HASAN AL-BANNA
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanga
Hasanl-Bannadilahirkan pada tahun 1906, lahir di Mahmudiyah
dari keturunan keluarga taat beragama dan terpandang. Ayahnya Syaikh Ahmad ibn
Abd al-Rahman al-Sa’ati adalah seorang yang ‘alim di bindang ilmu agama yang waktunya
ia gunakan untuk mengajar dan berdakwah. Sejak kecil al-Banna di didik ayahnya
dalam pendidikan agama seperti fiqh, hadits dan al-Qur’an, disamping sekolah di
pendidikan guru di Damanhur.
Kemudian melanjutkan pendidikan di Dar al-Ulum selama empat tahun. Selain
memperoleh pendidikan formal, Ia memasuki tarikat Hasyafiyat semenjak usia dua
belas tahun.
Pendidikan yang sinergis ini memberi pengaruh yang dalam bagi
pembentukan kepribadiannya sebagai seorang pemimpin, ilmuwan dan menjalani
kehidupan rohani. Pergumulan al-Banna dengan berbagai ilmu agama maupun ilmu
umum ini pada gilirannya melahirkan suatu revolusi pemaknaan Islam sebagai
agama
universal mencakup segala aspek kehidupan ritual, dan sosial, akhirat dan
dunia. Dengan asuhan dan asahan secara Islam itulah maka ia bisa berkata:
“hanya Islamlah ayah kandungku”. Hal itu karena rasa cintanya terhadap ajaran
Islam, karena ajaran itulah yang membentuk watak dan kepribadiannya.
Sejak
muda al-Banna gemar membaca cerita rakyat, terutama yang menimbulkan semangat
heroik. Di antara buku itu ialah al-Amirah Dzatul Himmah (putri yang
bersemangat) dan Hikayat ‘Antaraah yang merupakan legenda. Bacaan
semacam itu baginya amat terkesan, dan kerap memainkan kembali adegan
kepahlawanan, perjuangan dan sejarah, cerita tentang para pahlawan Afrika
utara.
Pada
tahun 1919, Hasan al-Banna baru berusia 13 tahun. Namun demikian, ia sudah
terlibat aksi, menulis puisi dan menyaksikan pendudukan Mahmudiyah ,oleh
pasukan Inggris. Dari hasil pengalaman ini ia memetik kesan yang dalam. Ia
menjadi yakin, bahwa pengabdian kepada tanah air merupakan kewajiban yang tak
dapat ditinggalkan. Kelak akan
terbukti meski tak bisa diketahui selengkapnya ia memainkan peranan penting
dalam gerakan nasionalis Mesir.
Pada usia 14 tahun (1920) al-Banna masuk
sekolah guru tingkat pertama di Damanhur. Kecenderungan religiusnya tetap tidak
berubah. Ia tetap berpuasa dalam bulan Rajab dan Sya’ban. Tidaklah aneh, karena
ia pernah hidup dilingkungan yang menjalani kebiasaan pertapa, melakukan perjalanan
dan menempuh jarak jauh mengunjungi berbagai masjid. Dalam usia semuda itu, ia
menggabungkan diri dengan mazhab sufi Hasfiyah.
Pendidikan Islam tidak memfokuskan seluruh
perhatiannya pada aspek rohani atau akhlak saja seperti yang dilakukan oleh kaum
sufi dan pakar etika, atau aspek pemikiran rasional saja seperti yang biasa
dilakukan oleh para filsuf dan kaum rasionalis, atau aspek pelatihan fisik dan
kemiliteran saja seperti yang dilakukan oleh kalangan militer atau aspek
pendidikan sosial saja sebagaimana yang dilakukan oleh para reformis sosial.
Tarbiyatul
Islamiyah memperhatikan seluruh aspek tersebut. Karena ia adalah tarbiyah untuk
segenap eksistemsi manusia; baik akal dan hati, rohani dan jasmani, maupun
akhlak dan perilaku. Sebagaimana tarbiyah ini yang menyiapkan manusia untuk
menghadapi kehidupan dengan segala dinamikanya untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebaikan dan keburukannya, dengan segala pahit dan manisnya.
Oleh
karena itu, harus ada perhatian terhadap pendidikan jihad (tarbiyatul jihadiyah) dan pendidikan sosial secara serntak, agar
seorang Muslim tidak hidup terpisah dan realita masyarakat sekitarnya.
