Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

REAL! Foto Gadis Facebook



Sahabat *Banjir Embun* (sabem) berikut ini kami tampilkan beberapa foto yang kami dapat di Facebook. Perlu kami tekankan bahwa foto yang yang kami posting di bawah ini sudah mendapat izin dari yang punya. Serta tidak lupa kami juga tunjukkan sumber web atau link di bawah foto. Silakan sahabat cek sendiri ya.




Baca tulisan menarik lainnya:

Puisi: ooo tiada ooo

OOO ...tiada... OOO

oleh Ketika Charys B'tasbih pada 16 November 2011 pukul 22:43 
 
 
 (foto Dwi Kharis, sumber photo: facebook)
 
 
Ketika tiada jawab kutemui
Kupun mulai bertanya
yang tak pernah kunanti
kemungkinan jawabannya


Ketika kumeminta
dan tiadapun yang berbagi
aku hanya bisa bahagia
dengan terus memberii

Ketika kumengiba
Dan tiada pelatapun peduli
pada kehidupan kupercaya
kasih sayangku memberi arti

paradoks hidup..
membuat hidoep lebih hidoep :D




Baca tulisan menarik lainnya:

Puisi: Banyak

-banyaK-

oleh Ketika Charys B'tasbih pada 16 November 2011 pukul 15:37 ·


 (foto Dwi Kharis, sumber photo: facebook)
 
 
 
 
 
 
banyak haL baik di dunia ini
tapi hanya saTu yang menGgetarkan hati
kusebut dia -cinta-

di hati... banyak periStiwa mengesankan
tapi hanya satu yang obati rasa bosan
kupanggil dia -cinta-

banyak kata membuatku lelah
tapi hanya satu yang menyelipkan rasa bungah
q eja dia dengan bunyi -cinta-

banyak warna menyibukkanku
tapi hanya satu yang memberiku pelajaran kalbu
kukenal dia dengan rasa -cinta-

terimakasih cinta...akan kujemput kau di manapun berada ^^




Baca tulisan menarik lainnya:

Puisi

Aku... (Bukan Puisi Chairil Anwar :D)

oleh Ketika Charys B'tasbih pada 12 November 2011 pukul 9:54 ·

 (foto Dwi Kharis, sumber photo: facebook)
"Aku"

Ketika kau menemukan beberapa orang hebat
Katakanlah...
"Aku"lah yang terhebat,
bukan karena "aku" lebih dari mereka
Bahkan seperti "mereka"pun tidak

Karena..
"aku" berhak atas diriku
Berhak atas perintahku
Berhak kuajak berdiri
Berhak kuseret berlari
Berhak kuajar menjadi


Ketika deretan orang hebat kau temui
Katakanlah bukan seperti siapa-siapa aku menjadi
Karena "aku" ingin menjadi diri
yang dengannya "aku" tulus menjadi

"Aku"
hanya "aku" lah yang berhak kumiliki





Baca tulisan menarik lainnya:

Landasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Di Pengadilan Agama


Landasan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Di Pengadilan Agama




Baca tulisan menarik lainnya:

Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)

Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul: 



Poligami Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) 

Oleh: Fahad Asadulloh 
    Foto: Fahad Asadulloh (sumber foto: facebook )
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)

(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di 
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)




              1.    Poligami Menurut Hukum Islam
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang  kaya dan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.[1] 

Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga, maka tidak dianjurkan baginya menikah dengan empat orang. Jika dia hanya mampu  memenuhi hak dua orang istri maka tidak dianjurkan baginya untuk menikah sampai tiga kali. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang perempuan maka baginya tidak dianjurkan untuk melakukan poligami.





Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat An- Nisa' ayat 3:
(ayat al Qur’an tidak bisa ditampilkan di blog ini)

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS Al- Nisa (4) : 8)[2]

Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Juga disebutkan:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: من كانت له إمرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقّه مائل (رواه أبو داود والترمذى والنسائى وابن حبان)
Artinya: Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Nabi Saw. bersabda,” Barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan pada salah satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan punggung  miring”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban).[3]

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat Al-Nisa:129:
(ayat al Qur’an tidak bisa ditampilkan di blog ini)

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu jangan lah kamu terlalu cenderung ( kepada yang kamu cinta), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.( QS. Al-Nisa (4) : 129).[4]

Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.[5]
Abi bakar bin Arabi mengatakan bahwa memang benar apabila keadilan dalam cinta itu berada di luar kesanggupan manusia. Sebab, cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt. Yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu juga dengan bersetubuh, terkadang ia bergairah dengan istri yang satu tapi tidak begitu bergairah dengan istrinya yang lain. Dalam hal ini, apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukuman dosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh karen itu, ia tidaklah dipaksa untuk melakukannya.[6]
Aisyah r.a. berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لنسائه فيعدل ويقول : اللهم هذا قسمى فيما أملك فلا تلمنى فيما تملك ولا أملك قال ابوداود يعنى القلب.
Artinya: Rasullullah Saw. selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdo’a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu janganlah engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai, sedang aku tidak menguasainya. “ Abu Dawud berkata bahwa yang dimaksud dengan “Engkau tetapi aku tidak menguasai”, yaitu hati. (HR.Abu Dawud, Tirmidzi,Nasa’i dan Ibnu Majah).[7]

