Oleh: Tim Banjir Embun
CERITA MOTIVASI—Pilihan Hidup. Pada suatu hari ada seorang pemuda yang sedang merenungi tentang
kehidupan. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Buat apa di kala muda
bekerja keras namun saat ujung usia mengalami sakit-sakitan dan tidak bisa
menikmati harta kekayaan yang telah dikumpulkan sedari muda?”
Baca juga:
Cerita Nyata Aktivitas Kampus Terkena Racun Cinta
Berpergian ke Jakarta dengan Uang Pas-pasan
Cerita Inspirasi: Ganteng-ganteng Baik Hati
Ia bertanya-tanya pada diri sendiri. Menggunggat
segala kemapanan yang ada dipikirannya selama ini. Kemudian ia melanjutkan
permenungannya “Saat muda bekerja keras dan saat tua mengatur, mengarahkan, dan
membimbing jalur kehidupan anak-anaknya agar bisa mengikuti jejaknya. Bahkan
diupayakan melebihi dirinya. Agar bisa membanggakan. Untuk apa hidup ini kalau
hanya seperti itu?”
Dia berfikir sejenek
sambil menghela nafas, menghirup udara segar dari hasil proses fotosintesis
tumbuhan di sekitarnya. Di kala terik matahari yang lagi terang benderang. Di tengah
kota seperti ini memang sangat enak untuk berteduh di bawah pohon kelengkeng pada taman tengah kota.
Kemudian datanglah seorang perempuan renta yang tampak kepayahan. Berambut putih, berwajah keriput, dan berkerudung. Ia adalah seorang ibu yang
berasal dari kampung. Datang ke kota dengan menggunakan kereta api. Kemudian
nenek itu duduk di bawah pohon yang berada tepat beberapa meter di depan si pemuda.
Sang Nenek mengkipaskan kerudungnya ke muka. Sambil
berulang kali menghela nafas. Entah angin dari mana membuat permenungan pemuda
tersebut berhenti untuk sesaat. Konsentrasinya tertuju penuh pada sang nenek. “Nenek ini pasti bukan orang daerah sini” pikir ia sejenak.
Prasangkanya bukan tanpa alasan, sang nenek memakai baju batik yang
mencolok. Membawa tas besar yang tampaknya berisi baju, dan memakai kerudung
yang agak kusut akibat perjalanan jauh. “Lalu di
manakah saudaranya? Apakah dia datang ke kota ini sendiri? Dari tadi kok belum
ada orang yang menemaninya berteduh?” Ia mulai banyak bertanya, membuatnya
makin tambah penasaran.
Kemudian sang nenek tampak akan membuka botol air mineral yang baru
saja ia beli di stasiun. Namun ia tidak bisa membukanya. Saat beli ia lupa meminta tolong untuk membukakan tutup
pada pedagang asongan.
Lalu sang nenek datang menghampiri si pemuda. Ia minta tolong untuk
membukakan botol air mineral yang memang susah untuk dibuka. Apalagi untuk
ukaran nenek-nenek.
Sambil membuka botol pemuda tersebut bertanya “Kelihatannya nenek bukan asli daerah sini, nenek mau ke mana?” Nenek menjawab “Nenek mau bertemu cucu... Makasih nak, nenek tadi lupa minta pedagang asongan di stasiun untuk membukakan”.
Dengan pelan dan datar
pemuda itu bertanya lagi “Mohon maaf nek saya lancang, kenapa anak atau
cucu nenek saja yang ke rumah nenek atau paling tidak mereka menjemput nenek ke
sini?” Setelah selesai minum sang nenek menjawab lagi “Nenek ingin buat
kejutan pada anak dan cucu........(behenti sejenak) Nak mau gak ikut
nenek makan di sana?” Nenek berseru sambil jemarinya menunjuk sebuah restoran
‘bintang lima’.
Sang pemuda terhenyak sejenak bertanya-tanya karena terheran.
Dia bertanya dalam hati “Apakah nenek ini punya uang untuk membayar makanan
senilai ratusan ribu bahkan untuk menu tertentu bisa jadi harganya jutaan?” Namun ia tak berani ungkapkan pertanyaan
itu pada nenek. Tak berselang lama sang nenek meyakinkan pemuda "Jangan khawatir nak, nenek bawa ATM. Isinya cukup untuk membayar."
Pada akhirnya pemuda tersebut menerima ajakan nenek untuk makan di
restoran. Di sela-sela mencicipi sajian lobster besar berkualitas super sang pemuda itu bertanya
lagi “Mohon maaf nek, kalau boleh tahu kenapa nenek tidak naik pesawat saja terus dari bandara naik taksi sampai
ke rumah cucu nenek?”
Nenek tersebut tersenyum sambil bercerita “Nenek adalah
orang kampung yang tak biasa hidup dengan peralatan yang canggih dan mewah. Nenek pernah naik pesawat dan naik taksi. Tapi entah kenapa nenek merasa asing
dan bukan menjadi diri nenek lagi ketika nenek sendirian naik pesawat dan
taksi. Nenek biasa naik kereta api atau bis. Dengan naik seperti itu
bisa melihat pengemis, pedagang asong, pengamen, dan melihat berbagai
macam orang yang berpenampilan sederhana”
Pembicaraan nenek berhenti sejenak.
“Nenek sudah tua, mungkin umur nenek tak lama lagi. Bolehkan saat ini nenek melakukan hal-hal yang benar-benar nenek sukai......” Nenek itu melanjutkan lagi. Kemudian sang pemuda ganti menanggapi pembicaraan
nenek dengan candaan “Memang nenek apa benar-benar gak suka kemewahan? Itu semua kan bisa memanjakan nek?”
Sambil menimpali makanan ke piring pemuda sang nenek berkata “Kenapa sekalian aja kamu gak tanya kenapa nenek gak hidup di
panti weda (baca: panti jompo)? Atau kenapa nenek tidak tinggal aja di rumah terus
menikmati sisa usia di rumah anak nenek dan diasuh perawat? Memangnya hal seperti itu nikmat?” Pemuda tersebut
termangu kaget seakan nenek
mengetahui apa yang ada dibenaknya.
“Saat suami nenek dulu masih hidup, nenek tak pernah merasa sesepi ini.
Oleh karena itu, rasa sepi ini nenek isi dengan kegiatan-kegiatan yang bisa
melupakan perasaan ini. Nenek duduk bersamamu, ngobrol, dan makan bersama ini
adalah kebahagiaan bagi nenek.” Pemuda itu menimpali “Kalau saya malah tambah
senang lagi nek, bisa makan gratis he he he.....” Nenek menyambung lagi “Kamu
itu bisa aja, mau nambah lagi gak? Mumpung nenek tidak sedang terburu-buru.”
Pemuda itu bermenung sambil menunggu pesanan hidangan penutup “Inilah
hidup yang sebenarnya, tidak dikekang oleh kebiasaan. Walaupun nenek punya
uang, bukan berarti dia harus boros mengeluarkan bila itu tak ada arti. Uang
tidaklah segalanya. Mungkin saat muda nenek ini sudah pernah foya-foya, tapi
kenyataannya saat tuanya dia sangat cerdas untuk mengetahui apa yang ia
butuhkan. Ia tidak lagi butuh kebahagiaan yang disebabkan oleh keunggulan
ragawi (kemewahan, kecanggihan alat, dan uang). Ia lebih membutuhkan kebahagiaan
hati. Kebahagiaan hati adalah apabila ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain terutama pada orang yang lebih lemah darinya. Tentu juga ketika bisa membantu orang lain. Walau dalam bentuk sederhana. Mungkin aku adalah satu
diantara beberapa orang yang telah nenek bantu. Paling tidak membantu
mengeyangkan perutku.”(BE/09/06/12)
Selesai.
Silakan cerita ini anda
simpulkan sendiri.....
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya: