DINASTI GHAZNAWIYAH
(facebook: fahad.asadulloh@yaho o.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Ghaznawiyah (962-1186 M)
Dinasti ini didirikan pada 962 M oleh Sabuktakin,
menantu Alptakin. Alptakin adalah seorang perwira Turki profesional di Bukhara,
wilayah yang pernah menjadi daerah kekuasaan dinasti Samaniyah. Ketika itu, ia
menganggap penting untuk melakukan ekspansi ke wilayah Afghanistan Timur dan
mengangkat dirinya sebagai penguasa di daerah Ghazna. Kemudian pada 977 M
tentara Turki di Ghazna mengangkat Sabuktakin sebagai pemimpin mereka. Dalam
catatan sejarah, Sabukakin inilah yang kemudian dianggap sebagai pendiri
dinasti Ghaznawiyah. Kemudian setelah kematiannya, pada 998 M jabatan tersebut
diserahkan kepada anaknya bernama Mahmud ibn Sabuktakin.
Setelah kekuasaan dinasti Samaniyah runtuh, Mahmud ibn
Sabuktakin memproklamirkan dirinya menjadi penguasa independen dengan sebutan
Mahmud al-Ghaznawi. Ia terus berusaha memperluas wiayah kekuasaannya atas
Khurasan dan wilayah sekitaranya. Di Khurasan ini ia mulai melakukan penyebutan
nama-nama khalifah Abbasiyah dalam setiap khutbah Jum’at, yang sebelumnya
terabaikan. Hal itu terjadi karena perbedaan ideologi politik dan keagamaan,
sebab dinasti Samaniyah berideologi Syi’ah, sementara Mahmud Ghaznawi Sunni.
Sebagai imbalan atas penyebutan itu, khalifah Abbasiyah memberikan jabatan
kepada Mahmud al-Ghaznawi sebagai gubernur di wilayah Khurasan dengan gelar
Wali Amir al-Mukminin. Selain itu, ia juga memperoleh gelar Yamin al-Daulah
dari khalifah al-Qadir, bahkan kemudian ia menyebut dirinya sebagai sultan.
Selama masa kepemimpinannya, ia berusaha memperoleh
pendapatan melalui pajak dan pendapatan lainnya. Semua dikumpulkan, sehingga
Mahmud memiliki kekayaan yang cukup yang dapat dipergunakan untuk melakukan perluasan
wilayah ke anak benua India. Sekitar tahun 1001 M ia berhasil menaklukkan
Kabul, Multan, Kashmir, dan Punjab. Setelah itu, kemudian ia melakukan
ekspedisi ke lembah Gangga, dan baru pada 1025 M ia berhasil menaklukkan
Gujarat, India. Selama masa kekuasaannya lebih kurang 32 tahun, dipergunakan
untuk memperluas wilayah kekuasaan, sehingga ketika ia wafat pada 1030 M
wilayah kekuasaannya meliputi Punjab dan lembah Indus di India, seluruh Afghanistan
dan Persia Timut. Sepeninggal Mahmud al-Ghaznawi, puteranya bernama Mas’ud ibn
Mahmud al-Ghaznawi menggantikan posisinya. Penggantian ini berada di luar
skenarionya. Ia sebenarnya berkehendak agar putera tertuanya bernama Muhamad
ibn Mahmud al-Ghaznawi menduduki jabatan sebagai sultan, tetapi keinginan
tersebut tidak diterima oleh kalangan militer, karena Muhamad dianggap kurang
berpengalaman dalam melakukan ekspedisi, sementara Mas’ud ibn Mahmud
al-Ghaznawi dianggap memiliki pengalaman karena sering mengikuti kegiatan
ekspedisi yang dilakukan tentara, selain tengah menjabat gubernur di propinsi
Barat. Tetapi setelah ia berkuasa, justeru malah kurang mengindahkan nasihat
dewan negara agar menghentikan sejenak usahanya untuk melakukan ekspedisi ke
seluruh Anak Benua India, karena di Khurasan tengah terjadi gejolak yang
dilakukan oleh orang-orang Saljuk. Akhirnya, setelah kian banyak orang-orang
Saljuk yang masuk dan menguasai beberapa wilayah Khurasan, ia kewalahan, sebab
ia harus berhadapan dengan mereka. Usaha untuk mengatasi gejolak politik yang
dilakukan tentara Saljuk tidak dapat dibendung, bahkan tentaranya mengalami kekalahan
besar. Akibatnya lebih tragis lagi, ia tewas di tangan pasukannya sendiri dalam
perjalanan menuju Lahora, India. Konflik fisik antara pasukan Ghaznawiyah
dengan Saljuk terus berlanjut hingga beberapa tahun lamanya.
B. Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Ghaznawiyah
1.
Kemajuan
Dinasti Ghaznawiyah
Pemerintahan dinasti Ghaznawiyah mengalami kejayaan
pada masa pe-merintahan Mahmud al-Ghazna yang berkuasa selama lebih kurang 34
tahun. Kekuatan yang dimilikinya dapat dipergunakan untuk memperluas wilayah
ke-kuasaan hingga mencapai wilayah India, hingga berhasil menaklukan Peshawar,
Kashmir, dan Bathinda pada 1001-1004 M. Punjab dikuasai pada 1006 M, Kangra
pada 1009, Baluchistan pada 1011-1012 M, kemudian Delhi pada 1014-1015 M.
Wilayah yang luas dan sumber kekayaan yang melimpah, membuat ekonomi negeri ini
sangat kuat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran negeri.
Perhatian penguasa dinasti Ghaznawiyah, khususnya Mahmud al-Ghaznawi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban tercermin dari usahanya yang konkret dengan mendirikan gedung-gedung sekolah dan lembaga lembaga pendidikan lainnya, sehingga kota Ghazna menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan yang dikunjungi banyak ilmuan. Salah seorang ilmuan terkenal yang hidup pada masa Mahmud al-Ghaznawi adalah al-Firdausi (w.1020 M), seorang sastrawan yang sangat berjasa dalam kebangkitan kembali sastra Persia, dan juga pelopor perkembangan seni arsitektur. Ia diminta Mahmud al-Ghaznawi untuk menulis sebuah karya yaitu Ayahnamah. Karya ini menjadi sebuah karya monumental pada masa itu. selain al-Firdausi, terdapat sastrawan terkenal lainnya di Ghazna, seperti Asadi Tusi, Asjadi dan Farukhi. Tokoh lainnya bernama Unsuri, seorang pemikir, ilmuan dan sastrawan yang menjadi guru besar di sebuah universitas yang dibangun Mahmud al-Ghaznawi. Di antara mereka yang terkenal dan berhasil menciptakan teori adalah al-Biruni (973-1057 M). Dalam catatan biografinya, ia pernah ikut serta bersama Mahmud al-Ghaznawi melakukan ekspedisi ke wilayah India dan mempelajari bahasa Sanskerta. Dari penelitiannya itu, ia menulis sebuah karya berjudul Tahqieq al-Hind (penelitian tentang India). Selain itu, ia juga menguasai ilmu kimia dan berhasil melakukan penelitian atau eksperimen tentang berat jenis beberapa zat kimia.
Perhatian penguasa dinasti Ghaznawiyah, khususnya Mahmud al-Ghaznawi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban tercermin dari usahanya yang konkret dengan mendirikan gedung-gedung sekolah dan lembaga lembaga pendidikan lainnya, sehingga kota Ghazna menjadi pusat pengkajian ilmu pengetahuan yang dikunjungi banyak ilmuan. Salah seorang ilmuan terkenal yang hidup pada masa Mahmud al-Ghaznawi adalah al-Firdausi (w.1020 M), seorang sastrawan yang sangat berjasa dalam kebangkitan kembali sastra Persia, dan juga pelopor perkembangan seni arsitektur. Ia diminta Mahmud al-Ghaznawi untuk menulis sebuah karya yaitu Ayahnamah. Karya ini menjadi sebuah karya monumental pada masa itu. selain al-Firdausi, terdapat sastrawan terkenal lainnya di Ghazna, seperti Asadi Tusi, Asjadi dan Farukhi. Tokoh lainnya bernama Unsuri, seorang pemikir, ilmuan dan sastrawan yang menjadi guru besar di sebuah universitas yang dibangun Mahmud al-Ghaznawi. Di antara mereka yang terkenal dan berhasil menciptakan teori adalah al-Biruni (973-1057 M). Dalam catatan biografinya, ia pernah ikut serta bersama Mahmud al-Ghaznawi melakukan ekspedisi ke wilayah India dan mempelajari bahasa Sanskerta. Dari penelitiannya itu, ia menulis sebuah karya berjudul Tahqieq al-Hind (penelitian tentang India). Selain itu, ia juga menguasai ilmu kimia dan berhasil melakukan penelitian atau eksperimen tentang berat jenis beberapa zat kimia.
Dengan melihat data tersebut, dapat dipahami bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan, sastra dan sebagainya merupakan sebuah kenyataan
historis bahwa pemerintah sangat memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Pemerintah selalu memberikan motivasi
kepada para ilmuan untuk melakukan riset guna memperoleh hasil maksimal. Bahkan
Mahmud al-Ghaznawi tak segan mengajak para ilmuan untuk mengikuti kegiatan
ekspansinya ke wilayah-wilayah lain, termasuk ke India. Di wilayah taklukkan
inilah para ilmuan melakukan riset sehingga menghasilkan karya yang monumental,
seperti karya al-Firdausi dan al-Biruni.
2.
Kemunduran
Dinasti Ghazaniwiyah
Sepeniggal sultan Mahmud al-Ghaznawi, dinasti
Ghaznawiyah menunjukkan tanda–tanda kelemahan. Hal itu disebabkan antara lain,
karena sumber pendapatan negara semakin berkurang, terlebih setelah Tughrul
Bek, amir Saljuk, menguasai wilayah Khurasan, dan beberapa wilayah di bagian
Timur memisahkan diri dari pemerintahan dinasti Ghaznawiyah. Pemisahan wilayah
ini merupakan fenomena politik yang tidak stabil, sehingga beberapa wilayah di
bagian Anak Benua Inda mencoba mendirikan kerajaan-kerajaan Islam kecil.
Sementara di bagian Utara dan bagian Barat, keluarga Khan dari Turkestan dan
keluarga Saljuk dari Persia membagi-bagi wilayah kekuasaan Ghaznawiyah. Sedang
pada bagian Tengah kelompok Ghuriyah dari Afghanistan melakukan serangan terhadap
kekuasaan dinasti Ghaznawiyah.
Pada masa Mas’ud ibn Mahmud al-Ghaznawi berkuasa,
dinasti Ghaznawiyah mengalami kemunduran luar biasa, karena wilayah Khurasan
dan Khawarizm jatuh ke tangan Saljuk. Pada pertengahan abad ke-11 M, Mas’ud
disibukkan dengan peperangan melawan kekuatan Bani Saljuk yang mau menguasai Sijistan
dan Afghanistan Barat. Dari 1040-1059 M, pertempuran terus berlangsung, antara
dinasti Ghaznawiyah dengan Bani Saljuk. Perdamaian antara dinasti Ghaznawiyah
dengan Bani Saljuk baru terjadi setelah Ibrahim berkuasa. Perjanjian itu
berlangsung lebih kurang selama setengah abad. Dalam isi perjanjian, Ibrahim
harus menyarahkan wilayah Afghanistan Barat kepada Bani Saljuk, sehingga
wilayah kekuasaan Ghaznawiyah hanya meliputi wilayah Afghanistan bagian Timur
dan India Utara.
Selain faktor eksternal, kemunduran dinasti
Ghaznawiyah juga disebabkan oleh konflik internal keluarga. Konflik itu disebabkan
oleh perebutan kekuasaan antara Muhamad dengan Mas’udal-Ghaznawi, hingga
menimbulkan pertempuran. Dalam pertempuran, Mas’ud tewas terbunuh. Namun
kematian Mas’ud tidak diterima oleh anaknya, yaitu Maudud ibn Mas’ud
al-Ghaznawi. Untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, ia melakukan
penyerangan terhadap keluarga Muhamad dan membunuh mereka, kecuali Abd
al-Rahim, yang diketahui Maudud termasuk orang yang tidak setuju atas
pembunuhan Mas’ud ibn Mahmud al-Ghazna, ayah Maudud. Sejak saat itu, Maudud ibn
Mas’ud al-Ghaznawi mengambil alih kekuasaan menjadi sultan. Namun sepeninggal
Maudud, konflik internal itu muncul kembali, hingga dalam sejarah diketahui
telah terjadi peralihan kekuasaan yang silih berganti antara keluarga Maudud
ibn Mas’ud.
Situasi politik semakin kacau setelah terjadi konflik
internal dalam perebutan kekuasaan. Misalnya, setelah Maudud meninggal,
puteranya bernama Mas’ud II ibn Maudud menggantikan posisinya. Tetapi, dalam
perjalanan selanjutnya, kekuasaan Mas’ud II direbut oleh pamannya sendiri,
yaitu Ali ibn Mas’ud I. Jabatan Ali ibn Mas’ud I juga direbut kembali oleh Abd
al-Rasyid ibn Mahmud. Kekuasaan Abd al-Rasyid ibn Mas’ud ini juga diambil alih
oleh Tughrul, bekas ajudan dan pengawal pribadi Maudud ibn Mas’ud al-Ghaznawi.
Tetapi, nasib naas menimpa Tughrul, karena ia sendiri tewas di tangan
tentaranya sendiri yang tidak setuju atas usahanya merebut kekuasaan dari
tangan Abd al-Rasyid ibn Mas’ud. Setelah itu, mereka kemudian mengangkat
Fakhruzad ibn Mas’ud I sebagai sultan Ghaznawiyah. Kemudian ia digantikan oleh
saudaranya bernama Ibrahim ibn Mas’ud I. Ibrahim digantikan lagi oleh Mas’ud
III. Sepeninggal Mas’ud III, dinasti Ghaznawiyah benar-benar mengalami
kelemahan, karena konflik internal terus terjadi hingga akhirnya dinasti ini
mengalami kehancuran.
C. Kehancuraan Dinasti Ghaznawiyah
Sepeninggal Mas’ud III, kekuasaan jatuh ke tangan
anaknya bernama Syirzad dengan mengalahkan saudara-saudaranya, Arslan Syah dan
Bahram Syah. Setelah berkuasa selama satu tahun, Syirzad digulingkan oleh
Arselan Syah. Tapi setelah ia berkuasa lebih kurang 2 tahun, kekuasananya juga
digulingkan oleh Bahram Syah. Untuk merebut kembali kekuasaan itu, Arslan Syah
melakukan serangan balik, tapi serangan tersebut dapat dipatahkan Barham Syah,
dan Arslan Syah kemudian ditangkap dan dibunuh. Setelah Bahram Syah, posisinya
digantikan oleh Khusrav Syah, puteranya sendiri. Setelah Khusrav Syah, jabatan
sultan dipegang oleh Khusrav Malik, putera Khusrav Syah. Ia merupakan sultan
Ghaznawiyah terakhir yang menyaksikan kekuasaannya dicabik-cabik oleh pasukan
Ghurriyah dari Afghanistan. Kemudian Syihabuddin dari Ghur memaksa Khusrav
Malik di Lahore untuk membayar pajak kepadanya. Bahkan dalam sejarah diketahui
Khusrav Malik bersama anaknya, Malik Syah ditahan dan dibunuh oleh Syihabuddin
Ghurri.
Dengan peristiwa tragis itu, maka berakhirlah
kekuasaan dinasti Ghaznawiyah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dinasti Ghaznawiyah yang didirikan oleh Mahmud al-Ghaznawi mengalami pasang surut. Dinasti ini pernah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Hal ini dapat dibuktikan lewat luasnya wilayah kekuasaan hingga mencapai anak benua India. Tetapi, setelah sekian lama berkuasa, dinasti ini mengalami masa kemunduran karena konflik internal berkepanjangan hingga akhirnya unsur luar masuk dan menguasa istana hingga akhirnya kekuasaan dinasti Ghaznawiyah mengalami masa kehancuran setelah jatuh ke tangan bangsa Ghur dari Afghanistan, terutama setelah Syihabuddin Ghurri membunuh sultan terakhir, yaitu Khusrav Malik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dinasti Ghaznawiyah yang didirikan oleh Mahmud al-Ghaznawi mengalami pasang surut. Dinasti ini pernah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Hal ini dapat dibuktikan lewat luasnya wilayah kekuasaan hingga mencapai anak benua India. Tetapi, setelah sekian lama berkuasa, dinasti ini mengalami masa kemunduran karena konflik internal berkepanjangan hingga akhirnya unsur luar masuk dan menguasa istana hingga akhirnya kekuasaan dinasti Ghaznawiyah mengalami masa kehancuran setelah jatuh ke tangan bangsa Ghur dari Afghanistan, terutama setelah Syihabuddin Ghurri membunuh sultan terakhir, yaitu Khusrav Malik.
KESIMPULAN
Dinasti
ghaznawiyah didirikan pada tahun 962 M oleh Sabuktatin yang kemudian diteruskan
oleh anaknya yang bernama Mahmud Ibn Sabuktatin. Setelah kekeuasaan dinasti
Samaniyah runtuh, Mahmud Ibnu Sabuktatin memproklamirkan dirinya menjadi penguasa
independen dengan sebutan Mahmud al-Ghaznawy. Di bawah kekuasannya ia
memperluas wilayah kekuasannya atas Khurasan dan wilayah sekitarnya. Pada
masanya dia juga melakukan penyebutan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam setiap
khhutbah Jum’at yang sebelumnya terabaikan. Hal itu karena perbedaan ideoogi
politik dan keagamaan sebab dinasti Samaniyah berideologi Syi’ah sedangkan
Mahmud Ghaznawi beraliran Sunni sehingga dia memperoleh gelar wali amir al-
mukminin. Selain itu, pemerintahan Mahmud Ghaznawi juga berusaha memeperoleh
pendapatan melalui pajak dan pendapatan lainnya.
Dinasti
ghaznawiyah mengalami kemajuan pada pemerintahan Mahmud Al-Ghaznawi yang
berkuasa lebih kurang 34 tahun. Kekuasaan yang dimilikinya dipergunakan untuk
memperluas wilayah kekuasaan hingga mencapai India. Wilayah tersebut membuat
ekonomi ghaznawiyah sangat kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran
negri. Pada masa ghaznawiyah peradaban dan ilmu pengetahuan sangat maju
terbukti dengan didirikannay gedung sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya. Dari kemajuan pendidikan itu, muncul pemikir, ilmuan dan sastrawan
yang berpengaruh.
Kemunduran
dinasti ghaznawiyah berawal sejak meninggalnya mahmud al-ghaznawi. Mulai saat
itu sumber pendapatan negara semakin berkurang terlebih setelah toghrul bek,
Amir Saljuk menguasai wilayah khurasan dan beberapa wilayah yang lain berusaha
untuk mendirikan kerajaan-kerajaan Islam kecil.
Pada
masa Mas’ud Ibn Mahmud al-ghaznawy berkuasa, dinasti ghaznawiyah mengalami
kemunduran luar biasa karena wilayah khurasan dan khawarizm jatuh ke tangan
saljuk. Selain faktor eksternal, kemunduran ghaznawiyah juga disebabkan oleh
konflik internal keluarga. Konflik tersebut disebabkan oleh perebutan kekuasaan
antara Muhammad dengan Mahmud al-Ghaznawi sehingga menimbulkan pertempuran.
Dalam pertempuran tersebut, mas’ud tewas terbunuh . namun kematian mas’ud tidak
diterima oleh anaknya yaitu Maudud Ibn Mas’ud al-Ghaznawi. Untuk melakukan
balas dendam atas kematian ayahnya dia melakukan penyerangan terhadap keluarga
Muhammad dan membunuh mereka. Situasi politik semakin kacau setelah terjadi
konflik internal dalam perebutan kekuasaan.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Artikel Peradaban Islam: Dinasti Ghaznawiyah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*