. Pendapat ini di dukung oleh tiga Imam yaitu: Imam
Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hambali.
Kedua, seorang yang berakal. Sebab hakim harus benar pemilihannya
dan bagus kecerdasannya sehingga dapat menjelaskan sesuatau yang rumit.
Ketiga, Muslim. Ini disebabkan keislaman merupakan syarat
diperbolehkannya persaksian terhadap orang muslim. Akan tetapi, madzhab Hanafi
memperbolehkan pengangkatan non muslim sebagai hakim terhadap non muslim.
Sebab, kelayakan peradilan berkaitan dengan kelayakan persaksian, sedangkan
non-muslim diperbolehkan menjadi saksi terhadap generasi penerus kelompoknya.
Sebagaimana madzhab Hambali, Syuraih, An-Nakha’i, Al-Auza’i, Ibnu Mas’ud, Abu
Musa, Zhahiriyah dan Imamiah memperbolehkan diterimanya persaksian non muslim dalam
wasiat seorang muslim ketika dalam bepergian. Dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, bahwa pendapat Imam Ahmad tentang diterimanya persaksian non-muslim
dalam hal ini dikarenakan kondisi darurat. Alasan ini mengharuskan diterimannya
persaksian dalam segala keadaan darurat, baik ketika sedang mukim maupun
bepergian.[5]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa persaksian haruslah berasal dari
kaum muslimin yang adil. Allah SWT berfirman :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
Apabila
mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukillah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu.[6]
Dengan demikian, bahwa persaksian non-muslim terhadap orang muslim
diperbolehkan dalam masalah-masalah perdata selain talak dan yang berkaitan dengannya. Selama asas peradilan adalah
persaksian sebagaimana dikatakan madzhab Hanafi maka dapat disebutkan alasan
dalam memahami pendapat yang mengatakan bolehnya hakim non-muslim menangani
perkara muslim dalam batasan sesuatu yang memang persaksian non-muslim itu di
perbolehkan.[7]
Keempat, adil yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, serta menjaga diri dari hal-hal yang haram.
Kelima, mengetahui hukum-hukum syari’ah, baik dasar-dasar
syari’ah maupun cabang cabangnya.
Adapun dasar
syari’ah ada 4 (empat), yaitu :
a) Mengetahui Al-Qur’an tentang
hukum-hukum yang tercakup di dalamnya, baik yang menghapuskan (nasikh) maupun yang dihapuskan (mansukh), muhkamat dan mutasyabihat,
umum dan khusus, global dan terperinci.
b) Pengetahuan tentang
sunnah Rasulullah yang shahih, baik
dalam bentuk perbuatan, ucapan, maupun cara datangnya (asbabul wurud).
c) Mengetahui pendapat
ulama’ salaf tentang apa saja yang mereka sepakati (ijma’) dan yang mereka perselisihkan untuk mengikuti ijma’ dan berijtihad dengan pendapatnya
dalam masalah yang diperselisihkan.
d) Mengetahui qiyas yang
bisa membantu dalam mengembalikan masalah cabang yang didiamkan kepada
dasar-dasar yang dijadikan rujukan dan yang disepakati.[8]
Keenam, sehat pendengarannya, penglihatan dan ucapan. Sebab
orang yang bisa tidak dapat mengatakan hukum, dan semua manusia tidak memahami
isyaratnya. Adapun orang yang tuli tidak bisa mendengar ucapan dua pihak yang
bersengketa. Sedangkan orang buta tidak dapat mencermati kasus yang dihadapi.
Namun demikian, kesempurnaan anggota badan tidak dinilai dalam hal ini. Maka
seorang hakim diperbolehkan memutuskan hukum walaupun dia lumpuh, walaupun hakim
yang tidak cacat tentu akan membuatnya lebih berwibawa.
Sedangkan untuk permasalahan hakim wanita, tidak
sah pengangkatan perempuan sebagai hakim menurut tiga Imam:
Maliki, Syafi’ dan Hambali, kecuali Imam Abu
Hanifah yang memperbolehkan perempuan sebagai hakim dalam suatu masalah yang
disahkan perempuan menjadi saksinya. Adapun persaksian
perempuan bagi Abu Hanifah dinyatakan sah dalam segala sesuatu kecuali dalam
masalah pidana. Bahkan Ibnu Jarir Ath-Thabari membolehkan perempuan sebagai
hakim dalam segala hal yang hakimnya dipegang oleh laki-laki, tanpa
pengecualian apapun. At-Thabari menganalogikan pendapatnya tersebut kepada
pendapat yang memperbolehkan perempuan yang berfatwa dalam seluruh masalah fiqih.[9]
Tampaknya
pendapat at-Thabari ini adalah yang lebih kuat karena beberapa alasan sebagai
berikut :
Al-Qur’an
mempersamakan perempuan dengan laki-laki dalam banyak ayat al-Qur’an,
diantaranya firman Allah :
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibnnya menurut cara yang
ma’ruf.[10]
Selain keislaman, tidak ada perbedaan dengan persyaratan Hakim pada
umumnya. Semua syarat yang ditentukan pasal 13 Undang-undang No 7 tahun 1989,
merupakan syarat yang harus terpenuhi (tidak boleh kurang)
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :
a)
Warga Negara Republik Indonesia
b)
Beragama Islam.
c)
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
d)
Setia kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
e)
Bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia ,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung
ataupun tidak langsung dalam gerakan Kontra Revolusi G.30 S/PKI.
f)
Pegawai negeri
g)
Sarjana syari’ah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam.
h)
Berumur serendah-rendahnya 25
tahun.
i)
Berwibawa, jujur, adil dan
berkelakuan baik.[11]
b.
Peran dan Tugas Hakim Dalam
Menyelesaikan Perkara
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadannya.[12]
Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu
adanya perkara. Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadannya guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia
(pasal 1 dan 2 UU No. 4/2004).
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan, menerima, memeriksa dan memutuskan
perkara mempunyai tugas, yaitu tugas yustisial yang merupakan tugas pokok. Adapun tugas yustisial
hakim Peradilan Agama adalah menegakkan hukum perdata Islam yang menjadi
wewenangnya dengan cara yang diatur dalam hukum acara Peradilan Agama.
Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk mengadili apabila
terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antara sesama
warga masyarakat. Rumusan jelasnya diatur dalam pasal 1 dan 2 Undang-Undang No. 4 tahun 2004. Bunyi lengkapnya
sebagai berikut:
a) Pasal 1 :
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
Negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila demi terselengaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
b) Pasal 2 :
Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilanj yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungna
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan peradilan Tata Usaha
Negara, dan Oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.[13]
Dalam ketentuan lain, yakni ketentuan pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang
No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 merumuskan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang orang yang beragama Islam dibidang :
a. Perkawinan;
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf, Zakat, Infak dan Shadaqah; dan
d. Ekonomi Syari’ah.[14]
c.
Tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili
Adapun tugas hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara adalah
sebagai berikut[15]:
1) Konstatiring, berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya
peristiwa yang diajukan tersebut atau membuktikan benar atau tidaknya
peristiwa/fakta yang diajukan para pihak melalui alat-alat bukti yang sah
menurut hukum pembuktian yang diuraikan dalam duduk perkaradan berita acara.
Konstatiring meliputi :
a) Memeriksa identitas para pihak.
b) Memeriksa kuasa hukum para pihak (jika ada).
c) Mendamaikan pihak-pihak.
d) Memeriksa seluruh fakta / peristiwa yang dikemukakan para pihak.
e) Memeriksa alat-alat bukti sesuai tata cara pembuktian.
f) Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dan bukti-bukti pihak lawan.
g) Menetapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku.
2) Kwalifisir, yaitu menilai peristiwa itu termasuk hubungan
hukum apa atau yang mana, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah
dikonstatiring itu untuk kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum. Yang
meliputi :
a) Merumuskan pokok-pokok perkara.
b) Mempertimbangan beban pembuktian.
c) Mempertimbangkan keabsahan peristiwa / fakta sebagai peristiwa
atau fakta hukum.
d) Mempertimbangkan secara logis, kronologis, dan yuridis
fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian.
e) Mempertimbangkan jawaban, keberatan, dan sangkalan-sangkalan
serta bukti-bukti lawan sesuai hukum pembuktian.
f) Menemukan hubungan hukum-hukum peristiwa / fakta yang terbukti
dengan petitum.
g) Menemukan hukumnya baik tertulis maupun yang tak tertulis dengan
menyebutkan sumber-sumbernya.
h) Mempertimbangkan biaya perkara.
3) Konstituiring yaitu menetapkan hukumnya yang kemudian
dituangkan dengan amar putusan (diktum), konstituiring ini meliputi :
a) Menetapkan hukumnya dalam amar putusan.
b) Mengadili seluruh petitum.
c) Mengadili tidak lebih dari petitum, kecuali undang-undang menentukan
lain.
d) Menetapkan biaya perkara.
2. Landasan Hakim Dalam Memutuska
Perkara
Seorang hakim
dalam memutuskan perkara haruslah mempunyai sebuah landasan, agar putusan yang
dihasilkan pun dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada para pihak yang
berperkara, masyarakat, negara maupun Allah swt. Di Indonesia, seorang hakim
dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, haruslah memenuhi
landasan hukum materiil dan landasan hukum formilnya.
Landasan hukum materiil
adalah hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
Sedangkan landasan hukum
formil disebut juga hukum acara, menurut Sudikno Mertokusumo, yaitu peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantara hakim atau peraturan hukum yang menetukan bagaimana
caranya menjamin pelaksaan hukum perdata materiil. Atau dalam pengertian lain,
Sudikno Mertokusumo mengatakan : bahwa untuk melaksakan hukum materiil perdata
terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum
materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian
peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil itu sendiri.
Peraturan-peraturan inilah yang disebut hukum perdata formal atau hukum acara
perdata.[16]
Dan menurut Mukti Arto,
hukum acara perdata agama adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan
mengatur cara bagaimana melaksakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku di
lingkungan peradilan agama.[17]
Sumber-sumber hukum
acara peradilan agama tersebut adalah meliputi:[18]
1)
HIR / R.Bg.
2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989.
3)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
4)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985.
5)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
6)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1947.
7)
Inpres Nomor 1 Tahun 1991
(Kompilasi Hukum Islam).
8)
Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
9)
Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia
10)
Peraturan Menteri Agama.
11)
Keputuan Menteri Agama.
12)
Kitab-Kitab Fiqh Islam dan
Sumber Hukum Tidak Tertulis lainnya.
13)
Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kemudian berdasarkan
ketentuan pasal 28 Undang-Undang Nomor 4/2004 maka Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian pula
dalam bidang hukum acara di Pengadilan Agama, hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum acara yang bersumberkan dari Syari’ah Islam. Hal
ini disamping untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam hukum acara juga agar
putusan yang dihasilkan lebih mendekati kebenaran dan keadilan yang diridloi
Allah SWT karena diproses dengan acara yang diridloi pula. Dengan demikian,
maka putusan-putusan hakim akan lebih memberikan rasa keadilan yang memuaskan
para pencari keadilan yang beragama Islam itu.
Disamping itu, ada
asas-asas yang dijadikan sebagai landasan beracara di Pengadilan. Asas-asas
hukum acara perdata ini dikaitkan dengan dasar serta asas-asas peradilan serta
pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha Negara; dimana ketentuan tentang hal ini diatur dalam
Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan
asas-asas khusus yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah antara lain :
1)
Asas Personalitas Keislaman
Yang tunduk
dan yang dapat ditundukan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang
mengaku dirinya beragama Islam. Asas
diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama pasal 2 penjelasan umum alenia ketiga dan pasal 49
terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang
melekat pada UU No.3 Tahun 2006 tentang asas personalitas keislaman adalah:
a.
Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b.
Perkara perdata yang
disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
shodaqoh, dan ekonomi syariah.
c.
Hubungan hukum yang melandasi
berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam.
Khusus mengenai
perkara perceraian yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya
pengadilan agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan berlangsung.
Sehingga apabila seseoorang melangsungkan perkawinan secara Islam apabila
terjadi sengketa perkawinan perkaranya tetap menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama, walaupun salah
satu pihak tidak beragama Islam lagi (murtad),
baik dari pihak suami atau istri, tidak dapat mengugurkan asas personalitas
keislaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya,
setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada
saat perkawinan berlangsung bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadi
sengketa.
2)
Asas Ishlah (upaya perdamaian)
Upaya
perdamaian diatur dalam pasal 29 UU N0.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tentang
perkawinan jo.pasal 31 PP.No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU.No.1 tentang
perkawinan jo. Pasal 65 dan pasal 85 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak
diubah dalam UU No.3 Tahun 2006 tentang peradilan agama jo. Pasal 115 KHI
jo.pasal 16 (2) UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Upaya
perdamaian dalam sidang Pengadilan Agama adalah bersifat imperatif, khususnya
dalam perkara permohonan izin
poligami. Sebab dalam pekara ini usaha mendamaikan merupakan beban yang
diwajibkan oleh hukum kepada hakim dalam setiap perkara poligami dan selama
perkara belum diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
3)
Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka
untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam
UU No.3 Tahun 2000 tentang Peradilan Agama jo.pasal 19 (3 dan 4) UU.No.4 Tahun
2004.
Sidang
pemeriksaan pengadilan agama adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita
acara sidang memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian
akan dilakukan dengan sidang tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan
dalam sidang tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan pernohonan cerai
talak dan/ atau cerai gugat (pasal 67 ayat 2 UU No.7 Tahun 1989 yang tidak
diubah dalam UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama).
4)
Asas Equality
Asas Equality di lingkungan peradilan agama
diatur dalam pasal 58 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 yang pasal dan isinya tidak
diubah menurut UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. pasal 5 ayat 1 UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Setiap orang
yang berperkara di muka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya
dalam arti sama hak dan kedudukan di hadapan hukum, sehingga tidak ada
pembedaan yang bersifat diskriminatif.
5)
Asas Aktif Memberi Bantuan
Asas aktif
memberikan batuan kepada pencari keadilan di lingkungan peradila agama adalah
diatur dalam pasal 119 HIR/149 R.Bg. jo. Pasasl 58 (2) UU No.7 Tahun 1989 yang
tidak diubah dalam UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. pasal 5 (2)
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakimany ang berbunyi :
Pengadilan
membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan.
Maka hukum bagi
hakim untuk memberikan bantuan kepada para pihak dalam proses lancarnya
persidangan adalah bersifat imperatif (wajib) sepanjang mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan permasalahan formil dan tidak berkenaan dengan masalah materiil
atau pokok perkara.
6)
Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan
Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan kecuali Undang-Undang menentukan
lain.
7)
Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap
putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada
Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan kecuali Undang-Undang
menentukan lain.
8)
Asas Upaya Peninjauan Kembali
Terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila
terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
9)
Asas Pertimbangan Hukum
Segala putusan
Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula
pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
10)
Asas Memberi Bantuan Antar
Pengadilan
Untuk
kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang
diminta.[19]
Untuk
memberikan putusan adalah tugas hakim. Putusan itu dituntut suatu keadilan dan
untuk itu hakim melakukan konstatering peristiwa yang dihadapi, mengkualifiksi
dan mengkonstitusinya. Jadi bagi hakim dalam mengadili suatu perkara yang
dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan
hukumnya adalah
suatu alat, sedangkan yang bersifat menetukan adalah peristiwanya. Maka di
dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya,
sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai
alasan yang
objektif atau tidak. Di samping itu pertimbangan hakim adalah penting dalam
pembuatan memori banding dan memori kasasi.[20]
Pertimbangan
atau considerans adalah dasar daripada putusan. Pertimbangan dalam putusan
dibagi dua yakni pertimbangan duduk perkara atau peristiwanya dan pertimbangan
akan hukumnya. Pertimbangan peristiwanya harus dikemukakan oleh para pihak,
sedangkan pertimbangan hukumnya adalah urusan hakim. Pertimbangan dari putusan
tersebut merupakan alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada
masyarakat mengapa ia sampai mengambil putusan demikian (objektif).[21]
3. Kewenangan Hakim Dalam Menafsirkan dan
Mengkontruksi Hukum
Di dalam Undang-Undang tentang
ketentuan pokok Kehakiman (Undang-Undang No. 4 Tahun 2004) pada pasal 16 ayat
(1), bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[22]
Hal ini mengindikasikan bahwa seorang hakim dianggap memahami hukum. Artinya, segala
perkara yang diajukan kepadanya harus
diterima. Apabila di dalam perkaranya tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib
menggali
hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum. Dengan cara bagaimana ia
dapat menggali dan menemukan apa yang dapat menjadi hukum?
Ketentuan pasal
28 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 mengisyaratkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.[23] Ketentuan pasal 28 ayat 1 ini harus diartikan sebagai suatu kewajiban bagi hakim
karena ia merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di
kalangan rakyat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan
putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, tugas
penting dari hakim adalah menyesuaikan Undang-Undang dengan hal-hal yang nyata di
masyarakat. Apabila Undang-Undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus
menafsirkannya. Dengan kata lain, apabila Undang-Undang tidak jelas maka hakim wajib menafsirkannya
sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud
hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Karena itu, orang dapat mengatakan bahwa
menafsirkan Undang-Undang adalah kewajiban hukum dari hakim.[24]
Sekalipun penafsiran merupakan
kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaaan hakim untuk menafsirkan
Undang-Undang itu. Logeman mengatakan bahwa Hakim harus tunduk pada kehendak
pembuat Undang-Undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja
dari kata-kata peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata
tersebut. Dalam sistem Undang-Undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang
dipakai dalam pergaulan sehari-hari.[25]
Hakim wajib mencari kehendak pembuat Undang-Undang, karena ia tidak boleh
membuat tafsiran yan tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah
tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat Undang-Undang. Karena itu hakim tidak diperkenankan
menafsirkan Undang-Undang secara sewenang-wenang. Orang tidak boleh menafsirkan
secara sewenang-wenang kaidah yang
mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat Undang-Undang
saja yang menjadi tafsiran yang tepat.
Agar dapat mencapai kehendak dari
pembuat Undang-Undang serta dapat menjalankan Undang-Undang sesuai dengan
kenyataan sosial,
hakim
menggunakan beberapa cara penafsiran, yaitu:
1.
Menafsirkan Undang-Undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa disebut
penafsiran gramatikal.
Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan
yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat
Undang-Undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-Undang
yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang
tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bias ditafsirkan secara
berlainan. Ada kalanya pembuat Undang-Undang tidak mampu memakai kata-kata yang
tepat. Dalam hal ini Hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim
dipakai dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta
penjelasan dari ahli bahasa.
2.
Menafsirkan Undang-Undang menurut sejarah atau penafsiran historis.
Setiap
ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah peraturan
perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua penafsiran
sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah, dan penetapan sesuatu ketentuan
perundang-undangan.
3.
Menafsirkan Undang-Undang menurut sistem yang ada di dalam hukum atau biasa
disebut dengan penafsiran sistematik
Perundang-undangan
suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak satupun dari perundangan
tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran
peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan
perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebut dapat menyebabkan kata-kata
dalam undang-undang diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit
daripada pengertiannya dalam kaidah yang biasa. Hal yang pertama disebut
penafsiran meluaskan dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.
4.
Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-undang itu
dapat dijalankan sesuai dengan keadaaan sekarang yang ada didalam masyarakat,
atau biasa disebut dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran teleologis.
Setiap
penafsiran undang-undang yang dimulai dengan penafsiran gramatikal harus
diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Apabila tidak demikian, keputusan yang
dibuat tidak sesuai dengan keadaan yan benar-benar hidup dalam masyarakat.
Karena itu, setiap peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa
kepastian hukum dalam pergaulan antara anggota masyarakat. Hakim wajib mencari
tujuan social baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila Hakim mencarinya,
masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran sosiologi. Melalui penafsiran sosiologi
Hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat
positif dari hukum (rechtspositiviteit)
dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid),
sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.
5.
Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi
Adakalanya pembuat Undang-Undang itu sendiri memberikan tafsiran
tentang arti atau istilah yan digunakannya di dalam perundangan yang dibuatnya.
Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Di sini Hakim
tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
6.
Penafsiran Interdisipliner
Penafsiran
jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai
disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu
hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum,
misalnya hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.
7.
Penafsiran Multidisipliner
Berbeda dengan penafsiran indisipliner yang
masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran
multidisipliner seorang Hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa
disiplin ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, disini Hakim
membutuhkan verivikasi dan bantuan dari disiplin ilmu yang lain.
[2] Erfaniah Zuhriah,Peradilan
Agama di Indonesia Dalam
Rentang Sejarah dan Pasang Surut (Malang :
UIN Malang Press, 2008), 165.
[3] Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 11.
[4] Zuhriah,Peradilan Agama, 166.
[5]Nur Shofa Ulfiati, Ijtihad Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Perceraian (Malang : UIN
Maulana Malik Ibrahim, 2009), 46.
[8] Ibid., 47.
[11] Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pasal 13.
[12] Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman (Jakarta:
Sinar Grafika,2004),6
[15] Arto, Praktek Perkara, 36-37.
[17] Arto, Praktek Perkara, 7.
[20] R. Soeroso, Praktek Hukum
Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), 79.
[21] Ibid.,
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Landasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Di Pengadilan Agama"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*