Menurut sebagian Ulama, hadis tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada diluar kesanggupannya.[8]
Jika suami melakukan perjalanan, hendaklah dia mengajak salah seorang diantara istrinya untuk menemaninya, dan lebih baik apabila dilakukan dengan undian. Dalam hal ini, para ulama juga berkata, giliran yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terkadang ada yang mendapat siang hari, terkadang juga ada yang mendapat giliran malam hari. Dalam hak giliran, juga ada hak hibah sebagaimana adanya hak hibah dalam hal harta benda.[9]
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa istri yang ikut serta menemaninya bepergian, maka hari-hari yang digunakan itu tidak dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lainnya, dan hari-hari yang digunakannya itu tidak menyebabkan dia kehilangan sekian kali masa giliran menurut lama dan pendeknya waktu perjalanan. Akan tetapi, segolongan Ulama yang lain berpendapat bahwa, hari-hari yang digunakan tadi dijumlahkan dan di ganti dengan hari-hari lain sehingga nantinya ia kehilangan sekian kali masa giliran, dan masa banyak.[10]
Pendapat pertama yang lebih baik karena sudah menjadi ijma’ sebagian besar ulama. Di samping itu, walaupun dia mendapatkan hari-hari menemani suaminya lebih banyak, ia mengalami penderitaan dan kesusahan semasa perjalanan yang cukup berat. Selain itu prinsip keadilan juga menolak hal ini. Sebab, kalau disamakan berarti menyimpang dari rasa adil. Itulah maksud dari hadits berikut, yang memperbolehkan istri yang mendapat giliran dari suaminya untuk tidak menggunakannya, sebab menjadi hak sepenuhnya dan ia boleh memberikan kesempatan bepergian kepada istri yang lain. Sahabat pernah berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اراد سفرا اقرع بين نسائه فأيتهن خرج سهمها خرج بها معه وكان يقسم بكل إمرأة منهن يومها غير أنّ سودة بنت زمعة وهبت يومها لعائشة.
Artinya: Rasulullah jika mau bepergian, beliau mengadakan undian diantara para   istrinya. Maka mana yang mendapat giliran, dialah yang akan keluar menemani beliau. Dan beliau menggilir istri-istrinya pada hari-hari yang ditentukannya, kecuali bagian Saudah bin Zama’ah diberikannya hari gilirannya kepada Aisyah.[11]

Dalam hal giliran tidur bersama, kalau suami bekerja di siang hari, hendaklah diadakan giliran di malam hari, maka gilirannya di siang hari, maka ia harus bermalam pula pada istri yang lain selama dua-tiga hari. Bila ia sedang berada dalam giliran seorang istri, maka ia tidak boleh memasuki istri yang lain, kecuali ada keperluan yang sangat penting. Misalnya istri sedang sakit keras atau sedang ada bahaya lainnya. Dalam keadaan demikian, ia boleh memasuki rumah istrinya itu walaupun ia sedang dalam giliran istri yang lain. Demikian juga bila di antara istri-istri itu sudah ada kerelaan dalam masalah ini.[12]
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Aisyah disebutkan:
عن عائشة رضى الله عنه قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم  لايفضّل بعضنا على بعض فى القسم من مكثه عندنا وكان قل يوم إلاّ وهو يطوف علينا جميعا فيدنو من كل إمرأة من غير مسيس حتى يبلغ الّتى هو يومها فيبيت عند ها.

Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata: Rasulullah Saw. tidak melebihkan sebagian kami diatas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali kepada kami, walaupun sedikit sekali  waktu bagi Rasulullah. Tetapi beliau tetap bergilir kepada kami. Beliau mendekati tiap-tiap istrinya dengan tidak mencampurinya hingga ia sampai kepada istrinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam di rumahnya.(HR. Abu Dawud dan Ahmad)[13]

Hadits lain juga menyebutkan:
عن أنس رضى الله عنه قال: كان النبى صلّى الله عليه وسلم يطوف على نساءه فى الّليلة الواحدة وله يومئذ تسع نسوة (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Anas r.a. berkata: Nabi Saw. Bergilir kepada istri-istrinya pada suatu malam, dan bagi beliau ketika itu ada sembilan orang istri. (HR. Bukhari dan Muslim)[14]

Seorang suami boleh masuk kepada istri yang bukan gilirannya di siang hari sekadar untuk meletakkan barang atau memberi nafkah dan tidak boleh masuk untuk berkasih mesra.
Sekurang-kurangnya, giliran perempuan itu satu malam, dan paling banyak tiga malam. Tidak diperbolehkannya melebihi tiga malam/hari agar tidak menyebabkan adanya penyerobotan diantara istri-istri yang lain. Karena gilirannya yang lebih dari tiga hari, berarti telah mengambil hak dari yang lain, yang berarti telah berbuat durhaka.[15]
2. Poligami Menurut Hukum Positif ( Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)
Pengertian poligami menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas tetapi pada intinya poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang. Masalah poligami merupakan masalah yang cukup kontroversial, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung adanya poligami berdasarkan pada kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra memandang poligami sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki.




Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat, dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus mampu berlaku adil. Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam bukunya wacana poligami di Indonesia bahwa:
Dicantumkan ketentuan  yang membolehkan adanya poligami dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan bukan dimaksudkan sebagai bentuk pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum laki-laki. Praktik dalam masyarakat tentang poligami sering menampakkan kesewenang-wenangan suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi bahwa poligami pasti diskriminatif, wujud penindasan kaum suami terhadap istri.[16]

Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Perkawinan tersebut sudah cukup baik dalam arti secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Selain itu, penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui dan tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dengan kata lain, poligami harus dilakukan sebagai upaya akhir jika semua upaya penyelesaian lain telah dicoba. Hal ini tampak dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang cukup rumit dan sulit apabila bagi suami  berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
Permasalahn poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami. Kasus- kasus poligami yang yang kebanyakan saat ini terjadi jika ditinjau dari perspektif keadilan sangat sulit sekali dimana walaupun suami tersebut mampu dalam segi materiilnya tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya. Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran-pemikiran lebih dalam lagi serta pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan tindakan. Akan tetapi permasalahnnya juga sering timbul dan  tidak sedikit yang menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah yang baru.
Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih seorang isrti [17]. Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ini dapat diambil sebuah argumen yaitu jika perkawinan poligami ini dipermudah maka setiap laki-laki yang sudah beristri maupun yang belum tentu akan beramai-ramai untuk melakukan poligami dan ini tentunya akan sangat merugikan pihak perempuan juga anak-anak yang dilahirkannya nanti dikemudian hari.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam pasal 3 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan  ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan Pengadilan yang berkompeten untuk itu. 
Untuk mendapatkan izin poligami dari Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975 juga harus mengindahkan ketentuan khusus yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

     1.      Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
     2.      Adanya kepastian bahwa suami mampu keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
     3.      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anak mereka.[18]
Perkawinan poligami di dalam masyarakat lebih sering kita lihat daripada perkawinan poliandri yaitu seorang isteri atau seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami. Bahkan masyarakat lebih dapat menerima terjadinya perkawinan poligami daripada perkawinan poliandri, sehingga dalam kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah dengan lebih dari seorang laki-laki, kalaupun ada itu hanya bersifat kasuistis saja.
Hikmah perkawinan poligami dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk, dan untuk menjamin kepastian hukum seorang anak. Karena sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu dapat  perlindungan dan kepastian hukum. Menurut hukum waris Islam seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih berbentuk janin dalam kandungan. Untuk larangan pelaksanaan perkawinan poliandri ini didalam Undang -Undang Perkawinan juga telah ditentukan didalam pasal 3 ayat 1 yang menentukan bahwa pada dasarnya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, larangan ini bersifat mutlak karena tidak ada alasan-alasan lain yang ditentukan untuk kawin dengan lebih dari seorang.




Untuk kasus poligami ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristeri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari Pengadilan Agama, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Agama dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974:
     1.      Istri tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang istri
     2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
     3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[19]
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu:
     1.      Adanya persetujuan dari istri
     2.      Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
     3.      Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.[20]
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri di sidang Pengadilan Agama.



[1] Sobari Sahrani, Fikih Munakahat, 361.
[2] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, 115.
[3] Al-Hafidz Bin Hajar Al- Asqalani, (Surabaya: Darul ‘Ilm, t.t), 221.
[4] Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya,143.
[5] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 363.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), 133.
[7] Al-Asqalani, Bulughul Maram, 221.
[8] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, 364.
[9] Syaikh Zainuddin Bin Abdul Aziz al- Malibari, Fathul Mu'in (Surabaya:Darul Ilm,t.t), 221.
[10] Ibid., 222.
[11] Al-asqalani, Bulughul Maram, 221.
[12] Syaikh Zainuddin, Fathul Mu’in, 222.
[13] Al-Asqalani, Bulughul Maram , 221.
[14] Ibid, 223.
[15] Syaikh Zainuddin, Fathul Mu'in, 223
[16] Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia ( Bandung: Mizan, 2005),40
[17]  Undang-Undang Perkawinan ,6
[18]Asro Sutro Atmojo & Wasit Alawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 84
[19] Undang-Undang Perkawinan, 6
[20] Ibid., 7




Baca tulisan menarik lainnya:

Pengertian dan Hukum Poligami

 Terima kasih, blog Banjir Embun telah dipercaya untuk digunakan sebagai referensi karya tulis oleh beberapa akademisi dan calon ilmuwan muda. Berikut puluhan BUKTI blog Banjir Embun mendapat kepercayaan masyarakat ilmiah (ilmuwan):



Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul: 



Pengertian dan Hukum Poligami

Oleh: Fahad Asadulloh 
    Foto: Fahad Asadulloh (sumber foto: facebook )
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)

(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di 
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)


            Kata poligami, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.[1]
            Sedangkan pengertian poligami menurut Kamus Bahasa Indonesia, adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.[2]
            Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune yang berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti lak-laki.[3]
            Jadi, kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Sebenarnya yang dimaksud poligami menurut masyarakat umum adalah poligini. 
            Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, dengan demikian Undang-undang No. 1 tahun 1974 menganut asas monogami.
            Namun demikian bukan berarti poligami sama sekali tidak diperbolehkan, dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa: “Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”[4]. Maksud dari pasal 3 di atas adalah apabila seorang pria ingin menikah lebih dari seorang (poligami) maka harus memperoleh izin dari Pengadilan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
            Permasalahan poligami sebenarnya juga sudah dijelaskan di dalam nash-nash baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Seperti halnya dalam undang-undang, Syaria’at Islam pun menghendaki adanya pernikahan yang monogami meskipun juga memperbolehkan adanya poligami. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3:
(ayat al Qur’an tidak bisa ditampilkan di blog ini)
Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, dan empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa'(4): 3).[5]

Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi , jika hidup dalam kehidupan keluarga poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara isteri beserta anaknya masing-masing. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati dan suka  mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya dibolehkan dalam keadaan dharurat. Misalnya isteri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investmen yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat-syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah dan giliran waktu tinggalnya.[6]

            Mengenai hukum poligami itu sendiri, Rasyid Ridha juga menetapkan bahwa hukum poligami berstatus mubah, sebab hukum Islam secara mutlak tidak mengharamkan dan tidak pula memberikan dispensasi (kelonggaran) mengingat watak laki-laki yang memiliki kemampuan tinggi dalam berbagai bidang (termasuk dalam perkawinan yang cenderung poligami) sehingga dalam melakukannya harus mempertimbangkan dahulu madharatnya.[7]



[1] Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam  ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 15.
[2] Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, t.t), 693.
[3] Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat  ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 352.
[4] Undang-Undang Perkawinan di Indonesia  ( Surabaya: Arkola,t.t), 56.
[5]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT.  Kumudasmoro Grafindo ,1994), 115.
[6]Lihat Masyfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam (Jakarta:PT. Gita Karya,1998), 12.
[7] Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran  (Semarang:Karya Toha Putra,t.t), 120.




Baca tulisan menarik lainnya:

SKRIPSI BAB III: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI...

