Oleh: ALVIN MASKUR
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan Mantan Presiden Mahasiswa STAIN Kediri)
Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok
Pesantren ada yang bersifat tradisional dan modern. Sistem
tradisional adalah pola pengajaran yang sangat sederhana, yakni pola pengajaran
sorogan, bandongan dan
wetonan.
a. Sorogan
Sorogan berasal dari bahasa jawa yang berarti menyodorkan. Dikatakan
demikian karena setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapn kiyai atau mubadilnya.[1]
Lebih lanjut, Armaie Arif mengatakan bahwa “metode sorogan didasari atas peristiwa yang terjadi ketika Rasulullah SAW menerima ajaran dari Allah melalui Malaikat Jibril, mereka langsung bertemu satu persatu yaitu malaikat Jibril dan para nabi.”[2] Penggunaan metode sorogan memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang dimiliki dalam metode ini adalah :
1. Terjadi hubungan yang erat dan harmonis antara guru dan murid.
2. Memungkinkan bagi seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara
maksimal kemempuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.
3. Murid mendapatkan penjelasan yang pasti
tanpa harus mereka-reka tentang interpretasi suatu kitab karena berhadapan dengan guru
secara langsung yang memungkinkan terjadinya bahasa arab.
4. Guru dapat mengetahui secara pasti kualitas
yang telah dicapai muridnya.
5. Santri yang IQnya tinggi akan cepat
menyelesaikan pelajaran kitab, sedangkan yang IQnya rendah ia membutuhkan waktu
yang cukup lama.[3]
Selain ada kelebihan juga ada
kelemahan yaitu:
1. Tidak efisien karena hanya menghadapi beberapa murid (tidak
lebih dari 5orang), sehingga kalau menghadapi murid yang banyak metode ini
kurang tepat.
2. Membuat murid cepat bosan karena metode ini menuntut kesabaran,
ketaatan dan disiplin pribadi.
3. Murid kadang hanya menangkap kesan verbalisme semata terutama
mereka yang tidak mengerti terjemahan dari bahasa tertentu.[4]
b. Wetonan
Sistem pengajaran yang dilaksanakan dengan jalan kyai membaca suatu
kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama
mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Dalam sistem
pengajaran yang seperti itu tidak dikenal absensinya, santri boleh datang,
boleh tidak, santri juga tidak ada ujian.[5]
c. Bandongan
Secara etimologi bandongan berarti pengajaran dalam bentuk kelas (pada
sekolah agama). Secara terminologi ada beberapa definisi yang dipaparkan oleh
para pakar antara lain menurut A. Qodry Azizy, metode
bandongan adalah murid (antara 5-500 0rang) mendengarkan seorang guru yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam
dalam bahasa Arab.
Jadi metode bandongan adalah kyai menggunakan bahasa daerah setempat,
kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat yang dipelajarinya,
santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kiyai dengan
memberikan catatan-catatan tertentu pada kitabnya masing-masing dengan
kode-kode tertentu sehingga kitabnya disebut kitab jenggot.[6]
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "ARTIKEL: PONDOK PESANTREN"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*