Sahabat *Banjir Embun* (sabem) berikut ini kami tampilkan beberapa foto yang kami dapat di Facebook. Perlu kami tekankan bahwa foto yang yang kami posting di bawah ini sudah mendapat izin dari yang punya. Serta tidak lupa kami juga tunjukkan sumber web atau link di bawah foto. Silakan sahabat cek sendiri ya.
Beranda » Arsip untuk Juni 2012
Kamis, 28 Juni 2012
Selasa, 26 Juni 2012
Puisi: ooo tiada ooo
OOO ...tiada... OOO
Kupun mulai bertanya
yang tak pernah kunanti
kemungkinan jawabannya
Ketika kumeminta
dan tiadapun yang berbagi
aku hanya bisa bahagia
dengan terus memberii
Ketika kumengiba
Dan tiada pelatapun peduli
pada kehidupan kupercaya
kasih sayangku memberi arti
paradoks hidup..
membuat hidoep lebih hidoep :D
Baca tulisan menarik lainnya:
Puisi: Banyak
-banyaK-
banyak haL baik di dunia ini
tapi hanya saTu yang menGgetarkan hati
kusebut dia -cinta-
di hati... banyak periStiwa mengesankan
tapi hanya satu yang obati rasa bosan
kupanggil dia -cinta-
banyak kata membuatku lelah
tapi hanya satu yang menyelipkan rasa bungah
q eja dia dengan bunyi -cinta-
banyak warna menyibukkanku
tapi hanya satu yang memberiku pelajaran kalbu
kukenal dia dengan rasa -cinta-
terimakasih cinta...akan kujemput kau di manapun berada ^^
oleh Ketika Charys B'tasbih pada 16 November 2011 pukul 15:37 ·
(foto Dwi Kharis, sumber photo: facebook)
tapi hanya saTu yang menGgetarkan hati
kusebut dia -cinta-
di hati... banyak periStiwa mengesankan
tapi hanya satu yang obati rasa bosan
kupanggil dia -cinta-
banyak kata membuatku lelah
tapi hanya satu yang menyelipkan rasa bungah
q eja dia dengan bunyi -cinta-
banyak warna menyibukkanku
tapi hanya satu yang memberiku pelajaran kalbu
kukenal dia dengan rasa -cinta-
terimakasih cinta...akan kujemput kau di manapun berada ^^
Baca tulisan menarik lainnya:
Puisi
Aku... (Bukan Puisi Chairil Anwar :D)
oleh Ketika Charys B'tasbih pada 12 November 2011 pukul 9:54 ·
(foto Dwi Kharis, sumber photo: facebook)
"Aku"Ketika kau menemukan beberapa orang hebat
Katakanlah...
"Aku"lah yang terhebat,
bukan karena "aku" lebih dari mereka
Bahkan seperti "mereka"pun tidak
Karena..
"aku" berhak atas diriku
Berhak atas perintahku
Berhak kuajak berdiri
Berhak kuseret berlari
Berhak kuajar menjadi
Ketika deretan orang hebat kau temui
Katakanlah bukan seperti siapa-siapa aku menjadi
Karena "aku" ingin menjadi diri
yang dengannya "aku" tulus menjadi
"Aku"
hanya "aku" lah yang berhak kumiliki
Baca tulisan menarik lainnya:
Kamis, 21 Juni 2012
Landasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Di Pengadilan Agama
Landasan Hakim Dalam
Memutuskan Perkara Di Pengadilan Agama
Baca tulisan menarik lainnya:
Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Rincian buku:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
(facebook: fahad.asadulloh@yaho o.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
1. Poligami Menurut Hukum
Islam
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan
sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan
pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa
membedakan antara istri yang kaya dan
istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari
golongan bawah.[1]
Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.
Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3:
(ayat al Qur’an tidak
bisa ditampilkan di blog ini)
Artinya: Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (QS Al- Nisa (4) : 8)[2]
Dalam sebuah hadits Nabi
Saw. Juga disebutkan:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن
النبى صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له إمرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقّه مائل (رواه أبو داود والترمذى والنسائى وابن حبان)
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Nabi Saw. bersabda,” Barang
siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka
ia akan datang di hari kiamat nanti dengan punggung miring”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan
Ibnu Hibban).[3]
Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat
diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat Al-Nisa:129:
(ayat al Qur’an tidak
bisa ditampilkan di blog ini)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara
istri-istri (mu), walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu jangan
lah kamu terlalu cenderung ( kepada yang kamu cinta), sehingga kamu biarkan
yang lain terkatung-katung.( QS. Al-Nisa (4) : 129).[4]
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan
dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil,
sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat
tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam
masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam
ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.[5]
Abi bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar
apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab,
cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya
menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah
dengan istri yang satu tapi tidak begitu bergairah dengan istrinya yang lain.
Dalam hal ini, apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar
kemampuannya. Oleh karen itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.[6]
Aisyah r.a. berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لنسائه فيعدل ويقول : اللهم هذا
قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك قال ابوداود يعنى القلب.
Artinya: Rasullullah Saw. selalu
membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdo’a: Ya
Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau
mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “
Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku tidak menguasai”,
yaitu hati. (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu Majah).[7]
Menurut sebagian Ulama, hadis tersebut sebagai
penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang
merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti
mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk mencintai perempuan yang satu
daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.[8]
Jika suami melakukan perjalanan, hendaklah dia
mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik
apabila dilakukan dengan undian. Dalam hal ini, para ulama juga berkata,
giliran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terkadang ada yang mendapat siang
hari, terkadang juga ada yang mendapat giliran malam hari. Dalam hak giliran,
juga ada hak hibah sebagaimana adanya hak hibah dalam hal harta benda.[9]
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa istri yang ikut
serta menemaninya bepergian, maka hari-hari yang digunakan itu tidak
dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang
digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali masa giliran menurut
lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan Ulama yang lain
berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan di ganti
dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran,
dan masa banyak.[10]
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah
menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di samping itu, walaupun dia mendapatkan
hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan
kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga
menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah
maksud dari hadits berikut, yang memperbolehkan istri yang mendapat giliran
dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia
boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain. Sahabat pernah berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اراد سفرا اقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها
معه وكان يقسم بكل إمرأة منهن يومها غير أنّ سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة.
Artinya: Rasulullah jika mau
bepergian, beliau mengadakan undian diantara para istrinya. Maka mana yang mendapat giliran, dialah
yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada
hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian Saudah bin Zama’ah diberikannya
hari gilirannya kepada Aisyah.[11]
Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami
bekerja di siang hari, hendaklah diadakan giliran di malam hari, maka
gilirannya di siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang lain
selama dua-tiga hari. Bila ia sedang berada dalam giliran seorang istri, maka
ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali ada keperluan yang sangat
penting. Misalnya istri sedang sakit keras atau sedang ada bahaya lainnya.
Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang
dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila di antara istri-istri itu
sudah ada kerelaan dalam masalah ini.[12]
Dalam sebuah hadits yang
bersumber dari Aisyah disebutkan:
عن عائشة رضى الله عنه قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لايفضّل بعضنا على بعض فى القسم من مكثه عندنا
وكان قل يوم إلاّ وهو يطوف علينا جميعا فيدنو من كل إمرأة من غير مسيس حتى يبلغ الّتى
هو يومها فيبيت عند ها.
Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata: Rasulullah Saw.
tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk
kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali
waktu bagi Rasulullah. Tetapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau
mendekati tiap-tiap istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada
istrinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam di rumahnya.(HR. Abu Dawud
dan Ahmad)[13]
Hadits
lain juga menyebutkan:
عن أنس رضى الله عنه قال: كان النبى صلّى الله عليه وسلم يطوف على نساءه فى
الّليلة الواحدة وله يومئذ تسع نسوة (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Anas r.a. berkata: Nabi
Saw. Bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam, dan bagi beliau ketika
itu ada sembilan orang istri. (HR. Bukhari dan Muslim)[14]
Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan
gilirannya di siang hari sekadar untuk meletakkan barang atau memberi nafkah
dan tidak boleh masuk untuk berkasih mesra.
Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu
malam, dan paling banyak tiga malam. Tidak diperbolehkannya melebihi tiga
malam/hari agar tidak menyebabkan adanya penyerobotan diantara istri-istri yang
lain. Karena gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak
dari yang lain, yang berarti telah berbuat durhaka.[15]
2. Poligami Menurut
Hukum Positif ( Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Pengertian poligami
menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas tetapi pada intinya poligami
adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang. Masalah poligami
merupakan masalah yang cukup kontroversial, menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat. Pihak yang mendukung adanya poligami berdasarkan pada kaidah
ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang poligami sebagai
tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki.
Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil. Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam bukunya wacana poligami di Indonesia bahwa:
Dicantumkan
ketentuan yang membolehkan adanya
poligami dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bukan dimaksudkan
sebagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum laki-laki.
Praktik dalam masyarakat tentang poligami sering menampakkan
kesewenang-wenangan suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk
menggeneralisasi bahwa poligami pasti diskriminatif, wujud penindasan kaum
suami terhadap istri.[16]
Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya,
ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup baik dalam arti secara
tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Selain itu, penerapan
poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan tidak lain ditujukan untuk
mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dengan kata lain,
poligami harus dilakukan sebagai upaya akhir jika semua upaya penyelesaian lain
telah dicoba. Hal ini tampak dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang cukup
rumit dan sulit apabila bagi suami
berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Permasalahn poligami dewasa ini semakin bertambah
rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui
diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan
pelaksanaan poligami. Kasus- kasus poligami yang yang kebanyakan saat ini
terjadi jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali dimana
walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam
segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini
masih diperlukan pemikiran-pemikiran lebih dalam lagi serta
pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan tindakan. Akan
tetapi permasalahnnya juga sering timbul dan
tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut
timbul perkara dan masalah yang baru.
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan
antara satu orang pria dengan lebih seorang isrti [17].
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 menganut adanya asas
monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1
yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas
monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya
hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan
mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus
sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika
perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri
maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini
tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang
dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya
bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan
dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan.
Ketentuan ini membuka kemungkinan
seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat
kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat
karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan
atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam
harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama
yang dianut dan Pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan.
Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus
mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun
persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap ister-isteri dan anak-anak mereka.[18]
Perkawinan poligami di dalam masyarakat lebih
sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang isteri atau
seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih
dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri,
sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan
lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja.
Hikmah perkawinan poligami dilarang adalah untuk
menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin
kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan
tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak,
sehingga perlu dapat perlindungan dan kepastian
hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan
yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila
ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih berbentuk janin dalam kandungan.
Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang -Undang
Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa
pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini
bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin
dengan lebih dari seorang.
Untuk kasus poligami ketentuan jumlah istri dalam
waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang
harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan
anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang
beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu
mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka
perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Agama dapat memberikan izin kepada
suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:
1. Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang
istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[19]
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan
alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat
pendukung yaitu:
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para
istri dan anak-anaknya.[20]
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang
menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan
akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan
ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri di sidang Pengadilan
Agama.
[1] Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, 361.
[2] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 115.
[3] Al-Hafidz Bin Hajar Al-
Asqalani,
(Surabaya: Darul ‘Ilm, t.t), 221.
[4] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya,143.
[5] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 363.
[6] Abdul Rahman Ghazaly,
Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 133.
[7] Al-Asqalani, Bulughul Maram, 221.
[8] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 364.
[9] Syaikh Zainuddin Bin
Abdul Aziz al- Malibari, Fathul Mu'in (Surabaya:Darul Ilm,t.t), 221.
[10] Ibid., 222.
[11] Al-asqalani, Bulughul
Maram, 221.
[12] Syaikh Zainuddin,
Fathul Mu’in, 222.
[13] Al-Asqalani, Bulughul Maram , 221.
[14] Ibid, 223.
[15] Syaikh Zainuddin, Fathul Mu'in, 223
[16] Nur Rosyidah Rahmawati,
Wacana Poligami di Indonesia ( Bandung: Mizan, 2005),40
[17] Undang-Undang Perkawinan ,6
[18]Asro Sutro Atmojo & Wasit Alawi, Hukum
Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 84
[19] Undang-Undang
Perkawinan, 6
[20] Ibid., 7
Baca tulisan menarik lainnya:
Pengertian dan Hukum Poligami
Terima
kasih, blog Banjir Embun telah dipercaya untuk digunakan sebagai referensi
karya tulis oleh beberapa akademisi dan calon ilmuwan muda. Berikut puluhan BUKTI blog Banjir Embun mendapat kepercayaan masyarakat ilmiah (ilmuwan):
Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Rincian buku:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Pengertian dan Hukum Poligami
(facebook: fahad.asadulloh@yaho o.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
Kata
poligami, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila
pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan
yang banyak atau lebih dari seorang.[1]
Sedangkan
pengertian poligami menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah ikatan perkawinan
yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang
bersamaan.[2]
Para
ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang
dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune
yang berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari
seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti
banyak dan andros berarti lak-laki.[3]
Jadi,
kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang
dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian,
dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud poligami itu adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang
bersamaan. Sebenarnya yang dimaksud poligami menurut masyarakat umum adalah
poligini.
Dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3 ayat (1) disebutkan
bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, dengan
demikian Undang-undang No. 1 tahun 1974 menganut asas monogami.
Namun
demikian bukan berarti poligami sama sekali tidak diperbolehkan, dalam pasal 3
ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa: “Pengadilan dapat
memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”[4].
Maksud dari pasal 3 di atas adalah apabila seorang pria ingin menikah lebih
dari seorang (poligami) maka harus memperoleh izin dari Pengadilan terlebih
dahulu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Permasalahan
poligami sebenarnya juga sudah dijelaskan di dalam nash-nash baik dalam
al-Qur’an maupun hadits. Seperti halnya dalam undang-undang, Syaria’at Islam
pun menghendaki adanya pernikahan yang monogami meskipun juga memperbolehkan
adanya poligami. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3:
(ayat al Qur’an tidak
bisa ditampilkan di blog ini)
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita lain
yang kamu senangi dua, tiga, dan empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat
berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki,
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa'(4):
3).[5]
Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid
Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:
Islam memandang poligami lebih banyak membawa
resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu,
iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan
kadar tinggi , jika hidup dalam kehidupan keluarga poligamis. Dengan demikian,
poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara isteri
beserta anaknya masing-masing. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam
adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak
cemburu, iri hati dan suka mengeluh
dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula
membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya dibolehkan dalam
keadaan dharurat. Misalnya isteri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak
itu merupakan salah satu dari tiga human
investmen yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, bahwa
amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a
untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan
keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan
syarat-syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan
harus bersikap adil dalam pemberian nafkah dan giliran waktu tinggalnya.[6]
Mengenai
hukum poligami itu sendiri, Rasyid Ridha juga menetapkan bahwa hukum poligami
berstatus mubah, sebab hukum Islam secara mutlak tidak mengharamkan dan
tidak pula memberikan dispensasi (kelonggaran) mengingat watak laki-laki yang
memiliki kemampuan tinggi dalam berbagai bidang (termasuk dalam perkawinan yang
cenderung poligami) sehingga dalam melakukannya harus mempertimbangkan dahulu
madharatnya.[7]
[1] Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 15.
[2] Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, t.t), 693.
[5]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT.
Kumudasmoro Grafindo ,1994), 115.
[6]Lihat Masyfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam (Jakarta:PT. Gita Karya,1998),
12.
Baca tulisan menarik lainnya:
SKRIPSI BAB III: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI...
SKRIPSI BAB III: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN
Baca tulisan menarik lainnya:
SKRIPSI BAB I: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2009-2010)
PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN
Baca tulisan menarik lainnya:
Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami
Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami(Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2009-2010)
Baca tulisan menarik lainnya:
SKRIPSI BAB I: UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MI NURUL HUDA NGLETIH PESANTREN KEDIRI
UPAYA MADRASAH DALAM
PEMBENTUKAN
AKHLAKUL KARIMAH SISWA
Baca tulisan menarik lainnya:
ṢAḤIḤ MUSLIM Biografi Imam Muslim, Metode dan Sistematika Serta Pandangan Dan Kritik Terhadap Ṣaḥiḥ Muslim
ṢAḤIḤ MUSLIM
Biografi Imam Muslim, Metode dan Sistematika
Serta Pandangan Dan
Kritik Terhadap Ṣaḥiḥ Muslim
Oleh: Mualimul Huda
Baca tulisan menarik lainnya:
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
SEJARAH PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Mualimul Huda
Baca tulisan menarik lainnya:
Sabtu, 16 Juni 2012
Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid
Link terkait tulisan atau kajian tentang sistem pembelajaran: di sini
Baca juga:
Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)
Baca juga:
Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)
Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid
Oleh: Fuad Imron
(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri dan Kepala Sekolah SD Islam Al- Minhaj Wates Kabupaten Kediri)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah
satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari
keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun. Secara historis, Islam pada
mulanya memang turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada
dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun
untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan
hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu
berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat
selalu up to date dengan setiap masyarakat yang ada. Dengan demikian
diperlukan adanya reinterpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam agar dapat
didialogkan dengan setiap masyarakat yang dihadapinya.
Di Indonesia, Islam kembali menemukan momentum untuk bangkit
setelah Soeharto lengser dari kedudukannya. Para intelektual Islam menggunakan
momen keterbukaan yang ada untuk mendirikan partai-partai politik, ormas,
publikasi media, dan organisasi-organisasi payung untuk mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami
kemajuan yang lebih cepat daripada masa sebelumnya. Dinamisasi Islam yang
terjadi tidak dapat dilepaskan dari munculnya para intelektual muda yang
mengenyam pendidikan barat. Sepulang dari barat, mereka berusaha menerjemahkan
pemikirannya dalam alam Indonesia yang majemuk. Dengan tidak bermaksud
mengesampingkan peranan para intelektual yang lain, dalam makalah ini akan
dideskripsikan pemikiran Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid merupakan tokoh yang besar peranannya
dalam mengembangkan pemikiran yang moderat di Indonesia. Pemikirannya
menginspirasi munculnya para intelektual muda yang menunjukkan dinamisasi Islam
di Indonesia.
Nurcholish Madjid telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim Indonesia. Amich Alhumami menyamakan peranannya seperti H. Agus Salim dan M. Natsir yang menjadi simbol kaum terpelajar pada masa awal kemerdekaan. Simbol itu sekarang melekat pada diri Madjid. Dalam konteks ini, posisi individualnya mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan kaum Muslim Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan dan melebih-lebihkan, dia dapat disebut sebagai sisi intelektual Muslim Modernis par exellence.[1] Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas beberapa pemikiran yang digagas dan dikembangkan oleh Nurcholish Madjid.
PEMBAHASAN
I.
Dinamisasi
Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Fakta bahwa
Islam bukanlah penyebab kemunduran umat muslim bukan berarti meniadakan
perlunya reformasi pemahaman Islam dewasa ini. Penekanan Islam pada aspek
keadilan, persaudaraan, dan toleransi serasa semakin melemah di berbagai belahan masyarakat muslim, demikian
halnya penekanan pada aspek pembangunan karakter. Reformasi
pemahaman Islam bisa dilakukan melalui jalan dialog. Peran pemerintah dalam hal
ini seharusnya adalah hanya terbatas pada penciptaan iklim yang kondusif bagi
proses dialog. Hal ini akan menciptakan hubungan baik antara pemerintah dan
ulama serta rakyat.[2] Sayangnya, wacana toleransi antar umat beragama yang
dikawal secara rapi semasa kekuasaan Orde Baru ternyata tidak mengakar pada
masyarakat, karena tampaknya pendekatan yang digunakan pada masa itu lebih
bersifat politik. Jadi, toleransi dan kehidupan harmonis yang dikonstruksi pada
masa itu tidak mengakar dan menjadi
kesadaran struktural tetapi lebih dilakukan sebagai keharusan karena ada
kontrol dan tekanan dari alat-alat kekuasaan negara.[3]
Sejarah
perjalanan umat Islam di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya memprihatinkan.
Bahkan Indonesia dapat disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam
mendialogkan Islam dan modernitas. Islam di Indonesia bersifat terbuka dan
toleran, sehingga mampu mendialogkan doktrin agama dengan modernitas. Keadaan tersebut berbeda dengan
yang terjadi di Timur Tengah dan wilayah-wilayah lain yang mengalami kegagapan
dalam berdialog dengan modernitas dan kemanusiaan, meskipun pemikiran pembaharuan Islam telah
terjadi lebih awal di wilayah tersebut. Di Indonesia, perubahan arah dari
gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh kekuatan Islam politik menjadi
de-Islamisasi negara yang dipelopori oleh para tokoh Islam semacam Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang telah
berlangsung sejak masa Orde Baru. Perubahan tersebut belum ditemukan padanannya
di wilayah lain, termasuk Timur Tengah.[4]
Meskipun tidak
dapat dipungkiri adanya peningkatan kemunculan kelompok-kelompok radikal di
Indonesia, namun secara keseluruhan basic landscap Islam di Indonesia adalah moderat. Selain
itu, gaung kampanye nilai-nilai Islam yang substantif seperti pembasmian
korupsi dan pembelaan terhadap kaum miskin menyebar ke seluruh pelosok tanah
air. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim di Indonesia tidak ragu dalam
menerima dan menyerap nilai-nilai demokrasi
yang sudah sejak lama diperjuangkan
tidak hanya oleh para pendiri bangsa tapi juga organisasi Islam yang
terus menggagas Islam yang kontekstual, yaitu yang mampu merespon secara
positif persoalan masa kini.
Islam di
Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Islam Timur Tengah. Sejak
awal kedatangannya, Islam di Indonesia mengalami proses akulturasi dengan
kepercayaan purba, pra Islam, dan sosio-kultural setempat. Sejak abad ke-17
para intelektual Muslim telah menanamkan benih-benih Islam progresif atau yang
sekarang sering disebut Islam kontekstual (moderat). Hal yang juga tidak kalah
penting adalah Islam di Indonesia tidak terbelenggu oleh romantisme kejayaan
masa silam.[5]
Menurut Amin Rais, dinamisasi syiar Islam beberapa tahun
terakhir disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: Pertama, Sejak masa orde lama, Islam
sebagai kekuatan politik mengalami kemandekan hingga runtuhnya Orde Baru.
Kemandekan tersebut mendorong umat Islam
untuk menggerakkan kegiatan sosial, pendidikan, budaya, serta dakwah secara intensif.
Kedua, watak Islam yang senantiasa dinamis tidak memungkinkan para
pemeluknya bersikap statis, bahkan menyebabkannya demikian luwes dan terus hadir
dalam segala cuaca politik. Ketiga, khusus di kampus, fenomena dakwah
yang beberapa tahun terakhir semakin meningkat menunjukkan adanya kesadaran
beragama di kalangan mahasiswa yang semakin mendalam. Keempat, adanya
kesadaran dari dalam diri generasi muda, juga karena ekologi sosial, politik,
dan budaya yang terus berubah seirama dengan proses pembangunan. Kelima,
Generasi muda yang makin terpelajar menyadari peliknya memecahkan berbagai
permasalahan nasional Indonesia di masa depan.[6]
II.
Tokoh
Intelektual Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Berbicara
mengenai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lepas dari gagasan
para tokoh intelektual Islam, antara
lain Nurcholish Madjid, Abdurrahman
Wahid, M. Amin Rais, A. Syafi’i Ma’arif, dan lain sebagainya. Pemikiran yang
mereka kembangkan banyak diikuti oleh para intelektual muda lain dan memberikan
inspirasi bagi upaya penyebarluasan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Misalnya
di Jakarta, Muncul tokoh Dawam Raharjo yang memimpin LSAF (Lembaga Studi Agama
dan Filsafat), Masdar Farid Mas’udi, Ulil Absar Abdalla, dan para intelektual
Paramadina. Di Yogyakarta kaum intelektual muda NU berhimpun dalam wadah LkiS.
Muncul juga gerakan post-tradisionalisme Islam. Dinamisasi pemikiran di kedua
kota tersebut secara cepat menyebar di perguruan tinggi-perguruan tinggi di
seluruh Indonesia.
A.
Riwayat
Hidup Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret
1939 dan meninggal tanggal 29 Agustus 2005. Pendidikannya dimulai dari Sekolah
Rakyat dan Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, dan kemudian di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo.
Setelah itu dia melanjutkan ke Fakultas
Sastra dan Kebudayaan IAIN Syarif Hidayatullah dan tamat pada tahun 1968. Tahun
1978-1984 dia melanjutka pendidikan doktoral di University of Chicago dan
meraih gelar Ph.D. dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu
Taimiyah.[7]
Kapasitas keilmuannya di bidang pemikiran Islam menjadikannya sebagai salah
satu tokoh penting dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Kemampuan
intelektualnya yang tinggi menjadikannya dipercaya sebagai ketua umum HMI
selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1972.) Selain itu dia pernah menjabat
sebagai Presiden PersatuanMahasiswa Islam Asia Tenggara.[8]
B. Pemikiran Nurcholish Madjid
Ide-ide Nurcholish Madjid mulai muncul semenjak ia
berkecimpung di dunia kampus. Hingga akhirnya dia dianggap sebagai salah satu
pencetus pembaruan pemikiran Islam. Ketokohannya secara tidak berlebihan
dianggap mewakili figur pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam secara
lebih brilian. Terbukti dengan banyaknya studi tentang pemikirannya dan
peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia.[9]
Nurcholish Madjid juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan pemikiran
Islam neo-modernis di Indonesia. Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya
sewaktu di Chicago.[10]
Gagasan neo-modernis Islam ini mendapat tempat di Indonesia, terutama di
kalangan intelektual muda sejak awal tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an,
bahkan hingga memasuki abad ke-21 sekarang.[11]
Mengenai
pemikiran Nurcholish Madjid, Abdurrahman
Wahid mengatakan bahwa dia berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan
oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan
yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya.
Penyerapan tersebut membuat Islam sarat dengan nilai universal. Karenanya,
Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan
semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia
hanya akan menyempitkan Islam sendiri.[12]
Tampaknya corak
pemikiran Madjid yang cenderung moderat sudah terarah sejak dia kecil. Hal itu
terlihat dari latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan pesantren.
Latar belakang pendidikannya di beberapa Pesantren baik di Jombang maupun di
Gontor juga semakin mengukuhkan corak pemikirannya. Hal itu semakin dipertajam
setelah dia berada di dunia kampus, baik ketika di IAIN maupun di Chicago.
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa pemikiran Nurcholish Madjid yang
membawa pengaruh besar pada rekonstruksi pemikiran Islam dan dinamisasi
semangat keislaman di Indonesai.
1.
Tentang
Substansi
Nurcholish Madjid
dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan
sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan
peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta
ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan
Hadīth yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali
berdasarkan runtut dan rentang waktu sejarah kaum Muslim serta
dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.[13]
Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang
disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan
kata lain, sebagai salah satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai
keindonesiaan, Islam harus tampil produktif dan konstruktif terutama dalam
mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi
kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan bersama bangsa Indonesia.[14]
Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya menekankan
manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Bukan
hanya dalam penampilan akan tetapi juga dalam format pemikirannya. Menurut
Madjid, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim
politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan
islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Proses
Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan
demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada
menjadi gerakan politik.[15]
Pemikiran Madjid tersebut tampaknya terinspirasi dari pengalamannya
berada di dunia barat dimana etika dan nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan
dengan baik. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami”
daripada umat Islam yang berada di negara-negara yang mayoritas penduduknya
Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragaman Islam,
maka nilai-nilai keislaman yang seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya
mengarah pada kesalihan pribadi dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan
harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
2.
Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid
menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia
tidak dapat dihadang, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa
pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang.
Ia mengajukan gagasan tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan.
Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal,
pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan
sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan
politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).[16]
Gagasan
integrasi keislaman dan keindonesiaan yang ditawarkan Madjid sejalan dengan
konsep pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid.[17]
Keduanya sebenarnya merupakan bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat.[18] Dalam hal ini, Madjid menyatakan perlunya frame of
reference (kerangka referensi) yang jelas mengenai keindonesiaan. Dia
merasa optimis bahwa semangat nasionalitas adalah modal yang baik untuk
mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, yakni suatu bentuk saling
pengertian yang berakar dalam semangat untuk saling memberi dan menerima. Sikap
untuk saling memberi dan menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing
kelompok, golongan, maupun agama.[19]
Dengan adanya
integrasi keislaman dan keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis
Indonesia siap menghadapi dan menerima modernisasi. Modernisasi berarti
rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang
maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja
menurut fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah telah
mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk menjadi modern,
manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu
(perintah Allah). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu
pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh
manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula rasional.[20]
3.
Penerimaan
Terhadap Pancasila
Mengenai
penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam Indonesia, Madjid
mengapresiasi peran besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat
diterima oleh umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana
caranya untuk mengisi dan menjalankan Pancasila secara lebih baik dan konsisten.
Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, maka terbuka lebar
kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif
untuk mengisi dan melaksanakannya.[21] Madjid
mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila
setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya
dibenarkan oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan
antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.[22]
Madjid membenarkan pernyataan Mohammad Hatta, salah seorang penanda
tangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya kelak disebut Pancasila itu, yang me
rumuskan bahwa sila Ketuhanan Yanag Maha Esa adalah sila primer dan utama yang
menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Begitu pula pendapat Hamka yang menyatakan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila
dan sila apapun dalam kehidupan manusia. Ketuhanan atau tauhid itulah yang mendasari
dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia dan menjadi
intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi.[23]
Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara Islam, karena
yang terpenting adalah substansinya, bukan bentuk formalnya. Dia lebih setuju
terhadap konsep dan eksistensi negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.[24]
Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara berfikirnya
yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara yang berusaha mendirikan negara
Islam memberikan pelajaran bahwa konsep tersebut hanya akan mengecilkan dan
mempersempit peranan Islam sendiri sebagai sebuah sistem nilai. Perdebatan
mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah dianggap selesai pada saat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam
Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam Islam.
4.
Islam
Yes, Partai Islam No!
Mangenai
peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan pendapat “Islam
yes, partai Islam no!”.
Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak
menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi
absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam
yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang
terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan
korupsi.[25]
Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya yang
terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami
dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.[26]
Sebagaimana
telah diketahui, partai Islam yang bermunculan setelah Indonesia merdeka.
Partai-partai tersebut bertarung pada pemilu tahun 1955 dan banyak yang
mengalami kegagalan. Hingga akhirnya pada masa Suharto partai-partai tersebut
difusikan dalam satu partai, yaitu PPP. Setelah terbukanya pintu reformasi,
partai Islam bermunculan kembali, namun tetap kalah oleh partai nasionalis.
Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan PAN yang menggunakan Pancasila
sebagai ideologi partainya. Meskipun di satu sisi keduanya diuntungkan dengan
adanya basis massa yang besar (NU dan Muhammadiyah), namun di sisi lain
penggunaan ideologi Pancasila pada dua partai tersebut menunjukkan sikap
terbuka keduanya dalam menyikapi keberagaman Indonesia.
5.
Sekularisasi
bukan Sekularisme
Salah
satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah
tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang
dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya, yang dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating
development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam
perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka
Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal.[27] Oleh
karena itu, sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan
yang membebaskan, yang menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme
Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula dengan fungsi mereka
sebagai khalifah Allah di atas bumi.[28]
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis.
Tetapi dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di
hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi sifat
kaum muslimin. Mengenai banyaknya sikap
kontra terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah
menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.[29]
Sekularisasi yang dimaksud di atas
tampaknya mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana urusan
dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara bebas dan
kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk mampu berijtihad
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul.
6.
Peranan
Umat Islam
Mengenai peranan
yang harus dimainkan umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga
hal, yaitu: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam
hal ini Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh
masyarakat. Kedua, Mengembangkan pemahaman terhadap agama Islam sebagai
sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami
perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk
mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini
harus dijadikan pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan
proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.[30]
Madjid
menegaskan pendiriannya bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka dan
demokratis. Sehingga Pancasila harus dapat difahami secara benar agar tidak
berubah menjadi rumusan-rumusan dogma yang mati dan kaku. Sikap yang tepat
terhadap Pancasila akan menutup kesenjangan antara konsep keumatan dan
kenegaraan, khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Dengan hilangnya kesenjangan, maka dapat diharapkan pada diri umat Islam rasa
ikut memiliki Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini selanjutnya akan melandasi
perkembangan hubungan antara Islam dengan Indonesia, yaitu bahwa keislaman
adalah keindonesiaan dan keindonesiaan adalah sebagian besar keislaman.[31]
Keparalelan
keislaman dengan keindonesiaan, menurut Madjid secara lebih lanjut
mengisyaratkan pengakuan akan absahnya pandangan yang melihat perlunya membuat
interpretasi - jika bukan adaptasi - ajaran-ajaran universal Islam untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan nyata Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya,
Indonesia akan menjurus menjadi sebuah “negara santri.”[32]
Ini tidak berarti Pancasila akan terhapus atau terganti, akan tetapi
nilai-nilai Pancasila akan mengejawantah dalam bentuk inlai-nilai kesantrian
yang kosmopolit dan nasional.[33]
Menurut Madjid,
Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam bersifat
universal yang terbebas dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain, Islam harus
hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia terbungkus
oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang universal hanya bisa ditangkap
dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia
menjadi bentuk dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam
dapat muncul dalam berbagai warna dan corak.[34]
Dengan
demikian, integrasi antara keislaman dan keindonesiaan akan dapat terwujud jika
umat Islam mampu memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu
sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan karena
pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam
yang masuk dengan damai dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di
Indonesia, yang banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam
pada dasarnya sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh
sebelum kemerdekanaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang
berkembang setelah jatuhnya Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat
Islam untuk semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam
kehidupan masyarakat modern.
7.