SKRIPSI BAB III: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN




Baca tulisan menarik lainnya:

SKRIPSI BAB I: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2009-2010)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN




Baca tulisan menarik lainnya:

Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami

Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami(Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2009-2010)




Baca tulisan menarik lainnya:

SKRIPSI: UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MI NURUL HUDA NGLETIH PESANTREN KEDIRI


UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN




Baca tulisan menarik lainnya:

SKRIPSI BAB IV: UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MI NURUL HUDA NGLETIH PESANTREN KEDIRI


UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN




Baca tulisan menarik lainnya:

Upaya Pembentukan Akhlak Karimah




Upaya pembentukan akhlak karimah
Oleh: Muji Efendi




Baca tulisan menarik lainnya:

Pengertian Akhlak dan karakteristik Akhlak Karimah



Pengertian Akhlak dan karakteristik Akhlak Karimah




Baca tulisan menarik lainnya:

Skripsi BAB III: UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MI NURUL HUDA NGLETIH PESANTREN KEDIRI


UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN




Baca tulisan menarik lainnya:

SKRIPSI BAB I: UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN AKHLAKUL KARIMAH SISWA DI MI NURUL HUDA NGLETIH PESANTREN KEDIRI

UPAYA MADRASAH DALAM PEMBENTUKAN
AKHLAKUL KARIMAH SISWA




Baca tulisan menarik lainnya:

ṢAḤIḤ MUSLIM Biografi Imam Muslim, Metode dan Sistematika Serta Pandangan Dan Kritik Terhadap Ṣaḥiḥ Muslim




ṢAḤIḤ MUSLIM
Biografi Imam Muslim, Metode dan Sistematika
 Serta Pandangan Dan Kritik Terhadap Ṣaḥiḥ Muslim
Oleh: Mualimul Huda




Baca tulisan menarik lainnya:

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN




SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Mualimul Huda




Baca tulisan menarik lainnya:

Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid



Link terkait tulisan atau kajian tentang sistem pembelajarandi sini

Baca juga:

Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)


Pembaruan Pemikiran Islam pada Abad 21 Studi Tokoh Nurcholish Madjid


Oleh: Fuad Imron

(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri dan Kepala Sekolah SD Islam Al- Minhaj Wates Kabupaten Kediri)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu karakter Islam adalah sifatnya yang dinamis. Hal tersebut tampak dari keluasan ajaran-ajarannya yang dapat dipakai oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.  Secara historis, Islam pada mulanya  memang  turun di masyarakat Arab. Namun demikian pada dasarnya Islam bukanlah untuk masyarakat Arab saja, akan tetapi Islam turun untuk memberi pencerahan bagi seluruh alam hingga hari kiamat. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul permasalahan karena setting masyarakat selalu berbeda dari satu waktu ke waktu yng lain. Sedangkan Islam dituntut untuk dapat selalu up to date dengan setiap masyarakat yang ada. Dengan demikian diperlukan adanya reinterpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam agar dapat didialogkan dengan setiap masyarakat yang dihadapinya.
Di Indonesia, Islam kembali menemukan momentum untuk bangkit setelah Soeharto lengser dari kedudukannya. Para intelektual Islam menggunakan momen keterbukaan yang ada untuk mendirikan partai-partai politik, ormas, publikasi media, dan organisasi-organisasi payung untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami kemajuan yang lebih cepat daripada masa sebelumnya. Dinamisasi Islam yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari munculnya para intelektual muda yang mengenyam pendidikan barat. Sepulang dari barat, mereka berusaha menerjemahkan pemikirannya dalam alam Indonesia yang majemuk. Dengan tidak bermaksud mengesampingkan peranan para intelektual yang lain, dalam makalah ini akan dideskripsikan pemikiran Nurcholish  Madjid. Nurcholish  Madjid merupakan tokoh yang besar peranannya dalam mengembangkan pemikiran yang moderat di Indonesia. Pemikirannya menginspirasi munculnya para intelektual muda yang menunjukkan dinamisasi Islam di Indonesia.  



Nurcholish Madjid telah menjadi simbol kaum intelektual Muslim Indonesia. Amich Alhumami menyamakan peranannya seperti H. Agus Salim dan M. Natsir yang menjadi simbol kaum terpelajar pada masa awal kemerdekaan. Simbol itu sekarang melekat pada diri Madjid. Dalam konteks ini, posisi individualnya mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan kaum Muslim Indonesia. Tanpa bermaksud menyanjung dan dan melebih-lebihkan, dia dapat disebut sebagai sisi intelektual  Muslim Modernis par exellence.[1] Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas beberapa pemikiran yang digagas dan dikembangkan oleh Nurcholish Madjid.

PEMBAHASAN
 I.     Dinamisasi Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Fakta bahwa Islam bukanlah penyebab kemunduran umat muslim bukan berarti meniadakan perlunya reformasi pemahaman Islam dewasa ini. Penekanan Islam pada aspek keadilan, persaudaraan, dan toleransi serasa semakin melemah  di berbagai belahan masyarakat muslim, demikian halnya penekanan pada aspek pembangunan karakter. Reformasi pemahaman Islam bisa dilakukan melalui jalan dialog. Peran pemerintah dalam hal ini seharusnya adalah hanya terbatas pada penciptaan iklim yang kondusif bagi proses dialog. Hal ini akan menciptakan hubungan baik antara pemerintah dan ulama serta rakyat.[2] Sayangnya, wacana toleransi antar umat beragama yang dikawal secara rapi semasa kekuasaan Orde Baru ternyata tidak mengakar pada masyarakat, karena tampaknya pendekatan yang digunakan pada masa itu lebih bersifat politik. Jadi, toleransi dan kehidupan harmonis yang dikonstruksi pada masa  itu tidak mengakar dan menjadi kesadaran struktural tetapi lebih dilakukan sebagai keharusan karena ada kontrol dan tekanan dari alat-alat kekuasaan negara.[3]
Sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya memprihatinkan. Bahkan Indonesia dapat disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam mendialogkan Islam dan modernitas. Islam di Indonesia bersifat terbuka dan toleran, sehingga mampu mendialogkan doktrin agama dengan  modernitas. Keadaan tersebut berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah dan wilayah-wilayah lain yang mengalami kegagapan dalam berdialog dengan modernitas dan kemanusiaan,  meskipun pemikiran pembaharuan Islam telah terjadi lebih awal di wilayah tersebut. Di Indonesia, perubahan arah dari gelombang Islamisasi negara yang dimainkan oleh kekuatan Islam politik menjadi de-Islamisasi negara yang dipelopori oleh para tokoh Islam semacam Nurcholish  Madjid dan Abdurrahman Wahid yang telah berlangsung sejak masa Orde Baru. Perubahan tersebut belum ditemukan padanannya di wilayah lain, termasuk Timur Tengah.[4]
Meskipun tidak dapat dipungkiri adanya peningkatan kemunculan kelompok-kelompok radikal di Indonesia, namun secara keseluruhan basic landscap  Islam di Indonesia adalah moderat. Selain itu, gaung kampanye nilai-nilai Islam yang substantif seperti pembasmian korupsi dan pembelaan terhadap kaum miskin menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim di Indonesia tidak ragu dalam menerima dan menyerap nilai-nilai demokrasi  yang sudah sejak lama diperjuangkan  tidak hanya oleh para pendiri bangsa tapi juga organisasi Islam yang terus menggagas Islam yang kontekstual, yaitu yang mampu merespon secara positif persoalan masa kini.
Islam di Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Islam Timur Tengah. Sejak awal kedatangannya, Islam di Indonesia mengalami proses akulturasi dengan kepercayaan purba, pra Islam, dan sosio-kultural setempat. Sejak abad ke-17 para intelektual Muslim telah menanamkan benih-benih Islam progresif atau yang sekarang sering disebut Islam kontekstual (moderat). Hal yang juga tidak kalah penting adalah Islam di Indonesia tidak terbelenggu oleh romantisme kejayaan masa silam.[5]
Menurut Amin Rais, dinamisasi syiar Islam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, Sejak masa orde lama, Islam sebagai kekuatan politik mengalami kemandekan hingga runtuhnya Orde Baru. Kemandekan tersebut mendorong  umat Islam untuk menggerakkan kegiatan sosial, pendidikan, budaya, serta dakwah secara intensif. Kedua, watak Islam yang senantiasa dinamis tidak memungkinkan para pemeluknya bersikap statis, bahkan menyebabkannya demikian luwes dan terus hadir dalam segala cuaca politik. Ketiga, khusus di kampus, fenomena dakwah yang beberapa tahun terakhir semakin meningkat menunjukkan adanya kesadaran beragama di kalangan mahasiswa yang semakin mendalam. Keempat, adanya kesadaran dari dalam diri generasi muda, juga karena ekologi sosial, politik, dan budaya yang terus berubah seirama dengan proses pembangunan. Kelima, Generasi muda yang makin terpelajar menyadari peliknya memecahkan berbagai permasalahan nasional Indonesia di masa depan.[6]

II.      Tokoh Intelektual Islam di Indonesia di Awal Abad ke-21
Berbicara mengenai pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tidak lepas dari gagasan para  tokoh intelektual Islam, antara lain Nurcholish  Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, A. Syafi’i Ma’arif, dan lain sebagainya. Pemikiran yang mereka kembangkan banyak diikuti oleh para intelektual muda lain dan memberikan inspirasi bagi upaya penyebarluasan gagasan pembaruan pemikiran Islam. Misalnya di Jakarta, Muncul tokoh Dawam Raharjo yang memimpin LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), Masdar Farid Mas’udi, Ulil Absar Abdalla, dan para intelektual Paramadina. Di Yogyakarta kaum intelektual muda NU berhimpun dalam wadah LkiS. Muncul juga gerakan post-tradisionalisme Islam. Dinamisasi pemikiran di kedua kota tersebut secara cepat menyebar di perguruan tinggi-perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
  
           A.    Riwayat Hidup Nurcholish  Madjid
Nurcholish  Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939 dan meninggal tanggal 29 Agustus 2005. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat dan Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang, dan  kemudian di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Setelah itu  dia melanjutkan ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan IAIN Syarif Hidayatullah dan tamat pada tahun 1968. Tahun 1978-1984 dia melanjutka pendidikan doktoral di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyah.[7] Kapasitas keilmuannya di bidang pemikiran Islam menjadikannya sebagai salah satu tokoh penting dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Kemampuan intelektualnya yang tinggi menjadikannya dipercaya sebagai ketua umum HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1972.) Selain itu dia pernah menjabat sebagai Presiden PersatuanMahasiswa Islam Asia Tenggara.[8]

        B.     Pemikiran Nurcholish  Madjid  
Ide-ide Nurcholish Madjid mulai muncul semenjak ia berkecimpung di dunia kampus. Hingga akhirnya dia dianggap sebagai salah satu pencetus pembaruan pemikiran Islam. Ketokohannya secara tidak berlebihan dianggap mewakili figur pembaru pemikiran yang mampu menggagas Islam secara lebih brilian. Terbukti dengan banyaknya studi tentang pemikirannya dan peranannya dalam kebangkitan modernisme di Indonesia.[9] Nurcholish Madjid juga dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan pemikiran Islam neo-modernis di Indonesia. Pencetusnya adalah Fazlur Rahman, gurunya sewaktu di Chicago.[10] Gagasan neo-modernis Islam ini mendapat tempat di Indonesia, terutama di kalangan intelektual muda sejak awal tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, bahkan hingga memasuki abad ke-21 sekarang.[11]    
Mengenai pemikiran Nurcholish  Madjid, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dia berangkat dari keterbukaan sikap yang ditunjukkan oleh peradaban Islam di puncak kejayaannya sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan yang membuat Islam mampu menyerap yang terbaik, dari mana pun datangnya. Penyerapan tersebut membuat Islam sarat dengan nilai universal. Karenanya, Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri.[12]
Tampaknya corak pemikiran Madjid yang cenderung moderat sudah terarah sejak dia kecil. Hal itu terlihat dari latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan pesantren. Latar belakang pendidikannya di beberapa Pesantren baik di Jombang maupun di Gontor juga semakin mengukuhkan corak pemikirannya. Hal itu semakin dipertajam setelah dia berada di dunia kampus, baik ketika di IAIN maupun di Chicago. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa pemikiran Nurcholish Madjid yang membawa pengaruh besar pada rekonstruksi pemikiran Islam dan dinamisasi semangat keislaman di Indonesai.    

1.    Tentang Substansi
Nurcholish  Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali berdasarkan runtut dan rentang waktu sejarah kaum Muslim serta dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.[13]
Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain, sebagai salah satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam harus tampil produktif dan konstruktif terutama dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi kesepakatan luhur dan merupakan kerangka acuan bersama bangsa Indonesia.[14]
Dalam bidang politik, kaum substansialis berupaya menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. Bukan hanya dalam penampilan akan tetapi juga dalam format pemikirannya. Menurut Madjid, eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinsik, dalam iklim politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Proses Islamisasi seharusnya mengambil bentuk kulturalisasi, bukan politisasi. Dengan demikian gerakan-gerakan Islam sebaiknya menjadi gerakan budaya daripada menjadi gerakan politik.[15]
Pemikiran Madjid tersebut tampaknya terinspirasi dari pengalamannya berada di dunia barat dimana etika dan nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan dengan baik. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami” daripada umat Islam yang berada di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragaman Islam, maka nilai-nilai keislaman yang seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya mengarah pada kesalihan pribadi dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.

2.      Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak dapat dihadang, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).[16]
Gagasan integrasi keislaman dan keindonesiaan yang ditawarkan Madjid sejalan dengan konsep pribumisasi Islam-nya Abdurrahman Wahid.[17] Keduanya sebenarnya merupakan bentuk akulturasi Islam terhadap budaya setempat.[18] Dalam hal ini, Madjid menyatakan perlunya frame of reference (kerangka referensi) yang jelas mengenai keindonesiaan. Dia merasa optimis bahwa semangat nasionalitas adalah modal yang baik untuk mengarah pada terwujudnya konvergensi nasional, yakni suatu bentuk saling pengertian yang berakar dalam semangat untuk saling memberi dan menerima. Sikap untuk saling memberi dan menerima itu bermuara pada kemantapan masing-masing kelompok, golongan, maupun agama.[19]
Dengan adanya integrasi keislaman dan keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis Indonesia siap menghadapi dan menerima modernisasi. Modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal. Hal itu merupakan perintah Allah yang imperatif dan mendasar.  Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hāq. Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti  ilmiah, berarti pula rasional.[20]
3.    Penerimaan Terhadap Pancasila
Mengenai penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam Indonesia, Madjid mengapresiasi peran besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat diterima oleh umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana caranya untuk mengisi dan menjalankan Pancasila secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, maka terbuka lebar kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif untuk mengisi dan melaksanakannya.[21] Madjid mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai nota kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.[22]
Madjid membenarkan pernyataan Mohammad Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang nilai-nilainya kelak disebut Pancasila itu, yang me rumuskan bahwa sila Ketuhanan Yanag Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Begitu pula pendapat Hamka yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apapun dalam kehidupan manusia. Ketuhanan  atau tauhid itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia dan menjadi intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi.[23] Menurutnya, umat Islam tidak perlu menuntut adanya negara Islam, karena yang terpenting adalah substansinya, bukan bentuk formalnya. Dia lebih setuju terhadap konsep dan eksistensi negara nasional, dalam hal ini negara pancasila.[24]
Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara berfikirnya yang moderat. Pengalaman dari beberapa negara yang berusaha mendirikan negara Islam memberikan pelajaran bahwa konsep tersebut hanya akan mengecilkan dan mempersempit peranan Islam sendiri sebagai sebuah sistem nilai. Perdebatan mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah dianggap selesai pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Islam.


4.    Islam Yes, Partai Islam No!
Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan pendapat “Islam yes, partai Islam no!”. Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam yang ada gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan korupsi.[25] Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya yang terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.[26]
Sebagaimana telah diketahui, partai Islam yang bermunculan setelah Indonesia merdeka. Partai-partai tersebut bertarung pada pemilu tahun 1955 dan banyak yang mengalami kegagalan. Hingga akhirnya pada masa Suharto partai-partai tersebut difusikan dalam satu partai, yaitu PPP. Setelah terbukanya pintu reformasi, partai Islam bermunculan kembali, namun tetap kalah oleh partai nasionalis. Posisi yang lebih baik diterima oleh PKB dan PAN yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi partainya. Meskipun di satu sisi keduanya diuntungkan dengan adanya basis massa yang besar (NU dan Muhammadiyah), namun di sisi lain penggunaan ideologi Pancasila pada dua partai tersebut menunjukkan sikap terbuka keduanya dalam menyikapi keberagaman Indonesia.


5.    Sekularisasi bukan Sekularisme
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya,  yang dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal.[27] Oleh karena itu, sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan yang membebaskan, yang menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan dewasa ini. Relevan pula dengan fungsi mereka sebagai khalifah Allah di atas bumi.[28]
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi sifat kaum muslimin.  Mengenai banyaknya sikap kontra terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.[29]
Sekularisasi yang dimaksud di atas tampaknya mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana urusan dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara bebas dan kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk mampu berijtihad dalam mengatasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul.

6.    Peranan Umat Islam
Mengenai peranan yang harus dimainkan umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga hal, yaitu: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh masyarakat. Kedua, Mengembangkan pemahaman terhadap agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini harus dijadikan pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.[30]   
Madjid menegaskan pendiriannya bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka dan demokratis. Sehingga Pancasila harus dapat difahami secara benar agar tidak berubah menjadi rumusan-rumusan dogma yang mati dan kaku. Sikap yang tepat terhadap Pancasila akan menutup kesenjangan antara konsep keumatan dan kenegaraan, khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dengan hilangnya kesenjangan, maka dapat diharapkan pada diri umat Islam rasa ikut memiliki Indonesia sepenuhnya. Kondisi ini selanjutnya akan melandasi perkembangan hubungan antara Islam dengan Indonesia, yaitu bahwa keislaman adalah keindonesiaan dan keindonesiaan adalah sebagian besar keislaman.[31]
Keparalelan keislaman dengan keindonesiaan, menurut Madjid secara lebih lanjut mengisyaratkan pengakuan akan absahnya pandangan yang melihat perlunya membuat interpretasi - jika bukan adaptasi - ajaran-ajaran universal Islam untuk memenuhi tuntutan-tuntutan nyata Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia akan menjurus menjadi sebuah “negara santri.”[32] Ini tidak berarti Pancasila akan terhapus atau terganti, akan tetapi nilai-nilai Pancasila akan mengejawantah dalam bentuk inlai-nilai kesantrian yang kosmopolit dan nasional.[33]
Menurut Madjid, Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam bersifat universal yang terbebas dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain, Islam harus hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia terbungkus oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia menjadi bentuk dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam dapat muncul dalam berbagai warna dan corak.[34]
Dengan demikian, integrasi antara keislaman dan keindonesiaan akan dapat terwujud jika umat Islam mampu memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan karena  pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang masuk dengan damai dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di Indonesia, yang banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam pada dasarnya sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh sebelum kemerdekanaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang berkembang setelah jatuhnya Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam kehidupan masyarakat modern. 

7.    Nurcholish h Madjid dan Paramadina
Ide-ide pembaruan Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat organisasi Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina berhasil menarik para elit dan profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha, mahasiswa, dan pegawai negeri untuk mendalami Islam dan mengokohkan keimanannya, dan mengarahkan pandangan progresif tentang peranan agama di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa peranan Paramadina mirip dengan fungsi madrasah atau tradisi pesantren akhir abad ke-20. Paradigma neomodernisme tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Sebagaimana pernyataan Madjid sebagai pendirinya, paramadina adalah lembaga pendidikan yang secara penuh mempercayau bahwa nilai-nilai Islam universal dapat dibuat konkrit dalam konteks tradisi lokal Indonesia serta keislaman dan keindonesiaan. Yayasan Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang kreatif, konstruktif dan produktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif atau bahkan reaksioner.[35]
Paramadina mangakomodir banyak pengusaha santri dan para birokrat santri terutama yang ada di kota besar seperti Jakarta yang membutuhkan sejenis majlis taklim yang modern dan corak kehidupan Islam yang lebih intelektual.[36] Melalui Paramadina, Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya yang menjadi pendukung pemikirannya dari kalangan santri kota. Paramadina sebagai lembaga keagamaan dengan semangat keterbukaan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat yang mampu untuk mengatasi perbedaan orientasi engan menciptakan pemikiran dan network yang kuat bagi pemberdayaan masyarakat madani. Di paramadina pula dikembangkan pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat dipakai sebagai common platform bagi proses pemberdayaan itu.[37]
Menurut Madjid, program Paramadina merupakan “human investment” yang bersifat jangka panjang, sehingga harapan jangka pendek dapat diantisipasi. Apalagi jika harapan-harapan tersebut bersifat politik, maka akan dihindari. Dalam gerakan intelektual, dimensi waktu disadari berada dalam skala besar, karena itu bersifat prediksi. Prediksi dan harapan yang akan dicapai Paramadina adalah demokratisasi, yaitu demokratisasi dalam konteks keindonesiaan. Keindonesiaan inilah yang diharapkan akan terwujud di Indonesia. Dalam hal ini, Madjid membandingkan dengan Amerikanisme di Amerika. Sekalipun Amerika terdiri dari berbagai bangsa dan agama, basis karakter dan etika Amerika sebagian besar berakar dalam Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat Laut.[38]
Gagasan Madjid tersebut tampaknya mengarah kepada masa depan Indonesia yang dia harapkan dapat memiliki suatu karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dengan membandingkan kuatnya karakter kaum Protestan di Amerika, semestinya yang terjadi di Indonesia adalah kuatnya karakter Islam dalam kehidupan kebangsaan, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Selain itu, niali-nilai Islam sudah banyak yang menyatu dengan kultur Indonesia, terutama karena Islam masuk ke Indonesia secara damai. 

III.   Analisis Pemikiran Nurcholish  Madjid
Dari beberapa pemikiran Nurcholish Madjid tersebut di atas, terdapat keparalelan. Pemikiran tentang substansi Islam yang harus dikedepankan daripada formalitas dan simbol-simbol belaka mengarah pada penerapan Islam sebagai suatu sistem nilai. Sistem nilai ini kemudian harus diterapkan dengan mempertimbangkan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam hal ini memunculkan ide integrasi keislaman dan keindonesiaan. Integrasi yang diterapkan akhirnya mengarah kepada penerimaan Pancasila sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dapat menjadikan Islam lebih membumi. Penolakan Madjid terhadap partai Islam dimaksudkan agar Islam tidak terkebiri oleh pemeluknya sendiri. Penerapan substansi nilai Islam lebih baik daripada penggunaannya secara formal dalam bentuk ideologi negara maupun partai, mengingat Islam memiliki nilai-nilai yang bersifat universal.    
 Sekularisme yang digagas Madjid bukan dimaksudkan untuk menjauhkan umat dari ajaran agama, melainkan untuk mengarahkan mereka menuju keseimbangan antara kehidupan antara dunia dan akhirat. Umat Islam harus dapat memilah dengan benar mana urusan agama dan mana urusan dunia. Pendapat tersebut memiliki korelasi dengan pemikiran-pemikiran Madjid secara keseluruhan. Harapannya Umat Islam dapat lebih maju dan siap menjadi modern dengan tidak meninggalkan Islam dalam nuansa keindonesiaan.
Meskipun banyak yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid, terutama dari kalangan umat Islam yang berfikir moderat, namun demikian banyak pula yang menolak ide-ide tersebut, terutama dari kalangan fundamentalis. Kaum fundamentalis menganggap Madjid pro barat dan berusaha meggiring umat Islam menjadi seperti bangsa barat yang kafir. Secara umum, masyarakat yangmenerima pemikiran Madjid lebih banyak daripada yang menolak. Hal itu diindikasikan dengan semakin banyaknya kajian baik secara lisan dan tulisan mengenai pemikirannya dan para pemikir yang lain yang sejalan dengannya.  


PENUTUP
Kesimpulan
1.    Pasca turunnya Suharto umat Islam memperoleh momentum untuk meloncat lebih jauh ke depan setelah sebelumnya terkungkung oleh kediktatoran Orde Baru. Para intelektual Muslim menggugah kesadaran kaum muda melalui pemikiran-pemikirannya untuk menjadika Islam lebih berkembang secara dinamis.
2.    Nurcholish  Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks Indonesia, Madjid mengarahkan umat Islam untuk menerima Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Selain itu dia juga menawarkan ide tentang sekularisme.
3.    Untuk mengaplikasikan pemikirannya, Madjid mendirikan Paramadina.  Paramadina diharapkan menjadi investasi jangka panjang yang dapat mengarahkan umat Islam Indonesia menjadi masyarakat modern yang demokratis.


DAFTAR PUSTAKA

Chapra, M. Umer, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi, Terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010)
Hidayatullah Syarif,  Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Madjid,Nurcholish , Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998)
 ---------, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008)
 ---------,  Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010)
----------, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997)
Mujib, Ibnu & Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif  Masyarakat Dialog Membangun Fondasi Dialog Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Qodir, Abdul, Jejak langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Rakhmat, Jalaluddin, et.al.,  Prof. Dr. Nurcholish Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2010)
Rais, M. Amin, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994)   
Taufiq, Akhmad et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 151
Tsani, Iskandar, Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009)
Zubaidi, Islam dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)


[1]  Amich Alhumami, “Gerakan Modernisme Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid”, dalam: Jalaluddin Rakhmat, et.al.,  Prof. Dr. Nurcholish h Madjid Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2010), 387.
[2] M. Umer Chapra, Peradaban Muslim Penyebab Keruntuhan dan Perlunya Reformasi, Terj. Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: AMZAH, 2010), 249.
[3] Ibnu Mujib & Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif  Masyarakat Dialog Membangun Fondasi Dialog Agama-Agama Berbasis Teologi Humanis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 1.
[4]  Syarif Hidayatullah, Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 100.
[5]  Ibid., 101.
[6]  M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1994), 75.   
[7] Akhmad Taufiq, et.al., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 151., .Nurcholish  Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), V.,
[8]  Akhmad Taufiq, et.al., Sejarah Pemikiran,151-152.
[9] Ibid., 152.
[10] Fazlur Rahman adalah seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari Pakistan dan menetap di Amerika. Neo-modernis yang dicetuskannya adalah sebuah gerakan pemikiran Islam progresif yang muncul dari modernisme Islam namun mencakup juga aspek-aspek tradisionalisme Islam. Karenanya, gerakan ini mempunyai empat ciri pokok, yaitu: pertama, penafsiran al-Qur’an yang sistematis dan komprehensif; kedua, penggunaan metode hermeneutika dan kritik historis; ketiga, pembedakan secara jelas antara normativitas Islam dan historisitas Islam; dan, keempat, penggabungan unsur-unsur tradisionalisme dan modernisme Islam. Lihat: Hidayatullah, Islam “Isme-isme”, 107.   
[11] Zubaidi, Islam dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 175., Hidayatullah, Islam “Isme-isme”, 109.
[12] Abdurrahman Wahid menyebut Nurcholish h Madjid dan dua temannya saat di Universitas Chicago, yaitu Syafi’i Ma’arif dan Amin Rais, sebagai “Tiga Pendekar dari Chicago”. Namun sayangnya ketiganya tidak menampilkan citra dan pemikiran yang sama dan padu. Pemikiran ketiganya sering bertabrakan. Hal itu  berbeda  dengan para alumni Universitas McGill di Montreal yang hampir semuanya menjadi “agen pencerahan” yang bersifat terbuka pada hal-hal baru, termasuk gagasan kerukunan antar umat beragama. Lihat: Abdurrahman Wahid, “Tiga Pendekar dari Chicago”, dalam: Rakhmat, et.al.,  Prof. Dr. Nurcholish h Madjid Jejak Pemikiran, 18-19.
[13]  Iskandar Tsani, Transformasi Pemikiran Politik Islam di Indonesia, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 121.
[14]  Ibid, 123-124.
[15]  Abdul Qodir, Jejak langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 122.
[16]  Madjid, Islam, Kemodernan, 39.
[17] Menurut Abdurrahman Wahid, ide Pribumisasi Islam dimaksudkan sebagai usaha melakukan pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di Indonesia. Pada tingkatan yang lebih kontekstual, pribumisasi ini sebenarnya tidak lain adalah usaha kontekstualisasi ajaran Islam. Baginya, pribumisasi adalah upaya rekonsiliasi antara agama dan budaya. Pribumisasi Islam bertujuan membuat Islam sebagai nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bukan sesuatu yang asing bagi kehidupan umat. Hal tersebut tampaknya dimaksudkan sebagai upaya agar umat Islam  Indonesia menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas dan tidak perlu dipertentangkan, karena Indonesia sebagai suatu bangsa mempunyai pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal muasal sosial kelahiran dan keberadaan Islam dari tempat aslinya (Arab) Lihat: Qodir, Jejak Langkah,76.
[18]  Ibid., 89
[19]  Ibid., 86.
[20]  Madjid, Islam, Kemodernan, 182.
[21]  Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010), 77.
[22]  Qodir, Jejak langkah, 160.
[23]   Madjid, Islam, Kemodernan, 189.
[24]  Tsani, Transformasi Pemikiran, 133.
[25]  Madjid, Islam, Kemodernan, 205.
[26]  Tsani, Transformasi Pemikiran, 131.
[27] Ibid., 5.
[28] Nurcholish  Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, 215.
[29] Ibid., 207.
[30]  Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 76.
[31] Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), 57-58.
[32] Madjid menggunakan istilah santri sebagai bandingan kaum abangan. Karena istilah kesantrian  sesungguhnya merupakan ciri kultural penduduk Muslim Indonesia, kecuali orang-orang abangan. Lihat : Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 60.
[33]  Secara lebih jauh, Madjid mencontohkan paradigma salah satu negara sekuler demokratis, yaitu Amerika Serikat yang secara tidak resmi sering disindir sebagai negara WASP (White Anglo-Saxon Protestants). Yang terjadi di  Indonesia yang berpancasila, sedang tumbuh potensi untuk menjadi negara santri. Jadi para santri  adalah WASP-nya Indonesia. Lihat: Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya, 61.
[34]   Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, xix.
[35] Zubaidi, Islam dan Benturan, 174-175.
[36] Moeslim Abdurrahman, “Modernisme Islam dan Semangat Swalayanisme”, dalam: Rakhmat, et.al.,  Prof. Dr. Nurcholish  Madjid Jejak Pemikiran, 26.
[37]  Qodir, Jejak Langkah, 114
[38] Nurcholish  Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), 310.




Baca tulisan menarik lainnya: