(sumber foto: facebook)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Lahirnya
agama Islam menjadi awalan
lahirnya peradaban manusia modern yang manusiawi dan artistik. Hal ini bisa
dilahat dari sejarah Islam, munculnya Islam sejak diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak
terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju.
Islam dengan cepat pula bergerak mengembangkan dunia dalam membina satu
kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia
hingga saat ini. Bahakan kemajuan dunia Barat merupakan jasa dari peradaban
Islam yang mana bersumber dari kebudayaan Islam yang masuk ke Eropa melalui
Spanyol.
Peristiwa penguasaan Bani Umayah dalam puncak kepiemimpinan
kekholifahan Islam setelah masa Khulafaur Rosyidin sebagai salah satu topik
yang sangat penting untuk dikaji, dikarenakan banyaknya wawasan keilmuan
sejarah sebagai dinasti Islam yang berjaya dalam penguasaan hingga lebih dari
90 tahun lamanya. Bahkan perluasan wilayah Islam yang mampu mencapai Andalusia
(Spanyol) sebagai bukti besarnya dinasti awal Islam ini.
Pada pembahasan ini, akan meneliti kembali bagaimanakah
sejarah Bani Umaiyah dan juga masa 2 kholifah terkenalnya Kholifah Abdul Malik
bin Marwan dan Kholifah Al-Walid tentang sepak terjang keduanya dalam memimpin
kekholifahan pada masa itu yang mampu melebarkan kekuasaan Islam hingga sampai
ke Andalusia. Semoga makalah ini, nantinya dapat menambah wawasan keilmuan dan
dapat menjadi acuan pemikiran pembaca.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah lahirnya Bani Umayyah?
2.
Bagaimanakah
sejarah kekholifahan kholifah Abdul Malik bin Marwan?
3.
Bagaimanakah
sejarah kekholifahan kholifah al-Walid Abdul Malik?
C.
Tujuan
pembahasan
1.
Untuk
mengetahui sejarah lahirnya Bani Umayyah
2.
Untuk
mengetahui sejarah kekholifahan kholifah
Abdul Malik bin Marwan
3.
Untuk
mengetahui sejarah kekholifahan kholifah
al-Walid bin Abdul Malik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya Bani Umayyah
Bani Umayyah adalah salah
satu dari keluarga suku Quraisy. Keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul
Manaf, seorang pemimpin suku Quraisy yang terpandang. Umayyah bersaing dengan
pamannya, Hasyim bin Abdul Manaf (1.464), dalam merebutkan kehormatan dan
kepemimpinan masyarakat Quraiys. Umayyah dinilai memiliki cukup persyaratan
untuk menjadi pemimpin dan dihormati oleh masyarakat. Ia berasal dari keluarga
bangsawan kaya dan mempunyai sepuluh putra. Pada zaman pra-Islam, orang yang
memiliki ketiga kelebihan itu berhak memperoleh kehormatan dan kekuasaan.[1]
Sebagian besar anggota
keluarga Bani Umayyah menentang Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan Islam,
setelah Nabi Muhammad SAW pindah dari Makkah ke Madinah dan berhasil
mendapatkan pengikut di kota tersebut, sikap permusuhan Bani Umayyah belum
berakhir. Mereka memimpin orang Quraisy Makkah untuk
menentang dan memerangi Nabi SAW serta pengikutnya. Peperangan pun terjadi beberapa kali, namun mereka tidak
berhasil mengalahkan Nabi SAW.
Permusuhan Bani Umayyah
berakhir setelah Nabi SAW dan para pengikutnya berhasil memasuki kota Makkah
(tahun 8 H/630 M). Merasa tidak mampu melawan akhirnya Bani Umayyah menyerah
kepada Nabi SAW dan bersedia masuk Islam. Bani Umayyah tergolong yang belakang
masuk Islam. Setelah masuk Islam, mereka memperlihatkan loyalitas dan dedikasi
tinggi terhadap agama tersebut. Dalam setiap peperangan yang dilakukan oleh
kaum Muslimin misalnya, mereka tampil dengan semangat kepahlawanan, seolah-olah
ingin mengimbangi keterlambatan mereka masuk Islam dengan berbuat jasa besar
kepada Islam.
Karena sikap baik, ada
diantara mereka yang dipercayakan untuk menduduki jabatan penting. Mu’awiyyah
bin Abu Sufyan (21 SH / 602 M – 60 H / 600 M) misalnya pada masa Nabi SAW
diangkat menjadi penulis wahyu dan pada masa khalifah Umar bin Khattab (42 SH /
581 M – 23 H / 644 M) diangkat pada tahun 641 sebagai Gubernur di Suriah. Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan (47 SH / 576 M – 35 H / 656 M). Bani Umayyah
juga mendapat banyak keuntungan, pemberian hadiah dan jabatan, kekuasaan yang
membentang dari Suriah sampai Pantai Laut Tengah. Ia memanfaatkan masa tersebut
untuk mempersiapkan diri dan meletakkan dasar pendirian sebuah dinasti. Harapan
itu lebih besar terbuka setelah Utsman bin Affan di bunuh pada tahun 656 oleh
para pemberontak yang menentang kebijakan nepotisme dan penyalahgunaan harta
baitul mal untuk keperluan pribadi dan keluarga.[2]
Ketika Ali bin Abi Thalib
(603 M – 40 H / 661 M), yang diangkat oleh sahabat Nabi SAW di Madinah sebagai
khalifah pengganti Utsman, memerintahkan Umayyah untuk menyerahkan jabatan, ia
menolak. Sebaliknya, ia malah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman atau
paling tidak melindungi pemberotak yang melindunginya. Sikap Mu’awiyyah yang
menentang Ali di pandang sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan
harus diperangi sampai taat kembali, hingga akhirnya Ali dan pasukannya segera
berangkat untuk memerangi Mu’awiyyah di Suriah. Sebelum pertempuran itu
terjadi, Ali mengutus delegasi, mengirim surat agar Mu’wiyyah mengakuinya serta
bersatu dengannya. Namun usaha itu gagal dan terjadilah peperangan dan hampir
saja dimenangkan Ali, namun ‘Amr bin As dari Mu’awiyyah mengangkat al-Qur’an
dengan tombak sebagai simbol perdamaian.
Kedua pihak setuju memilih
seorang hakam (perantara) sebagai perunding dan pencari jalan penyelesaian
sengketa. Pihak Mu’awiyyah memilih Amr bin Ash dan dari Ali, Abu Musa
al-‘Asy’ari (sahabat Nabi SAW, w. 72/53 H) yang disetujui mayoritas penduduk
Irak. Tahkim tersebut berakhir dengan kekecewaan di pihak Ali. Ketika Abu Musa
mengumumkan turunnya Ali dari jabatannya, Amr bin Ash segera menyetujuinya dan
menetapkan Mu’awiyyah sebagai khalifah. Tahkim ini jelas menguntungkan
Mu’awiyyah, dan dari pihak Ali terjadi perpecahan tentara yang menamakan
khawarij. Dan khawarij berpendapat bahwa yang terlibat dalam tahkim telah
melakukan dosa besar hingga wajib di bunuh / bertaubat.
Rencana tersebut ternyata tidak sepenuhnya berhasil, Ibnu Muljam (pengikut
khawarij) 661 hanya berhasil membunuh Ali ketika Ali ke Masjid Kuffah. Adapun
Mu’awiyyah dan Amr bin Ash selamat dari rencana tersebut.
Memasuki masa kekuasaan
Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan Umayyah, pemerintahan yang bersifat
demokratis berubah menjadi Monarchiheridatis
(kerajaan turun temurun).[3]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun yang menjadi khalifah di
dalam Dinasti Umayyah berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Harb dan Abi
al-As. Khalifah-khalifah besar Dinasti Bani Umayyah ini adalah Mu’awiyyah ibn
Abi Sufyan (661-680 M). Abd al-Malik ibn Marwan (685 – 705 M), al-Walid ibn Abdul
Malik (705-715 M), Umar ibn al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abd al-Malik
(724 – 748 M).[4] Selanjutnya, masa keemasan
Dinasti Bani Umayyah yang mampu meluaskan wilayah hingga Spanyol, sejarah
menyatakan kejayaan Dinasti Bani Umayyah
tidak terlepas dari 2 kholifah besar yaitu:
Abd al-Malik ibn Marwan
(685 – 705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M).
B.
Kholifah
Abdul Malik bin Marwan
Abdul
Malik bin Marwan adalah khalifah kelima dari Bani
Umayyah, menggantikan khalifah Marwan
bin al-Hakam pada 685 Masehi. Selama masa pemerintahannya ia
membebaskan banyak kota seperti kota-kota Romawi (696-705 M), Afrika
Utara (698-703 M), dan Turkistan (705 M).[5]
Upaya yang dilakukan Khalifah Abdul Malik sepeninggalan Khalifah
Marwan bin Hakam akibat terbunuh pada tahun 66 H/685 M, Abdul Malik naik tahta
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai khalifah. Sedangkan dalam catatan
sejarah lain. Abdul Malik bin Marwan ditunjuk sebagai Khalifah dalam usia 39
dan diangkat, khalifah yang ke lima dari Daulat Umayyah pada 65 H/685 M, sampai
86 H/705 M (± 21 tahun).
Pada masa awal pemerintahanya, Abdul Malik mengalami banyak
hambatan dalam menjalankan pemerintahan. Karena ketika itu bangsa Arab terpecah
menjadi beberapa kelompok dengan fanatisme kesukuan masing-masing. Mereka yang
tidak puas atas kebijakan Marwan bin al-Hakam, melakukan berbagai gerakan
pemberontakan, sehingga wilayah kekuasaan Islam Dinasti Umayyah berada diujung
kehancuran.
Pemberontakan dimasa khalifah abdil Malik bin Marwan, antara lain :
Pemberontakan dimasa khalifah abdil Malik bin Marwan, antara lain :
a.
Pemberontakan
golongan Syia`ah tahun 66 H/586 M
b.
Pemberontakan
Abdullah bin Zubair tahun 72H/692 M
c.
Pemberontakan
kaum Khawarij
d.
Pemberontakan
Amruh ibnu Said tahun 70 H/692 M[6]
Khalifah Abdul Malik mewarisi pemerintahan ayahnya dalam keadaan
kacau. Oleh karena itu, usaha yang diutamakan adalah mengamankan negerinya dari
ancaman pemberontakan. Dengan demikian, beliau tidak sempat untuk mengadakan
perluasan daerah. Diantara pemberontakan yang terjadi adalah gerakan
pemberontakan di Irak yang dilakukan oleh al-Mukhtar bin Ubayd. Ia menyatakan
bahwa pemberontakan yang dilakukanya itu bertujuan untuk menggoyangkan
kekuasaan Dinasti Umayyah. Selain itu, gerakannya bertujuan untuk menuntuk
balas atas kematian husain bin Ali bin Thalib yang tewas`terbunuh pada masa
pemerintahan Khalifah Yazid bin Mu`awiyah. Al-Mukhtar berhasil mempeharuhi
masyarakat Irak yang setia kepada Ali dan anak cucunya. Mereka bersatu utuk
melakukan gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan
Abdul Malik. Untuk membangkitkan semangat jihad mereka melakukan ziarah ke
Karbala guna memancing amarah masyarakat tersebut. “Karbala adalah suatu tempat
yang dimana menyimpan suatu sejarah yang sangat tragis bagi HuseIn bin Ali.
Beliau terbunuh ketika hendak meninggalkan Madinah menuju Kuffah untuk menjadi
pemimpin bagi pengikutnya di wilayah tersebut, namun pasukannya yang berjumlah
kecil dihadang di Karbala (Irak) dan dihancurkan sebelum pengikutnya yang
berada di Kuffah sempat membantunya, peristiwa tersebut disebut dengan
peristiwa “Karbala”. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah
daerah di dekat Kuffah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.
Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedangkan tubuhnya di kubur di
Karbala”. Usaha al-Mukhtar ini ternyata berhasil menpengaruhi masyarakat Kufah,
Irak, dan Syiria hingga masyarakat Arab lainnya. Di bawah pimpinan Al-Sytar
mereka melakukan penyerangan ke pasukan gubernur Irak, Ubaidillah di suatu
tempat bernama Zad. Serangan ini menghasilkan kemenangan di pihak al-Mukhtar.
Kemenangan ini membuat al-Mukhtar menjadi penguasa di tempat Mesopotamia.[7]
Sementara itu, gerakan Ibnu Zubair yang mengangkat dirinya sebagai
khalifah di Mekkah, menolak untuk bergabung dengan al-Mukhtar. Akibatnya kedua
tokoh ini berseteru dalam sebuah pertempuran di Irak. Dalam pertempuran ini,
Ibnu Zubair dan komandan pasukannya bernama Mu`ad, berhasil mengalahkan pasukan
al-Mukhtar, dengan demikian penguasa wilayah Mesopotamia dan sekitarnya kini
beralih ke tangan Ibnu Zubair. Selain kedua pemberontak tersebut, terdapat satu
lagi gerakan pemberontak yang timbul ketika itu, yaitu gerakan kelompok
Khawarij. Namun gerakan ini dapat dihancurkan oleh al-Muhallab komandan pasukan
Ibnu Zubair. Gerakan Khawarij ini berhasil dikalakan setelah dikepung lebih
kurang selama delapan bulan di Khurasan.
Pada masa awal pemerintahannya, Abdul Malik tidak terlibat langsung
didalam pertempuran musuh-musuh yang saling berebut pengaruh. Ia hanya menjadi
penonton saja dan menunggu kelemahan mereka diserang. Setelah hancurnya pasukan
Khawarij dan pasukan Zubair, Abdul Malik baru mengambil langkah untuk mengatasi
kekuatan yang dianggap sudah cukup membahayakan kekuasaannya. Kekuatan-kekuatan
yang dianggap telah membahayakan kekuasaannya adalah kekuatan Zubair dan
kekuatan yang menentang pemerintahan yang dipimpin oleh Amru bin Sa`id di Syiria.
Kekuatan Amru ini dapat dilumpuhkan oleh pasukan Abdul Malik. Setelah
dilumpuhkannya, Abdul Malik menawarkan ampunan (amnesti) kepadanya. Tawaran itu
diterima Amar yang kemudian bergabung dengan Khalifah Abdul Malik. Namun
setelah ia bergabung, Amru dihianati dan dibunuh oleh Khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Ini merupakan taktik licik yang digunakan Khalifah Abdul Malik bin
Marwan dalam menyisihkan musuh yang membahayakan kekuasaan Islam.
Khalifah Abdul Malik wafat pada tahun 86 H dan diganti oleh
putranya yang bernama al-Walid.
Jasa-jasa Abdul Malik bin Marwan sebagai Khalifah:
1)
Mempertahankan
keutuhan wilayah
Keberhasilan
Abdul Malik bin Marwan mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaan dinasti bani
Umayyah, membawa dampak positif bagi kemajuan dinasti ini. Sebab kendala atau
hambatan terpenting didalam usaha mempertahankan dan mengembangkan
kekuasaannya, telah dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, mudah baginya
untuk mengeluarkan kebijakan politik untuk membangun Negeri.
2)
Menjadikan
bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara
Kebijakan
ini dikeluarkan karena bahasa yang dipakai untuk kegiatan administrasi
pemerintahan di daerah taklukan pada masa-masa sebelumnya, bukan bahasa arab.
Seperti diketahui bahwa pada masa nabi dan para sahabat dan masa-masa awal
dinasti bani Ummayyah seluruh dokumen yang berkaitan dengan perikehidupan
dicatat dalam bahasa Arab. Setelah bangsa Persia, Syiria dan Mesir bergabung
dalam kekuasaan pemerintahan Islam, Khalifah Umar bin Al-Khatab mempertahankan
dokumen yang berkaitan dengan negeri tersebut tetap dicatat dalam bahasa mereka
masing-masing. Akibatnya, departemen keungan negeri-negeri tersebut dikuasai
oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka. Ketika Abdul Malik bin
Marwan berkuasa, ia menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi pemerintahan, kebijakan ini pertama kali diterapkan bahasa
resmi pemerintahan. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Syiria dan Irak,
kemudian Mesir dan Persia.
3)
Mengganti
mata uang
Kebijakan
lain yang dikelurkan Abdul Malik bin Marwan adalah penggantian mata uang. Ia
mengeluarkan mata uang logam Arab. Sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad saw dan
Khalifah Abu bakar mata uang yang dipakai sebagai alat tukar atau alat bayar
adalah mata uang romawi dan persia. Mata uang ini pada masa pemerintahan
sesudahnya, khususnya pada masa Khalifah Umar bin Khattab telah banyak yang
rusak. Inilah salah satu sebab mengapa Abdul Malik bin Marwan melakukan
pembaharuan dalam bidang mata uang. Ia mengeluarkan jenis mata uang baru yang
bisa dibilang sebagai mata uang resmi pemerintahan Islam. Mata uang ini terbuat
dari emas (Dinar), perak (Dirham) dan perunggu (Fals atau fuls). Yaitu, mata
uang yang satu sisinya bertuliskan kalimat “Laailaha Illallah” dan sisi lainnya
tertulis nama khalifah. Mata uang Islam yang baru ini menghilangkan symbolis
Kristen dan Zoroaster. Untuk kepentingan itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan
mendirikan pabrik percetakan uang di Damaskus.
4)
Pembaharuan
ragam tulisan bahasa Arab
Kebijakan
Abdul Malik bin Marwan lainya adalah pembaharuan dalam ragam tulisan bahasa
Arab. Hal ini dilakukan karena berdasarkan penilaiannya terdapat dua kelemahan
didalam bahasa Arab. Pertama, bahasa arab hanya mengandung huruf
konsonan (huruf mati), yang dapat diucapkan dalam beberapa bunyi vokal.
Kenyataannya ini menyulitkan bagi masyarakat muslim yang bukan berasal dari
bahasa Arab didalam memahami dan mengucapakan bahasa Arab. Kedua, adalah
beberapa huruf arab mempunyai kesamaan bentuk, seperti antara huruf ( د dan ( ذ dan lainya.
Hajjaj bin Yusuf salah seorang gubernur Abdul Malik yang mahir di dalam seni
menulis arab, memperkenalkan tanda vokal dan menerapkan tanda-tanda titik untuk
membedakan beberapa huruf yang sama bentuknya. Pembaharuan yang dilakukan
khalifah Abdul Malik dan Gubernur Hajjaj bin Yusuf ini menjadikan bahasa Arab
lebih sempurna dan sekaligus mengihlangkan kesulitan bagi pembaca luas dikalangan
non Arab.
5)
Pembaharuan
dalam bidang Perpajakan
Hingga
pada masa pemerintahan Abdul Malik, umat Islam hanya berkewajibkan membayar
zakat dan bebas dari pajak lainnya. Hal ini mendorong orang non-muslim memeluk
agama Islam. Dengan cara ini, mereka terbebas dari pembayaran pajak. Setelah
itu, mereka meninggalkan tanah pertanianya guna mencari nafkah di kota-kota
besar sebagai tentara. Namun kenyataan ini menimbulkan masalah bagi
perekonamian negara. Karena pada satu sisi perpindahan agama mengakibatkan
berkurangnya sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya
militer Islam dari kelompok Mawali memerlukan dana subsidi yang makin besar.
Untuk mengatasi permasalahan ini, khalifah Abdul Malik mengembalikan beberapa
militer Islam kepada profesinya semula, yakni sebagai petani dan menetapkan
kepadanya untuk membayar sejumlah pajak sebagaimana kewajiban mereka sebelum
mereka masuk Islam, Namun Keputusan khalifah Abdul Malik ini ditentang keras
oleh kelompok Mawali.
6)
Pengembangan
sistem Pos
Ketika
Abdul Malik berkuasa, ia berusaha mengembangkan sistem pos yang telah dibangun
pada masa Muayyah bin Abu Sufyan. Sistem pos ini menghubungkan kota-kota
propinsi dengan pemerintahan pusat. Para petugas pos mengendarai kuda dalam
menjalankan tugasnya, [8]khususnya
tugas menyampaikan informasi penting dari pemerintahan pusat ke pemerintahan
propinsi.
7)
Pendirian
kota-kota baru
Selain itu Khalifah juga mendirikan beberapa
kota baru, diantara kota terpenting adalah Al-Wasith di antara rendah Irak.
Pendidrian kota ini dimaksudkan untuk mengendalikan kemungkinan timbulnya
gerakan pengacau di wilayah Irak.
8)
Membentuk Mahkamah Agung
Kebijakan
lain yang menjadi jasa penting dari peninggalan pemerintahan Khalifah Abdul
Malik adalah mendirikan lembaga Mahkamah Agung. Lembaga ini didirikan untuk
mengadili para pejabat tinggi negara yang melakukan penyelewengan atau tindakan
yang merugikan bangsa dan negara atau bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat.
9)
Mendirikan Bangunan-Bangunan Penting
Keberhasilan
lain yang menjadi jasa dari peninggalan Khalifah Abdul Malik adalah menjadikan
bangunan-bangunan penting yang sangat dibutuhkan didalam memperlancar roda
pemerintahan dan kekuasaan militter bani Umayyah.
Pada masanya, telah dibangun pabrik-pabrik senjata dan pabrik kapal perang di tunisia. Membangun Kubah baru (Qubbah Al-Sakhra) di Yerussalem. Yang hingga kini masih terpelihara dengan baik dan masih utuh.
Pada masanya, telah dibangun pabrik-pabrik senjata dan pabrik kapal perang di tunisia. Membangun Kubah baru (Qubbah Al-Sakhra) di Yerussalem. Yang hingga kini masih terpelihara dengan baik dan masih utuh.
10)
Perintisan
seni kerajinan
Kerajinan
pada masa Abdul Malik mulai dirintis pembuatan tiraz atau semacam bordiran
yakni cap resmi yang di cetak pada pakaian khalifah dan para pembesar
pemerintahan.
Berita
kemangkatan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan cepat tersiar kesegenap penjuru
wilaya Islam disebabkan laulintas pos yang terjamin dan terpelihara dengan baik
sebagai warisan Khalifah Muawiyah I (661-680 M). Ia wafat dalam tahun 86 H/705
M di dalam usia 60 tahun dengan meninggalkan karya-karya terbesar didalam
sejarah Islam. Masa pemerintahannya 21 tahun, dan 8 tahun.[9]
Demikian jasa
dan peningggalan Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang berkuasa selama lebih
kurang 20 tahun (66-86 H/685-705M). Jasa dan peninggalan ini kini masih dapat
disaksikan sebagai bagian dari masa kejayaan Khalifah abdul Malik bin Marwan,
di antaranya adalah: penggunaan bahasa Arab secara menyeluruh di wilayah
zajirah Arabiyah dan beberapa negara di Afrika Utara. Tanpa jasa dan usahanya
ini, mungkin bahasa Arab hanya sebagai bahasa komunikasi diantara bangsa Arab.
Tetapi untuk bangsa non Arab, mereka tidak mampu membaca dan mempelajari bahasa
Arab. Karena terdapat banyak kesamaan huruf yang ada dalam bahasa Arab. Berkat
jasa dan bantuan gubernur Hajjaj bin Yusuf Al-Saqafy, bahasa Arab lebih mudah
dipahami. Sehingga memudahkan bagi pengguna bahasa yangg berasal dari
masyarakat non Arab.
C.
Kholifah
Al-Walid Bin Abdul Malik
Al-Walid bin Abdul-Malik
bergelar Al-Walid I (lahir pada tahun 668 – meninggal di Damaskus (kini wilayah Suriah) pada 23 Februari 715 pada umur 46/47 tahun) ialah Khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara 705 -
715. Ia melanjutkan ekspansi Khilafah Islam yang dicetuskan ayahnya, dan
merupakan penguasa yang efektif.[10]
Al-Walid I ialah putra sulung Abdul-Malik
dan menggantikannya ke kursi kekhilafahan setelah kematiannya. Seperti ayahnya,
ia melanjutkan untuk memberikan kebebasan pada Al-Hajjaj bin Yusuf, dan kepercayaannya Al-Hajjaj
dilunasi dengan penaklukan sukses Transoxiana (706), Sindi (712), sebagian Perancis (711), Punjab (712), Khawarizm
(712), Samarkand (712), Kabul (kini di Afganistan, pada 713), Tus (715), Spanyol (711), dan tempat-tempat lain.
Hajjaj bertanggung jawab memilih jenderal yang menunjukkan kampanye sukses, dan
banyak dikenal dari kampanye suksesnya terhadap Ibn Zubair selama masa
pemerintahan ayah Al-Walid. [11]
Al-Walid sendiri melanjutkan
pemerintahan yang efektif yang merupakan ciri-ciri ayahnya, ia mengembangkan
sistem kesejahteraan, membangun rumah sakit, institusi pendidikan dan
langkah-langkah untuk apresiasi seni. Al-Walid sendiri merupakan penggemar
berat arsitektur lalu memperbaiki, memperluas dan memperbaharui kembali Masjid Nabawi di Madinah tahun 706. Di samping itu, ia
mengubah Basilika Kristen St. Yohanes Pembaptis menjadi mesjid besar, kini
dikenal sebagai Masjid Agung Damaskus atau secara singkat Masjid
Umayyah. Al-Walid juga secara besar-besaran mengembangkan militer, membangun
angkatan laut yang kuat. Ia juga dikenal karena kesalehan pribadinya dan banyak
cerita menyebutkan bahwa ia terus-menerus mengutip al-Qur'an dan selalu menjadi
tuan rumah yang menyajikan jamuan besar untuk orang-orang yang berpuasa selama bulan
Ramadhan. Al-Walid digantikan saudaranya Sulaiman bin Abdul-Malik[12]
Masa pemerintahan Al-Walid bin ‘Abdul Malik terhitung sebagai masa
penaklukan yang besar. Kaum muslimin menyambut jihad dengan gegap gempita dan
dijadikan oleh mereka sebagai tujuan dan cita-cita. Empat orang panglima perang
yang terkenal memberikan pengaruh yang besar pada upaya penaklukan negeri, mereka adalah: Qutaibah bin Muslim Al
Baahili, Muhammad bin Al Qasim Ats-Tsaqafi, Musa bin Nushair, dan Maslamah bin
‘Abdul Malik.
1.
Qutaibah bin Muslim dan penaklukan wilayah di
seberang sungai Jaihun (S.Amudarya)
Qutaibah
diangkat oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pimpinan di wilayah
Khurasan pada tahun 86 H. Pada waktu itu Al-Hajjaj sendiri sebagai gubernur
untuk wilayah Iraq, Persia, dan Khurasan. Qutaibah memiliki kecakapan
dan kelihaian dalam medan perang sehingga beliau menjadi teladan. Namanya mampu
membuat gentar musuh sehingga kekuatan mereka menjadi lemah dan memaksa mereka
untuk menyerah dan tunduk.
Pada tahun 86
H Qutaibah menuju kota Balkha untuk menyerangnya. Para kepala distrik dan
pembesar kota ini menyambutnya kemudian mengiringinya dalam keadaan mentaati
dan mendukungnya.
Ketika telah menyeberangi sungai, Qutaibah ditemui oleh
penguasa Shaghani dalam keadaan tunduk dan patuh. Pembesar negeri ini
memberinya hadiah yang banyak dan menyerahkan negeri kepadanya. Setelah itu
beliau berlalu menuju Shaghad dan berhasil menaklukan kota Bikandi pada tahun
87 H. Qutaibah terus melanjutkan
upaya penaklukan dan senantiasa mendapat kemenangan sampai kemudian berhasil
menaklukan kota Bukhara dan Samarkand.
Sebelum datang tahun 93 H beliau telah berhasil menaklukan kota Kasyan, ibu
kota negeri Farghan.
Qutaibah,
dengan penaklukan yang gemilang ini, telah membuat perhatian Khalifah Al-Walid
bin ‘Abdul Malik tertuju kepadanya, sehingga sang khalifah mengirim surat
kepadanya yang menunjukkan betapa besar penghormatan yang diberikan oleh
khalifah kepadanya. Sebagian isi surat itu adalah: “Amirul Mukminin telah mengetahui betapa
berat ujian yang anda alami dan betapa besar upayamu dalam berjihad melawan
musuh-musuh Islam. Amirul Mu’minin mengangkat pangkat dun memberikan kepadamu
tanda jasa yang setimpal. Oleh karena itu, sempurnakanlah perjalanan perangmu
dan nantikanlah pahala dari Rabbmu. Janganlah engkau lupa untuk menulis
balasan kepada Amirul Mukminin sehingga seakan aku melihat negeri dan medan
pertempuran yang engkau sedang berada di sana. ”
Surat
khalifah yang ditujukan kepada Qutaibah membuatnya semakin terdorong untuk
melanjutkan jihad sehingga mencapai wilayah perbatasan Cina dan berhasil
menaklukan wilayah Kasyghar serta memaksa penguasanya membayar upeti tiap
tahun. Setelah itu beliau kembali ke Khurasan.
2.
Muhammad bin Al Qasim dan penaklukan kota Sindi.
Adapun Muhammad bin Al Qasim adalah seorang ksatria muda
yang ditangannya kota Sindi berhasil ditaklukkan. Kota Sindi adalah sebuah
negeri yang terletak di delta sungai Sindus, memanjang sampai negeri / kota Punjab di sebelah utaranya.
Sekarang menjadi bagian terbesar dari negara Pakistan.
Negeri ini dahulunya adalah negeri yang menjadi markas
bahaya yang mengancam kerajaan Islam pada masa Al-Walid bin `Abdul Malik.
Kadang muncul dari sang gerombolan bajak laut yang menyerang pedagang-pedagang
muslim. Hal ini mendorong Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi untuk meminta bantuan kepada
khalifah dalam rangka penaklukan. Juga untuk menghentikan perlawanan dan
menjaga stabilitas jalur perdagangan dan perbatasan negeri Islam.
Khalifah meluluskan permintaan Al-Hajjaj dan
mengizinkannya untuk menaklukan negeri ini. Al-Hajjaj menyiapkan pasukan besar
dan menunjuk menantu sekaligus anak saudaranya, yaitu ksatria muda Muhammad bin
Al Qasim Ats-Tsaqafi yang belum genap berusia 18 tahun.
Pasukan besar ini mulai bergerak ke arah Sindi pada
tahun 89 H. Panglima yang pemberani ini menuju kota Daibul[13].
Sesampainya di kota ini beliau mengepungnya sehingga mampu menguasai dengan
menggunakan kekuatan dan memerangi penduduknya selama tiga hari. Hal ini mereka
lakukan karena kerusakan yang ada pada mereka dan. juga sebagai bentuk
menakut-nakuti terhadap orang kafir. Kemudian membangun rumah dan masjid untuk
kaum muslimin dan menurunkan pasukan pengaman sebesar 4.000 personil. Setelah itu beliau menuju ke kota. Bairun[14]
beliau berhasil menguasainya dan disambut dengan baik oleh penduduknya. Beliau
melanjutkan lagi upaya penaklukan dan pelebaran wilayah. Sampai kemudian beliau
bertemu dengan raja mereka, Dahir, di tepi sungai Sindus. Terjadilah peperangan
yang sengit dan berakhir dengan terbunuhnya Dahir dan kekalahan pasukannya.
Beliau masih terus melanjutkan upaya perluasan wilayah
sampai mencapai daerah Militan
yang terletak di sebelah selatan. Punjab. Penduduk daerah ini melakukan
perlawanan, akan tetapi kemenangan ada pada pihak kaum muslimin. Jumlah mereka
yang terbunuh adalah sangat banyak, dan ghanimah (rampasan perang) dalam jumlah
yang besar beliau dapatkan. Demikianlah beliau senantiasa berperang dan senantiasa mendapat kemenangan
demi kemenangan hingga seluruh negeri Sind bertekuk lutut di hadapannya.
3.
Musa bin Nushair dan penaklukan negeri Andalus
(Spanyol)
Pada tahun-tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah (ke Madinah), Al-Quuth
(orang-orang Goth) menyerang Andalusia dan berhasil mengusir Wundal
darinya. Pada waktu yang tidak bersamaan, Yahudi memasuki wilayah ini sehingga
terjadilah permusuhan dan peperangan yang sengit antara mereka dengan
orang-orang Nasrani. Permusuhan dan peperangan ini mencapai tingkat yang sangat
membahayakan.
Dipihak lain, para pembesar Al Quuth berlomba-lomba di Andalusia untuk mendapat
kemewahan dan kedudukan. Mereka saling berebut kursi kekuasaan sehingga
permusuhan di kalangan mereka sendiri sangat parah. Sedangkan tokoh-tokoh
masyarakat dan pemuka agama membagi wilayah ini menjadi wilayah-wilayah yang
kecil dan mereka menempati istana yang megah. Usaha perindustrian dan pertanian
mereka tinggalkan dan dibebankan kepada para budak yang hidup mereka sangat
terhina dan terlecehkan. Para tokoh dan pemuka agama membebankan pajak yang
tidak berperi kemanusiaan kepada para petani dan masyarakat golongan menengah.
Sehingga masyarakat benar-benar dalam jurang kebinasaan dan kesengsaraan.
Gambaran
keadaan yang seperti ini jauh berbeda dengan keadaan Afrika Utara pada waktu
yang sama, mereka merasakan kenikmatan hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin[15]
yang penuh dengan keadilan, kesenangan, dan ketenangan. Sehingga bukan perkara
yang sangat mengherankan bila penduduk Asbani (Spanyol) dan orang-orang yang
hidup di sana dari kalangan Yahudi berharap bisa lolos dari sistem hukum Al-Quuth yang penuh dengan
kelaliman dan berharap ada yang man melepaskan mereka darinya.
Keadaan yang seperti itulah yang menjadi pemicu untuk
memikirkan penyerangan ke negeri ini (Spanyol). Ketika itu kaum muslimin yang
berada di seberang lautan telah merasakan waktu yang tepat untuk mengadakan penaklukan
yang besar dalam rangka menyebarkan agama dan menghilangkan kezhaliman.
Pemikiran ini terus membayangi pada diri Musa bin Nushair. Lalu beliau meminta
petunjuk kepada Khalifah Al-Walid dan disetujui. Berbagai persiapan dilakukan,
pasukan pertama di bawah komandan Thariq bin Ziyad disiagakan. Ketika itu
Thariq adalah orang kepercayaannya, juga terkenal dengan keberanian dan
kelihaiannya.
·
Pasukan perang Thariq bin Ziyad
Pasukan ini terdiri dari 7.000 personil. Thariq dan
pasukannya menyeberangi laut dengan kapal yang telah dipersiapkan untuk misi
ini. Beliau singgah di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan Jabalthariq
(Gibraltar), yaitu pada tahun 92 H. Setelah seluruh pasukan mendarat di gunung
ini, Thariq berdiri di hadapan mereka dan menyampaikan pidatonya yang terkenal,
yaitu:
“Wahai
sekalian muslimin, kemana kalian akan lari? Lautan di belakang kalian, musuh
berada di depan. Tidak ada bagi kalian -demi Allah- kecuali
kejujuran/kesungguhan dan amalan kebaikan (jihad). Ketahuilah bahwa kalian di
pulau ini adalah lebih terbengkalai dari pada anak yatim yang berada di hadapan
hidangan orang-orang jahat. Musuh telah menghadapi kalian dengan pasukan
besarnya, persenjataan, dan bekal makanan yang banyak, sedangkan kalian tidak
ada pada kalian kecuali pedang, tidak ada bekal makanan kecuali yang kalian
rebut dari tangan musuhmu.”
Pidato yang berapi-api ini memberikan pengaruh yang kuat
pada diri-diri pasukannya. Sehingga semangat juang pun membara dan keimanan
semakin menancap di hati mereka. Mulailah mereka menghadapi musuh dengan
bershaf-shaf seakan bangunan yang kokoh.
Ketika Raja Ledrik mengetahui bahwa Thariq telah
berlabuh di wilayah negerinya, dia bersegera mempersiapkan pasukannya yang
besar, jumlahnya mencapai 100.000 personil, sedangkan pasukan Thariq – setelah
ditambah pasukan lain yang berjumlah 5.000 personil – hanya berjumlah 12.000
personil. Kedua pasukan bertemu di kota Syadzuna [16]
Walaupun terjadi perbedaan yang sangat mencolok dari
jumlah kedua pasukan, semangat yang membara telah memenuhi hati kaum muslimin
yang menjadi unsur terpenting dalam mendapat kemenangan. Ditambah lagi dengan
lemahnya semangat juang pada diri pasukan lawan dan kebencian rakyat terhadap
Al Quuth karena kelaliman dan jeleknya birokrasi mereka.
Hasil dari ini semua adalah sejumlah besar pasukan lawan
tewas terbantai dan sebagian lainnya lari meninggalkan medan tempur, sedangkan
Raja Ledrik sendiri tenggelam di sungai. Kemudian Thariq menyusuri jejak musuh
yang lari di tepi sungai Yani’[17],
berturut-turut kota Isybilia dan Qordoba tunduk di bawah kekuatannya, kemudian
beliau menghilangkan tindakan kezhaliman dan ketakutan dari penduduknya.
·
Musa bin Nushair menyernpurnakan kemenangan bersama
Thariq
setelah mendapat berita kemenangan Thariq, Musa bin
Nushair menuju ke sana untuk menyempurnakan kemenangan besar ini. Ingin
merasakan buah dari kemenangan yang besar. Beliau bersama Thariq berhasil
menundukkan kota-kota Lyon, Qastalia, Arghon, dan Katalonia. Adalah kota-kota
yang besar tunduk tanpa didahulu perang atau perseteruan. Sampai kemudian
lengkaplah penundukan negeri Andalus kecuali daerah-daerah pegunungan yang
terletak di barat laut dimana para pembesar Al Quuth dan tokohtokohnya
berlindung di sana.
4.
Maslamah bin
‘Abdul Malik
Sedangkan Maslamah bin ‘Abdul Malik bin Marwan masih terus menghadapi perlawanan Romawi di
wilayah Asia kecil dan berhasil membuka benteng-benteng penting mereka sehingga
berhasil membuka jalan untuk menuju Konstantinopel. Meskipun jihad yang
dilakukan oleh Maslamah untuk mencapai tujuan ini, yaitu penaklukan
Konstantinopel, setelah pemerintahan Al-Walid, yaitu pada masa pemerintahan
Sulaiman bin ‘Abdul Malik, namun jihad yang panjang ini tidak memberikan hasil
pada masa Sulaiman juga tidak pada masa ‘Umar bin ‘Abdul Aziz. Pada masa ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz, kaum muslimin kembali tidak berhasil mewujudkan cita-cita ini
(menundukkan Konstantinopel).
Demikian upaya penaklukan yang panjang yang dilakukan pada masa Al-Walid
bin ‘Abdul Malik. Rentang waktu yang tidak begitu panjang, tidak diragukan lagi pada masa ini adalah sebuah masa yang
menjadi masa keemasan Daulah Umawiyyah. Sebab yang paling utama terjadinya hal
ini adalah karunia dari Allah yang Dia menolong hamba-hamba-Nya yang ikhlas kemudian para pemimpin yang amanah.
Juga didukung oleh suasana dalam negeri yang tenang, tidak ada gejolak fitnah
yang memberikan kesempatan kepada negara untuk mengkonsentrasikan seluruh
waktunya untuk berjihad melawan musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang
kafir dan merealisasikan penyebaran Islam di muka bumi Allah ini.
Al-Walid meninggal pada pertengahan bulan Jumadil Akhir 96 H pada usia 45
tahun
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kekuasaan Mu’awiyyah yang
menjadi awal kekuasaan Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah
menjadi Monarchiheridatis (kerajaan
turun temurun). Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun yang
menjadi khalifah di dalam Dinasti Umayyah berasal dari dua keluarga, yaitu
keluarga Harb dan Abi al-As. Khalifah-khalifah besar Dinasti Bani Umayyah ini adalah
Mu’awiyyah ibn Abi Sufyan (661-680 M). Abd al-Malik ibn Marwan (685 – 705 M),
al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn al-Aziz (717-720 M) dan Hasyim
ibn Abd al-Malik (724 – 748 M)
Pada masa kholifah Abd al-Malik ibn Marwan (685 – 705 M) keadaan kenegaraan sedang mengalami goncangan berat
dengan adanya pembrontakan-pembrotakan. Munculnya Abdul Malik bin Marwan
sebagai kholifah mampu menyelesaikan kasaus-kasus yang terjadi hingga mampu
mewariskan kejayaan kepada putranya al-Walid.
Kholifah Bani Umayyah
berlanjut kepada al-Walid, pada masa inilah yang menjadi masa puncak kejayaan Bani
Umayyah, atas tinggalan kesejahteraan keadaan negara yang ditinggalkan oleh
ayahnya Abdul Malik bin Marwan, al-Walid mampu memaksimalkan misi perluasan
wilayah Islam hingga sampai di tanah Andalusia (Spanyol).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi,
Abu A’la Khalifah dan Kerajaan tentang perbedaan antara sistem
pemerintahan masa khalifah Rasyidah dan
masa dinasti Umayyah, Bandung: Mizan,1984
Nasution, Harun Islam ditinjau dari berbagai aspekn ya, jilid I,
Jakarta: UI Press, 1990
Su’ud, Muhammad bin TARIKH DAULAH
UMAWIYYAH, Jami’atul, Riyadh Saudi Arabia,
Penerbit Hikmah Ahlus Sunnah tanpa tahun
Syu'ub, Muhammad Sejarah Bani Umayyah Jakarta: PT.Bulan Bintang 1988
Yatiim,
Badri., SEJARAH PERADABAN ISLAM Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja
Grafindo Persada 2010
_______________________________, Al-Walid_bin_Abdul_malik
[1] Sumber: Disalin dari buku Imam Muhammad bin Su’ud .TARIKH
DAULAH UMAWIYYAH, Jami’atul, Riyadh Saudi Arabia,
Penerbit Hikmah Ahlus Sunnah, Cet.Kedua, .55
[2] Sumber: Disalin dari buku Imam Muhammad bin Su’ud .TARIKH
DAULAH UMAWIYYAH,....55
[3] Abu A’la
Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan tentang perbedaan antara sistem
pemerintahan masa khalifah Rasyidah dan
masa dinasti Umayyah, (Bandung: Mizan,1984), 43
[4] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspekn ya, jilid I, (Jakarta: UI Press,
1990), 61
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_bin_Marwan, diakses
tanggal 20 Maret 2012
[6] Muhammad
Syu'ub Sejarah Bani Umayyah, , (Jakarta: PT.Bulan Bintang), 30
[7] Sumber: Disalin dari buku Imam Muhammad bin Su’ud .TARIKH
DAULAH UMAWIYYAH, 57-58
[8] Dr. Badri
Yatiim, M.A., SEJARAH PERADABAN ISLAM Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2010), 44
[9] Sumber: Disalin dari buku Imam Muhammad bin Su’ud .TARIKH
DAULAH UMAWIYYAH, 58
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/ Al-Walid bin_Abdul_Malik_ , diakses
tanggal 20 Maret 2012
[12] Sumber: Disalin dari buku Imam Muhammad bin Su’ud .TARIKH
DAULAH UMAWIYYAH, 59
[13] Kota
ini tidak jauh dari pelabuhah Pakistan yaitu kota Karachi.
[14] Kota yang
dinisbatkan ke kota ini seorang ulama muslim Al Bairuni
[15] Penaklukan
secara menyeluruh pada Afrika Utara di bawah pimpinan ‘Uqbah bin Nafi’ pada
masa pemerintahan Yazid bin Muawiyyah. ‘Uqbah ketika itu telah berada di tepian
pantai sambil mengatakan: Wahai Rabbku, kalau bukan karena lautan ini
sungguh aku akan terus berjalan menaklukkan negeri-negeri dalam jihad di
jalan-Mu. Kemudian di bawah pimpinan Hassan bin An Nu’man dan Musa
bin An Nushair rahimahullah
[16] Sekarang
dibangun di kota ini sebuah kota yang dinamai Syarisy
[17] orang-orang Spanyol
menyebutnya sebagai lembah Aanih yang merupakan penyimpangan
dari bahasa Arab dahulu yaitu AI Yaani’