Nurcholish
h Madjid dan Paramadina
Ide-ide
pembaruan Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat organisasi
Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina berhasil
menarik para elit dan profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha,
mahasiswa, dan pegawai negeri untuk mendalami Islam dan mengokohkan
keimanannya, dan mengarahkan pandangan progresif tentang peranan agama di
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa peranan Paramadina mirip dengan fungsi
madrasah atau tradisi pesantren akhir abad ke-20. Paradigma neomodernisme
tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Sebagaimana pernyataan Madjid
sebagai pendirinya, paramadina adalah lembaga pendidikan yang secara penuh
mempercayau bahwa nilai-nilai Islam universal dapat dibuat konkrit dalam
konteks tradisi lokal Indonesia serta keislaman dan keindonesiaan. Yayasan
Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang kreatif, konstruktif dan
produktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif atau bahkan
reaksioner.[35]
Paramadina
mangakomodir banyak pengusaha santri dan para birokrat santri terutama yang ada
di kota besar seperti Jakarta yang membutuhkan sejenis majlis taklim yang
modern dan corak kehidupan Islam yang lebih intelektual.[36] Melalui
Paramadina, Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi
pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya yang menjadi pendukung
pemikirannya dari kalangan santri kota. Paramadina sebagai lembaga keagamaan
dengan semangat keterbukaan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat yang
mampu untuk mengatasi perbedaan orientasi engan menciptakan pemikiran dan network
yang kuat bagi pemberdayaan masyarakat madani. Di paramadina pula dikembangkan
pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat dipakai sebagai common platform
bagi proses pemberdayaan itu.[37]
Menurut Madjid,
program Paramadina merupakan “human investment” yang bersifat jangka
panjang, sehingga harapan jangka pendek dapat diantisipasi. Apalagi jika
harapan-harapan tersebut bersifat politik, maka akan dihindari. Dalam gerakan
intelektual, dimensi waktu disadari berada dalam skala besar, karena itu
bersifat prediksi. Prediksi dan harapan yang akan dicapai Paramadina adalah demokratisasi,
yaitu demokratisasi dalam konteks keindonesiaan. Keindonesiaan inilah yang
diharapkan akan terwujud di Indonesia. Dalam hal ini, Madjid membandingkan
dengan Amerikanisme di Amerika. Sekalipun Amerika terdiri dari berbagai bangsa
dan agama, basis karakter dan etika Amerika sebagian besar berakar dalam
Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat Laut.[38]
Gagasan Madjid
tersebut tampaknya mengarah kepada masa depan Indonesia yang dia harapkan dapat
memiliki suatu karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dengan
membandingkan kuatnya karakter kaum Protestan di Amerika, semestinya yang
terjadi di Indonesia adalah kuatnya karakter Islam dalam kehidupan kebangsaan,
mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Selain itu, niali-nilai
Islam sudah banyak yang menyatu dengan kultur Indonesia, terutama karena Islam
masuk ke Indonesia secara damai.
III.
Analisis
Pemikiran Nurcholish Madjid
Dari beberapa pemikiran Nurcholish Madjid tersebut di atas,
terdapat keparalelan. Pemikiran tentang substansi Islam yang harus dikedepankan
daripada formalitas dan simbol-simbol belaka mengarah pada penerapan Islam
sebagai suatu sistem nilai. Sistem nilai ini kemudian harus diterapkan dengan
mempertimbangkan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam hal ini memunculkan
ide integrasi keislaman dan keindonesiaan. Integrasi yang diterapkan akhirnya
mengarah kepada penerimaan Pancasila sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa
Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dapat
menjadikan Islam lebih membumi. Penolakan Madjid terhadap partai Islam
dimaksudkan agar Islam tidak terkebiri oleh pemeluknya sendiri. Penerapan
substansi nilai Islam lebih baik daripada penggunaannya secara formal dalam
bentuk ideologi negara maupun partai, mengingat Islam memiliki nilai-nilai yang
bersifat universal.
Sekularisme yang digagas
Madjid bukan dimaksudkan untuk menjauhkan umat dari ajaran agama, melainkan
untuk mengarahkan mereka menuju keseimbangan antara kehidupan antara dunia dan
akhirat. Umat Islam harus dapat memilah dengan benar mana urusan agama dan mana
urusan dunia. Pendapat tersebut memiliki korelasi dengan pemikiran-pemikiran
Madjid secara keseluruhan. Harapannya Umat Islam dapat lebih maju dan siap
menjadi modern dengan tidak meninggalkan Islam dalam nuansa keindonesiaan.
Meskipun banyak yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid, terutama
dari kalangan umat Islam yang berfikir moderat, namun demikian banyak pula yang
menolak ide-ide tersebut, terutama dari kalangan fundamentalis. Kaum
fundamentalis menganggap Madjid pro barat dan berusaha meggiring umat Islam
menjadi seperti bangsa barat yang kafir. Secara umum, masyarakat yangmenerima
pemikiran Madjid lebih banyak daripada yang menolak. Hal itu diindikasikan
dengan semakin banyaknya kajian baik secara lisan dan tulisan mengenai
pemikirannya dan para pemikir yang lain yang sejalan dengannya.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pasca
turunnya Suharto umat Islam memperoleh momentum untuk meloncat lebih jauh ke
depan setelah sebelumnya terkungkung oleh kediktatoran Orde Baru. Para
intelektual Muslim menggugah kesadaran kaum muda melalui pemikiran-pemikirannya
untuk menjadika Islam lebih berkembang secara dinamis.
2.
Nurcholish
Madjid dikategorikan sebagai kelompok
pemikir substantivistik. Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid
mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan
keindonesiaan. Dalam konteks Indonesia, Madjid mengarahkan umat Islam untuk
menerima Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Selain itu dia juga menawarkan ide
tentang sekularisme.
3.
Untuk
mengaplikasikan pemikirannya, Madjid mendirikan Paramadina. Paramadina diharapkan menjadi investasi
jangka panjang yang dapat mengarahkan umat Islam Indonesia menjadi masyarakat
modern yang demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Chapra, M.
Umer, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi, Terj.
Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010)
Hidayatullah
Syarif, Islam “Isme-isme”: Aliran dan
Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Madjid,Nurcholish
, Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998)
---------, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008)
---------,
Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010)
----------,
Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1997)
Mujib, Ibnu
& Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog Membangun Fondasi Dialog
Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Qodir, Abdul, Jejak
langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2004)
Rakhmat,
Jalaluddin, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 2010)
Rais, M. Amin, Cakrawala
Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994)
Taufiq, Akhmad
et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 151
Tsani,
Iskandar, Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri:
STAIN Kediri Press, 2009)
Zubaidi, Islam
dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
[1] Amich Alhumami, “Gerakan
Modernisme Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid”, dalam: Jalaluddin
Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
h Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 2010), 387.
[2] M. Umer Chapra, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan
Perlunya Reformasi, Terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010), 249.
[3] Ibnu Mujib & Yance Z. Rumahuru, Paradigma
Transformatif Masyarakat Dialog
Membangun Fondasi Dialog Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), 1.
[4] Syarif Hidayatullah, Islam
“Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 100.
[5] Ibid., 101.
[7] Akhmad Taufiq,
et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), 151., .Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), V.,
[8] Akhmad Taufiq, et.al., Sejarah Pemikiran,151-152.
[9] Ibid., 152.
[10] Fazlur Rahman
adalah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari
Pakistan dan menetap di Amerika. Neo-modernis yang dicetuskannya adalah sebuah
gerakan pemikiran Islam progresif yang muncul dari modernisme Islam namun
mencakup juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan ini
mempunyai empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran al-Qur’an yang
sistematis dan komprehensif; kedua, penggunaan metode hermeneutika dan
kritik historis; ketiga, pembedakan secara jelas antara normativitas
Islam dan historisitas Islam; dan, keempat, penggabungan unsur-unsur
tradisionalisme dan modernisme Islam. Lihat: Hidayatullah, Islam “Isme-isme”,
107.
[11] Zubaidi, Islam
dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 175.,
Hidayatullah, Islam “Isme-isme”, 109.
[12] Abdurrahman Wahid menyebut Nurcholish h Madjid dan dua temannya
saat di Universitas Chicago, yaitu Syafi’i Ma’arif dan Amin Rais, sebagai “Tiga
Pendekar dari Chicago”. Namun sayangnya ketiganya tidak menampilkan citra dan
pemikiran yang sama dan padu. Pemikiran ketiganya sering bertabrakan. Hal
itu berbeda dengan para alumni Universitas McGill di
Montreal yang hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersifat terbuka
pada hal-hal baru, termasuk gagasan kerukunan antar umat beragama. Lihat:
Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago”, dalam: Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish h Madjid Jejak Pemikiran,
18-19.
[13] Iskandar Tsani,
Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri: STAIN Kediri
Press, 2009), 121.
[14] Ibid, 123-124.
[15] Abdul Qodir, Jejak langkah Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 122.
[16] Madjid, Islam, Kemodernan, 39.
[17] Menurut Abdurrahman Wahid, ide Pribumisasi Islam dimaksudkan
sebagai usaha melakukan pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan
masalah-masalah di Indonesia. Pada tingkatan yang lebih kontekstual,
pribumisasi ini sebenarnya tidak lain adalah usaha kontekstualisasi ajaran
Islam. Baginya, pribumisasi adalah upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya.
Pribumisasi Islam bertujuan membuat Islam sebagai nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, bukan sesuatu yang asing bagi kehidupan umat. Hal tersebut
tampaknya dimaksudkan sebagai upaya agar umat Islam Indonesia menerima kesadaran dan wawasan
kebangsaan sebagai realitas dan tidak perlu dipertentangkan, karena Indonesia
sebagai suatu bangsa mempunyai pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan
asal muasal sosial kelahiran dan keberadaan Islam dari tempat aslinya (Arab)
Lihat: Qodir, Jejak Langkah,76.
[18] Ibid., 89
[19] Ibid., 86.
[20] Madjid, Islam, Kemodernan, 182.
[21] Nurcholish Madjid, Islam Agama
Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta:
Paramadina, 2010), 77.
[22] Qodir, Jejak langkah,
160.
[23] Madjid, Islam, Kemodernan, 189.
[24] Tsani, Transformasi Pemikiran, 133.
[25] Madjid, Islam, Kemodernan, 205.
[26] Tsani, Transformasi Pemikiran, 131.
[27] Ibid., 5.
[28] Nurcholish Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, 215.
[29] Ibid., 207.
[30] Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 76.
[31] Nurcholish
Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,
(Jakarta: Paramadina, 1997), 57-58.
[32] Madjid
menggunakan istilah santri sebagai bandingan kaum abangan. Karena istilah
kesantrian sesungguhnya merupakan ciri
kultural penduduk Muslim Indonesia, kecuali orang-orang abangan. Lihat :
Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 60.
[33] Secara lebih jauh, Madjid mencontohkan
paradigma salah satu negara sekuler demokratis, yaitu Amerika Serikat yang
secara tidak resmi sering disindir sebagai negara WASP (White Anglo-Saxon
Protestants). Yang terjadi di
Indonesia yang berpancasila, sedang tumbuh potensi untuk menjadi negara
santri. Jadi para santri adalah WASP-nya
Indonesia. Lihat: Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 61.
[34] Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, xix.
[35] Zubaidi, Islam
dan Benturan, 174-175.
[36] Moeslim Abdurrahman, “Modernisme Islam dan Semangat Swalayanisme”,
dalam: Rakhmat, et.al., Prof. Dr. Nurcholish
Madjid Jejak Pemikiran, 26.
[37] Qodir, Jejak Langkah, 114
[38] Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai
Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998),
310.