Inilah
gambaram integral dan holistik yang menjadi karakteristik Islam dalam bisang
aqidah, ibadah dan syari’at. Tentunya pula dalam bidang
tarbiyah (pendidikan).
Pengetahuan
Hasan al-Banna telah mengetahui satu hakikat melalui pembacaan, kajian dan
analisa sejarah kebangkitan dan tamadun umat manusia. Oleh itu jelas kepadanya
bahwa dakwah tidak akan dapat dijayakan tanpa rijal mukmin yang kuat.
Hasan
al-Banna mengatakan bahwa membina mukmin adalah merupakan keutamaan yang mesti
diberi perhatian oleh para ahli ilmu. Ini telah tergambar jelas didalam
risalahnya yang bertajuk: Kemana Kita Seru Manusia dibawah topik, Dimana Kita Hendak
Bermula. Maksud dari risalah tersebut adalah ketika kita mau menyebarkan ilmu
(kepada peserta didik) kita harus melihat kondisi peserta didik saat itu, dari
situ nanti diharapkan pendidikan tepat pada sasarannya dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (peserta didik). Beliau juga berkata: "Proses
Membentuk umat, mendidik bangsa, untuk mencapai cita-cita dan untuk
memperjuangkan kandungan pendidikan Islam, memerlukan kelompok yang
mengusahakannya sekurangnya kepada bebera kelompok:
- Kemauan yang kuat yang tidak dihantui rasa
percaya diri
- Kesetiaan
yang tetap tidak dicampuri dengan khianat
- Pengorbanan yang mulai tidak dibatasi
ketamakan dan kebatilan
- Mengenali, mengimani dan memandang tinggi
prinsip yang menghidarkan dari pada sikap gengsi dan penyelewengan atau
toleransi dan tertipu dengan selainnya (pinsip).
Melalui tarbiyah ini individu akan menjadi
seorang insan yang tidak mengejar nafsu syahwatnya, tidak juga menjadikan harta
dan kekayaan sebagia sesuatu yang berharga.
Hasil tarbiyah Islamiah akan melahirkan
individu muslim yang mempunyai sifat-sifat berikut:
- Bersikap positif terhadap
kehidupan, tidak menyendiri atau melarikan dari dari pada realita.
- Mempunyai kemauan yang
kuat, mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya setelah ia mengenali kebenaran
- Mempunyai jiwa yang
mendorongnya melaksakan kewajiban terhadap diri sendiri dan masyarakat
- Memiliki kebijaksanaan hasil pengalaman dalam
berbagai situasi kehidupan. Ia senantiasa memperhatikan, berfikir dan
mencari hakikat. Mempunyai banyak ikhtiar untuk mencapai tujuannya.
Dengan demikian, gagasan Hasan al-Banna
khususnya tentang pendidikan terbukti telah melahirkan madrasah teladan yang
handal khususnya sistem pendidikan. Aspek terpenting yang dapat di realisasikan
adalah membetuk generasi Islam kaffah yang memahami Islam secara tepat, responship
dan berjuang menegakkan agama Allah.
Makalah ini akan sedikit menjelaskan
tentang biografi hasan al- Bana, pemikiran al-Bana terkait dengan ilmu
pendidikan Islam, Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Pendidikan Islam Menurut Hasan al-Bana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Hasan al-Banna
Nama lengkapnya adalah Hasan bin Ahmad ‘Abdul Al-Rahman bin Muhamad Hasan
al-Banna. Akan tetapi banyak orang yang memanggilnya dengan nama Hasan. Dan ada
pula yang menyebut dengan nama Hasan al-Banna atau al-Imam al-Syahid Hasan.
Hasan al-Banna lahir pada tanggal 14 Oktober 1906 di Al- Mahmudiyah, sebuah
kota kecil di propinsi Buhairah, kira-kira 9 mil dari arah barat daya kota
Kairo. Hasan al-Banna lahir dari keturunan
keluarga taat beragama dan terpandang. Ayahnya Syaikh Ahmad ibn Abd al-Rahman
al-Sa’ati adalah seorang yang ‘alim di bidang ilmu agama yang waktunya ia
gunakan untuk mengajar dan berdakwah. Beliau adalah sosok yang sangat disegani
oleh sejumlah besar ulama’ Mesir sebab kedalamam ilmu beliau terutama dalam
menguasai ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu bahasa dan sekaligus penghafal Qur’an.
Bahkan Syeikh Ahmad ini pernah belajar di Al-Ahzar pada masa Syekih Muhamad
Abduh.
Hasan al-Banna
telah mengawali pendidikan dasanya di madrasah diniyah Ar-Rasyad dengan Syeikh
Muhamad Zahran sebagai gurunya yang kelak sangat berpengaruh bagi perjalanan
hidupnya.
Disaat Hasan al-Banna belum juga selesai menghafal Surat Al-Isro’,
yang berarti kurang lebih baru separo
Al-Qur’an tiba-tiba sang ayah menyampaikan sesuatu rencana yang mengejutkan, ia
harus pindah ke Madrasah I’dadiyah. Ketika itu, jenis pendidikan ini setingkat
dengan Madrasah Ibtida’iyah hanya tanpa pelajaran bahasa Asing namun ada
beberapa pelajaran tentang undang-undang pertahanan dan perpajakan, serta
sedikit tentang agrikultural disamping mendalami secara luas tentang ilmu
bahasa nasional (Bahasa Arab) dan ilmu agama. Dan di madrasah inilah Hasan al-Banna
memulai mengikuti organisasi keagamaan yang bernama Perhimpunan Akhlak Mulia
yang bertujuan untuk menghukum angota-anggotanya atas setiap pelanggaran
sekolah itu ternyata tida menyurutkan semangat ayahnya nuntuk tetap menjadikan
Hasan al-Banna sebagai seorang hafidz. Untuk itu ia mengambil waktu menghafal
Al-Qur’an setelah subuh hingga menjelang berangkat sekolah.
Dewan teritorial kota Bahirah menetapkan penghapusan sistem Madrasah
I’dadiyah dan diganti dengan Madrasah Ibtida’iyah. Maka tidak ada alternatif
lain bagi Hasan al-Banna kecuali harus memilih mendaftarkan diri ke Madrasatul
al-Mu’allimin Al-Awwaliyah di Damanhur untuk dapat menyingkat waktu, karena
setelah tiga tahun menempuh pelajaran disini akan menjadi seorang guru. Akhirnya pilihan kedua inilah yang ia
pilih. Saat itu usia Hasan al-Banna baru 14
tahun.
Pada masa beliau ini pula Hasan al-Banna menyaksikan untuk pertama kalinya
halaqah dhikir, sebuah ritual sufi yang dilakasanakan oleh Tarekat Al-Ikhwan
Al-Hashafiyah (Persaudaraan Hashafiyah). Karena begitu terkesan, Hasan al-Banna
masuk menjadi anggota tarekat ini selama dua puluh tahun berikutnya, dan ia
tetap memegang teguh ajaran sufisme dalam arti khusus sealama hidupnya. Hasan al-Banna terwarnai oleh metode
dzikir, wirid, kajian kita ihya, sholat jamaah, puasa senin kamis, serta
kunjungan persaudaraan, salah seorang pendidik tarekat itu yang bernama Syeikh
Muhamad Abu Sayusyah itu untuk pergi ke kuburan. Mereka berziarah kubur dan
membaca wazifah.
Pada usia enam belas tahun, atau tepatnya tahun 1923 Hasan al-Banna pergi
ke Kairo dan belajar di Darul Ulum. Darul Ulum didirikan pada tahun 1873
sebagai lembaga pertama Mesir yang menyediakan pendidikan tinggi modern (sains)
disamping ilmu-ilmu agama tradisional yang menjadi spesialisasi lembaga
pendidikan tradisional dan klasik Al-Azhar. Selain itu, Hasan al-Banna mampu
menorganisasikan kelompok mahasiswa Universitas Al-Ahzar dan Universitas Darul
Ulum yang melatih diri berkhotbah di masjid-masjid. Hal ini terlaksana karena
Hasan al-Banna tetap memlihara hubungan baiknya dengan Tarekat hasafiyah dan
pada tahun kedua ini bergabung dengan organisasi keagamaan Jam’iyah Makarim
Al-Akhlaq (Asosiasi Akhlak Terpuji) yang kegiatannya mengorganisasi
ceramah-ceramah materi-materi keislaman.
Tahun 1927, adalah tahun dimana Hasan al-Banna berhasil menyelsaikan
studinya di Universitas Darul Ulum dengan predikat cumulate. Lalu ia diangkat
menjadi guru disalah satu sekolah menengah di kota Isma’iliat, daerah terusan
Suez. Sejak ia sampai di Isma’iliat, hingga
awal tahun 1928, Hasan al-Banna mempelajari kondisi masyarakat dan mencoba
mengenali faktor-faktor yang berpengaruh dalam masyarakat mereka. Ia berhasil
menjalin hubungan dengan para ulama’ serta para syeikh tarekat, tokoh, dan
berbagai kelompok. Beliau berhasil meraih hati mereka dan melalui merekalah
akhirnya ia berhasil menarik perhatian masyarakat luas kepada dakwahnya.
B. Ilmu Pendidikan
Menurut Hasan al-Bana
Islam adalah
ibadah dan pemerintahan, agama dan negara,
ruh dan amal, shalat dan jihad, ketaatan dan hukum, serta Al-Qur'an dan
kekuatan. Tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya,
sesungguhnya Allah
mecegah sesuatu dengan kekuasaan apa yang tidak dapat ia mencegahnya dengan
Al-Qur'an.
Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan
sumber-sumber dan dasar-dasar sebagai landasan berpijak dalam penetuan materi,
interaksi, inovasi dan cita-citanya. Oleh karena itu seluruh aktivitas
pendidikan meliputi penyusunan konsep teoritis pelaksanaan operasionalnya harus
memiliki sumber-sumber dan dasar-dasar yang kokoh. Hal ini dimaksudkan agar
usaha yang terlingkup dalam pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah
disipmangkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar pendidikan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa
paradigma pendidikan Islam Hasan al-Banna dirumuskan atau dikontruksi dan dibangun dengan landasan agama
Islam yang bersumber pada:
-
Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh
seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dari umat,
akhlak dan kekuatan, kasih
sayang dan keadilan, peradaban dan
undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga
ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak
lebih.
- Al-Qur'an
yang mulia dan Sunah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum
Islam. Ia harus memahami Al-Qur'an
sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'assuf
(serampangan). Selanjutnya ia memahami Sunah yang suci melalui
rijalul hadits (perawi hadits) yang
terpercaya.
Dalam pandangan Hasan al-Banna, bahwa
kedua sumber tersebut adalah tempat kembali setiap muslim untuk mengetahui
hukum Islam. Dan keduanya sebagai dasar Islam harus dipahami secara total dan
universal sebagaimana mestinya dengan memperhatikan keutentikan dan kevalidanya
ini. Hasan al-Banna pada prinsip kedua dari dua puluh prinsipnya mengatakan:
Al-Qur'anul Karim dan
Sunah yang suci, keduanya adalah tempat kembali setiap muslimn untuk mengetahui
hukum Islam. Al-Qur'an dipahami sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tanpa
ditarik-tarik dan dipaksa-paksakan pengertiannya, dan dalam pemahaman Sunnah
dikembalikan kepada imam-imam Hadits yang terpercaya.
Pada kesempatan lain Hasan al-Bana
menyatakan:
Al-Qur'anul karim adalah
sistem yang kompeherensif bagi seluruh hukum Islam. Al-Qur'an adalah sumber
mata air yang senantiasa menyirami hati-hati yang beriman dengan kebajikan dan
hikmah. Dan yang paling utama seorang hamba dalam upaya bertaqarrub kepada
Allah adalah membacanya.
Ucapan Ustadz Hasan al Hudhaibi, Mursyid
kedua Ikhwan, akan tetap terngiang-ngiang di telinga kita,
"Tegakkan
Al-Qur'an dalam hatimu niscaya ia akan tegak diatas bumimu".
Dalam risalah muktamar kelima Ikhwanul
Muslimin, Hasan al-Banna menegaskan
bahwa Ikhwanul Muslimin berkeyakinan, dasar pengajaran Islam dan
sumbernya adalah Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, yang jika umat berpegang pada
keduanya sekali-kali mereka tidak akan tersesat selama-lamanya. Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa dalam memahami Al-Quran hendaklah didasarkan pada apa yang
dipahami oleh para sahabat, tabi'in dan ulama' salaf yang saleh (
salafus
shaleh). Hasan al-Banna mengingatkan agar umat Islam berdiri teguh pada
hukum-hukum yang ditetapkan Tuhan. Mereka tidak perlu terikat dengan
ikatan-ikatan lain selainn dengan tali Allah, tidak mesti mewarnai zamanya
dengan warna yang tidak sesuai dengan Alqu'an, padahal Islam adalah agama untuk
umat manusia seutuhnya.
Dalam hubungannya serta menambah
pengetahuan, Al-Qur'an mendorong manusia untuk mempergunakan akal pikirannya
serta menambah ilmu pengetahuan semaksimal mungkin. Kemudian juga menjadikan
obseevasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada setiap penemuan
baru atau ilmiah, sehingga mereka dapat menemukan dalilnya dalam Al-Qur'an
untuk dibenarkan atau dibantahnya.
Tugas Rasulullah saw adalah mengadakan
reformasi kehidupan manusia. Beliau mencontohkan sendiri dalam bentuk perbuatan
bagaimana reformasi itu. Beliau tidak hanya menyampaikan ilmunya, tetapi juga
memperhatikan bagaimana amalnya disamping berbentuk ucapan dan penetapan. Oleh
karena itu, hadits dibagi menjadi tiga macam: Hadits qauli, Hadits fi'li,
dan Hadits Taqriri.
Dalam padangan Hasan al-Banna, sikap
kebanyakan manusia sekarang terhadap kitab Allah ibarat sekelompok manusia yang
diliputi kegelapan dari segala penjuru. Mereka kebingungan berjalan tanpa
petunjuk apapun. Kadang-kadang mereka jatuh ke jurang, kadang-kadang membentur
batu, dan kadang-kdang saling bertabrakan. Seluruh dunia ini tersesat dalam kegelapan
yang pekat. Seluruh alam berjalan tanpa petunjuk. Berbagai sistem telah
bangkrut, masyarakat telah hancur, nasionalisme telah jatuh. Setiap kali
manusia membuat sistem baru untuk diri mereka, segera sistem itu hancur. Hasan
al-Banna menyakini Al-Qur'an adalah satu-satunya yang akan menyelamatkan sistem
sosial umat manusia. Sistem sosial apa pun yang tidak mengacu atau tidak
berlandasan Al-Qur'an al-Karim pasti akan menuai kegagalan. Karenanya, kaum
muslimin wajib menjadikan Al-Qur'an sebagai sahabat karib, kawan bicara, dan
guru.
Sebagai sumber asal Al-Qur'an mengandung
prinsip-prinsip yang masih bersifat global, sehingga dalam pendidikan Islam,
menurut pandangan Hasan Langgulung, terbuka adanya unsur ijtihad dengan tetap
berpegang pada nilai dan prinsip dasar Al-Qur'an dan as-Sunah. Karena itu, bagi
Langgulung, sumbel nilai yang menjadi dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur'an
dan Sunah Nabi Muhamd saw yang dapat dikembangkan dengan ijtihad,
al-masalahah mursalah, istihsan dan qiyas".
Dengan memahami sumber Islam yakni
Al-Qur'an dan Sunah secara autentik dan kaffah maka Islam dipahami sebagai
tatanan yang lengkap dan menyeluruh yang mencakup setiap aspek kehidupan.
Pemahaman Islam kaffah tersebut menjadi dasar utama sistem pengajaran
Hasan al-Banna sehigga corak pengajarannya mempunyai nilai keuniversalan khususnya
untuk membangun masyarakat Islam yang benar-benar menerapkan Islam secara total
dan universal.
B. Prinsip-prinsip
Dasar Ilmu Pendidikan
Islam Menurut Hasan al-Bana
Pendidikan
Hasan al-Banna memiliki dua karakter khusus:
Pertama:
التكامل
(Saling menyempurnakan)
Kedua;
التوازن
(Keseimbangan)
Arti at
takaamul adalah, tarbiyah yang dilakukan haruslah kompeherensif,
menyeluruh, tanpa menganulir satu bagian dengan bagian yang lain. Pendidikan
harus dilakukan dengan memperhatikan aspek ruhani dan jasad, akal dan perasaan,
jiwa dan hati, seluruhnya bekerja dalam membentuk kepribadian Islam secara
sempurna.
Sedangkan
makna
at tawaazun adalah pendidikan memberikan semua ajaran Islam
haknya, tanpa ada yang dikurangi. Tidak ada satu sisi yang mengalahkan sisi
yang lain.
Dari
uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sumber nilai yang menjadi dasar
pendidikan Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah. Didalam sumber tersebut, banyak
sekali nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan Islam.
Nilai-nilai tersebut adalah tauhid, kemanusiaan, dan kesatuan umat manusia.
1. Tauhid
Aspek
Rabbaniyah (tauhid)
dalam pandangan Hasan al-Banna merupakan
aspek yang paling penting, sangat signifikan dan memiliki pengaruh yang sangat
dalam. Hal ini disebabkan karena tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk
pribadi manusia yang beriman.
Tauhid
rubbiyah adalah pengakuan terhadap ke-Esaan Allah sebagai Dzat Maha Pencipta,
Pemelihara dan memiliki semua sifat kesempurnaan. Sedangkan tauhid uluhiyah
adalah komitmen manusia kepada Allah satu-satunya. Dzat yang dipuja dan
disembah. Komitmen kepada Allah itu dimanisfetasikan dalam bentuk sikap
ketundukan dan kepatuhan serta kepasrahan dengan sepenuh hati, sehingga seluruh
amal perbuatan, hidup dan matinya semata-mata hanya untuk Allah swt,
sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-An'am ayat 162, yaitu:
(ayat al Qur'an tidak bisa ditampilkan di blog ini)
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An'am: 162)
Bertitik
tolak dari pengertian tauhid diatas sesungguhnya nilai ajaran tauhid sudah
cukup memadai sebagai dasar seluruh aktivitas kehidupan manusia, karena tauhid
merupakan inti ajaran Islam. Sehingga seluruh segi kehidupan seorang muslim
tidak boleh menyimpang dari dasar ketauhidan. Begitu pula dengan proses
pendidikan Islam, nilai tauhid merupakan asas bagi seluruh aktivitas pendidikan
Islam. Falsafah dan teori pendidikan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam, yang
mengarahkan manusia untuk menjadi hamba Allah yang beriman dan bertaqwa.
Segi
keimanan ini mendapat tempat yang luas dan perhatian yang besar dalam sistem
pendidikan Hasan al-Banna. Dalam segi tulisan, surat-surat dan pidato-pidato di
berbagai kesempatan, Hasan al-Banna senantiasa mengetuk hati manusia sehingga
terbuka untuk mengenal Allah, mengharapkan karunia-Nya, takut kepada-Nya,
bertaubat dan bertawakal kepada-Nya serta yakin akan rahmat yang tersedia di
sisi-Nya, cinta dan ridha terhadap-Nya, merasa tentram dengan mendekatkan diri
kepada-Nya dan dengan mengingat-Nya.
Pendidikan
Ketuhanan hanya mengarahkan pandangan kepada Allah saja dan menjadikan
ridha-Nya sebagai tujuan akhir. Oleh karena itu, tidaklah mengherangkan kalau
pendidikan Hasan al-Banna bersemboyan
Allahu Akbar wa lillhil hamdu, dan
menjadikan ucapan pertama yang diajarkan kepada para pengikutnya dan
ditanamkan dalam akal dan perasaan mereka adalah
Allahu ghayatunna
(Allah tujuan kami).
2. Kemanusiaan
Yang
dimaksud dengan nilai kemanusiaan ialah pengalaman terhadap kemuliaan manusia,
karena memiliki hartkat dan martabat yang terbentuk dari kemampuan kejiwaanya
yang digerakkan oleh akal-budinya yang membedakan dari makhluk lainnya. Dengan
demikian, kalau manusia sebagai obyek pendidikan maka nilai sumber pendidikan
dapat diukur sampai dimana ia menghargai akal manusia yang berfungsi sebagai
alat untuk memahami, berfikir, belajar dan merenung.
Keistimewaan
sumber nilai Islam khususnya Al-Qur'an terletak pada seruanya kepada orang
mukmin untuk menggunakan akalnya dan mencela orang yang tidak menggunakan akal.
Seruan tersebut dijelaskan dalam berbegai konteks yang menunjukkan fungsi
kemanusiaan dan tingginya derajat manusia dari segi intelektual dalam berbagai
cirinya. Prinsip ini diakui oleh Hasan al-Banna dalam mengembangkan konsep
pendidikannya. Beliau menaruh perhatian besar pada aspek pendidikan akal sesuai
dengan perhatian Islam sendiri padanya. Karena itu, Hasan al-Banna menjadikan
al-fahmu
(kepahaman) sebagai rukun bai'at yang pertama dan didahulukannya atas ikhlas, amal, jihad,
persaudaraan dan lain-lain yang merupakan prinsip-prinsip dakwah.
Karena
pemahaman mendalami semua itu. Seseorang tidak akan ikhlas terhadap kebenaran,
mengamalkannya dan memperjuangkannya serta melaksanakan prinsip-prinsip dakwah
yang lain kecuali setelah ia mengenalnya dan memahaminya.
Nilai
kemanusiaan dijadikan dasar pendidikan Islam karena proses pendidikan Islam
menjamin potensi kemanusiaan atau fitrah manusia, yang dibawa sejak lahir,
dikembangkan seoptimal mungkin. Pendidikan Islam membimbing, mengarahkan dan
menyadarkan manusia sebagai pribadi yang mampu melaksanakan nilai moral agama
dalam hidupnya. Oleh karena itu, apabila nilai kemanusiaan tidak dikembangkan
dalam pendidikan, kehidupan manusia akan menyimpang dari fitrah Allah.
Nilai-nilai Islam harus dijadikan dasar dalam proses pendidikan yang
berlangsung sepanjang hayat manusia.
Islam
sangat menghargai nilai perasaan derajat, hak dan kewajiban karena kedudukan
manusia dihadapan Allah adalah sama, yang membedakan manusia satu dengan lainya
hanya nilai ketaqwaanya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya diskriminasi
dan penindasan terhadap hak-hak manusia.
3. Kesatuan
Umat Manusia
Salah
satu hal yang diperhatikan dalm proses pendidikan Islam adalah bahwa ia harus
memperhitungkan kemaslahatan umat manusia dan memelihara keutuhan sosial.
Prinsip kesatuan umat manusia ini memberikan dasar pemikiran yang menyeluruh
tentang perkembangan dan nasib seluruh manusia. Ini berarti bahwa segala hal
yang menyangkut kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan umat manusia termasuk
di dalamnya pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan, tidak cukup hanya
dipikirkan dan dipecahkan oleh sekelompok masyarkat tertentu tetapi menjadi
tanggung jawab seluruh umat manusia.
Sehubungan
dngan masalah global tersebut, Islam telah memberikan dasar pegangan yang
disyaratkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an agar manusia tetap mempererat tali
persatuan, dengan tujuan yang sama yakni untuk mengabdi kepada Allah semata.
Hasan
al-Banna dalam risalahnya yang berjudul
Da'wah Kami mengingatkan betapa
rapuhnya klaim yang mengatakan bahwa seruan kepada Islam hanya merusak
persatuan bangsa yang terdiri dari berbagai aliran dan agama. Islam, dalam
pandangan Hasan al-Banna, sebagai agama persatuan dan persamaan, telah menjamin
kekeuatan ikatan itu selama masyarakat tetap tolong menolong dalam kebaikan dan
taqwa.
Sebagai
landasan, Hasan al-Banna mengutip firman Allah dalam surat al-Muntahanah ayat
8:
(ayat al Qur'an tidak bisa ditampilkan di blog ini)
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil".
Dalam
pandangan Hasan Langgulung, pandangan hidup umat yang bertuhan Allah adalah
satu. Begitu juga dalam segala pikiran, perasaan, dan tindakan ada konsesus
untuk menjadikan syari'at sebagai kuasa terakhir untuk menyelesaikan perbedaan
antara mereka. Persaudaraan sejagat yang tidak mengenal perbedaan warna dan
etnis hanya dapat terjadi apabila didasarkan pada nilai-nila Islam. Siapa saja
yang memilih Islam sebagai agamanya ia termasuk anggota umat yang diberi hak
dan tanggung jawab yang diwajibkan oleh syari'at.
Hal
ini relevan dengan firman Allah dalam surat al-Anbiya' ayat 92, yang berbunyi:
(ayat al Qur'an tidak bisa ditampilkan di blog ini)
¨"Sesungguhnya
(agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, Maka sembahlah Aku".
Dengan
prinsip kesatuan umat sebagai asas atau dasar pendidikan Islam maka pendidikan
Islam harus dijalankan dengan sistem kerja. Pada dasarnya umat manusia di bumi
ini merupakan umat yang satu baik dalam aqidah maupun kejadian. Oleh karena itu
kesatuan umat yang saling kerja sama ini merupakan jaminan bagi kelangsungan
hidup manusia dalam mencapai kemasalahatan.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Hasan al-Banna"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*