SIKAP POLITIK DAN BUDAYA UMAT ISLAM TERHADAP MODERNITAS
Oleh: A. Rifqi Amin
PEMBAHASAN
- PENGANTAR
Ada sebuah
pernyataan muncul “Jika umat Islam hanya mementingkan
ilmu agama tanpa ilmu sains maka umat islam akan semakin ketinggalan.” Pernyataan tersebut bukanlah omong kosong saja,
umat islam harus kembali pada semangat mengembangakan ilmu pengetahuan umum.
Dan salah satu cara untuk mengembangkan ilmu pengetahuan adalah mengimbangi
arus modernisasi yang sudah tidak terbendung lagi. Arus modernisasi adalah
dampak dari produk dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mau tidak
mau dunia pada zaman sekarang ini dihadapkan pada produk moderniasi yang
mewabah. Modernisasi adalah
perwujudan dari perubahan, setiap materi/zat/benda pasti mengalami perubahan
bahkan pada tiap detiknya. Sehingga dapat dipastikan bahwa perubahan itu tidak
bisa dihentikan, kecuali perubahan tersebut hanya diperlambat saja. Hal yang
dapat membedakan perubahan benda satu dengan yang lain adalah berubah dengan
sangat cepat, berubah dengan cepat, berubah dengan lambat, dan sangat lambat.
Modernitas merupakan pandangan dan sikap hidup yang
bertumpu pada kehidupan kekinian dan banyak dipengaruhi oleh peradaban modern.
Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa modernisasi adalah kelanjutan wajar dari
proses sejarah masa silam untuk menuju peradaban yang lebih maju. Modernisasi
sesuatu proses yang pasti harus dijalankan suatu negara jika ingin tetap eksis
di bumi. Walaupun hampir bisa dipastikan
modernisai membawa dampak-dampak turunan yang berada dalam satu paket
dengannya. Terjadinya sekulerisasi hingga adanya perubahan tatanan sosial,
intelektual, dan pergeseran nilai-nilai kemasyarakatan. Dan salah satu alat
modernisasi yang menjadi jargon pada akhir abad 20 adalah ‘era globalisasi’,
yang mana informasi dan jarak tempuh satu negara dengan negara lain bisa ditempuh
dengan cepat, dari berbagai sumber, dan bahkan bisa diakses oleh semua usia.
Modernitas dan kekuasaan merupakan dua hal yang
saling mempengaruhi. Politik erat kaitannya dengan kekuasaan, dan penguasa
untuk melanggengkan pengaruhnya di mata rakyat melakukan pembaruan budaya dan
melaksanakan modernitas. Hal tersebut dilakukan tentunya tidak semata untuk
‘menyenangkan’ dan memintarkan rakyatnya, tapi juga untuk mendapat legitimasi
dari negara-negara lain sebagai negara yang kuat dan maju (tidak kuno). Ledakan
jumlah penduduk (bertambahnya angka kepadatan penduduk) adalah salah satu sebab
mengapa modernitas harus dipercepat, tentu untuk menanggulangi terjadinya salah
satu masyarakat terlantar secara sosial dan ekonomi.
Sehingga wajar jika negara dunia ketiga banyak
mengalami ketergantungan teknologi dan ekonomi dari negara-negara barat,
walaupun pada akhir-akhir ini barat telah mengalami krisis ekonomi yang salah
satunya disebabkan oleh gagalnya pembayaran utang oleh Yunani. Namun walau
dihadapkan situasi tersebut pada kenyataanya Barat masih tetap berdiri kokoh di
tempatnya. Posisi umat Islam yang menduduki sebagian besar negara dunia ketiga
hanya berperan sebagai konsumen bagi barat, membeli produk teknologi modern
barat dengan cara mengksploetasi sumber daya alam. Konsumen mode atau gaya berpakain, konsumen
gaya hidup, dan konsumen produk-produk makanan. Inilah bukti bahwa negara timur[1]
memiliki stigma lebih mengagungkan budaya dan produk barat dari pada milik
sendiri.
Lalu di manakah posisi umat Islam dalam kehidupan
modern ini? Dan bentuk umat Islam seperti apakah yang harus dilakukan dalam
bidang sosial-budaya, politik, ekonomi, hukum, dan pemikiran untuk menghadapai
modernisasi? Pada zaman sekarang ini, umat Islam suka atau tidak suka pada
kenyataannya dihadapkan modernitas Barat dengan kondisi stagnannya (terjadi
perubahan dan perkembangan secara sangat lambat) budaya, politik, ekonomi, dan
sosial umat Islam di negara-negara Islam. Negara-negara Islam[2]
gagal menghasilkan sebuah karya-karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan masa
kini, selain karya-karya intelektual yang berupa buku dan ide-ide semata. Era
modernitas adalah era pragmatisme, yang mana segala karya harus bisa bermanfaat
langsung dan bekerja dengan cepat saat digunakan. Hal inilah yang membuat ragu
bagi umat Islam untuk berkarya, karena hal yang pragmatisme akan melupakan
manusia dari tuhannya.
Setiap ada aksi pasti ada reaksi. Ada modernitas
barat ada reaksi dari umat Islam. Hadirnya modernitas telah membawa
perubahan-perubahan besar dalam pola kehidupan umat Islam, baik dalam bidang
sosial-budaya, politik dan kondisi ekonomi mereka. Sehingga upaya gerakan
pembaruan secara efektif dan efisien umat Islam dalam mengahadapi dunia
modernitas barat merupakan kebutuhan. Modernitas barat merupakan tamparan berat
bagi umat Islam, bukti ketertinggalan hampir di semua bidang dari barat. Dari
pemaparan argumen penulis di atas, maka penulis dapat menelurkan beberapa
rumusan masalah. Di antarnya adalah:
1.
Bagaiman aksi modernitas barat dalam bentuk positif
maupun negatif dengan bentuk-bentuk perkembangannya yang dihadapi umat Islam?
2.
Bagaimana seharusnya sikap umat Islam dalam
mengahadapi modernitas?
- KERANGKA TEORI
Peradaban
modern yang sedang berlangsung pada abad ini adalah milik Barat. Peradaban
barat terebuntuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui
masa Abad Pertengahan. Sehinggga
wajar jika istilah modern dikaitkan dengan istilah terjadinya proses "Eropa centris" atau "Barat centris" karena sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa
di Eropa bahkan di Eropa Barat. perubahan yang penting di Eropa Barat yang
dinamakan Renaisanse yang berarti kelahiran kembali. Yaitu kelahiran kembali hasil-hasil budaya Yunani dan Romawi. Dalam Abad Pertengahan hasil budaya Yunani dan Romawi telah diabaikan di Eropa. Gerakan yang bernama Humanisme kemudian diungkapkan kembali pemikiran yang telah dikembangkan di Yunani Lama, seperti pikiran Aristoteles, Plato, dll. Pengungkapan kembali pikiran Yunani dan Romawi itu dimungkinkan oleh persentuhan Eropa Barat
dengan budaya Islam yang dalam Abad Pertengahan justru sedang berkembang
dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol. Humanisme dan Renaissanse itulah yang menjadi sumber utama terbentuknya peradaban Barat modern.[3]
Tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan politik dan modernitas Islam di Mesir yang kemudian ‘pahamnya’ menduia adalah Jamaluddin al-Afgani, terutama tentang
gagasan Pan-Islamisme. Rumusan Pan-Islamisme dalam pengertian yang lebih luas adalah rasa solidaritas antara
seluruh mukmin. Rasa solidaritas ini sudah semenjak Rasulullah mengikat tali
iman dalam berhadapan dengan orang-orang jahiliyah yang berusaha membinasakan
mereka.[4]
1. Politik dan Budaya Umat Islam di
Tengah Modernitas
Istilah
Islam dapat diapakai untuk tiga arti yaitu Islam sebagai agama, Islam sebagai
negara, dan Islam sebagai kebudayaan. Berbeda dengan Yahudi dan Budaha kuno,
Islam lebih banyak menunjukkan pada agama dakwah yang agresif, seperti halnya Kristen.
Kemudian mempengaruhi kekuasaan dan terbentuklah negara. Islam menaklukan
daerah-daerah Utara bukanlah sebagai agama, tapi sebagi negara. Orang-orang
Arab telah membukakan jalan bagi dunia yang tidak terduga untuk menjadi
anggota-anggota dari suatu negara Ketuhanan. Jiwa arablah dan bukan ajaran
Muhammad yang menonjol pertama kali sebagai pemenang.[5]
Sedang menurut Bassam Tibi membedakan antara Islam dengan politik Islam dan untuk melakukannya ia
berpendapat bahwa Islam adalah sistem budaya dan peradaban tanpa dimensi
politik tertentu.[6] Sejarah
telah merekam bahwa kehadiran Islam di dunia telah membawa lima bidang
perubahan besar, diantarnya adalah bidang aqidah dan keagamaan, bidang falsafah
dan ilmu pengetahuan, bidang sastra dan seni, bidang hukum dan
perudang-udangan, dan bidang politik kenegaraan.[7]
Politik sekuler Barat didasarkan pada
gagasan bahwa kedaulatan adalah milik individu, memilih pemimpin dan perwakilan melalui konsensus politik
sampai pada saat pemilihan umum yang bebas dan teratur. Hal ini berbeda dengan Islam yang kedaulatan hanya milik Allah.[8] Politik,
kekuasaan, bernegara adalah sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan umat
manusia, sesuatu yang berhubungan erat kelanjutan hidup manusia itu sendiri.
Berpolitik bukan sebagai ajang pertentangan antara berbagai kelompok manusia,
tapi sebagai ajang kerjasama dan tolong menolong untuk kepentingan bersama.[9]
Namun pada kenyataannya hal tersebut hanyalah mimpi dan idealitas yang tidak
realistis.
2. Modernitas
Menurut Tony Pinkney modernitas adalah “konsep
yang bertentangan, mengambil makna dari hal-hal yang ditolaknya dan dari
hal-hal yang didukungnya.” Oleh karena itu istilah ini dapat muncul diberbagai
waktu, makna dan tempat yang berbeda, tergantung pada apa yang disangkal atau
didukung. Ia menyamakan antara modernitas dengan westerniasi.[10]
Namun pendapat lain mengatakan bahwa moderniasi lebih identik dengan istilah
rasionalisasi, yang berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama
yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru
yang rasional. Hal tersebut dilakukan untuk tercapainya tujuan dengan efisien
dan efektif. Dan westerniasilah yang menyebabkan sekulerisme. Mengenai sekularisasi[11]
Cak Nur membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisme[12]
menurutnya adalah, ‘is the name for an
ideology, a new closed world view function very much like a new religion’, sedangkan
sekularisasi adalah bentuk liberating
development. Pembebasan dari kungkungan pemikiran-pemikiran lama yang telah
menjadi tradisi dan dianggap sebagai kebenaran yang tak tergoyahkan. Sekularisme perlu ditentang sebab memutlakan
rasio untuk menemukan kebenaran terakhir (ultimate
truth) tetapi sekularisasi diharuskan karena Islam menuntut agar setiap
orang itu rasional tetapi tidak rasionalis.[13]
Menurut Nurcholis Madjid modern artinya adalah
baru, kebaruan yang merupakan bagian dari penyambung dari tahap masa lalu
menuju tahap berikutnya (masa depan).[14]
Dengan kata lain, modern merupakan sebuah proses menuju sesuatu, bukan sebuah
tujuan menjadi sesuatu. Sedangkan menurut pandangan Maryam Jameelah bahwa ajaran terpenting moderinisme penolakan
terhadap adanya Hari Akhir (hari Pembelasan). Penolakan ini karena manusia
modernis telah menyembah ilmu pengetahuan, lebih mengutamakan kesuksesan dunia,
dan mengabaikan moral serta menihilkan keyakinan bahwa kelak setelah mati
diperolehnya keadilan atas pertanggungjawaban manusia dari perilakunya di dunia
terhadap tuhan.[15]
Salah satu ciri modernitas adalah adanya
perubahan prinsip dalam dunia pemikiran atau dalam bidang kehidupan umum.[16]
Sebelum membahas lebih dalam tentang modernitas, penulis akan memaparkan
terlebih dahulu tentang pengertian dan asal usul kata modernitas. Menurut
arkoun, kata modernitas berasal dari bahasa latin modernus, yang dipakai dunia Kristen pada akhir abad 5 Masehi,
menunjukkan pergeseran dari masa Romawi menuju Masehi. Menurut Arnold Toynbee
sebagaimana dikutip oleh Suadi Putro memaparkan bahwa awal mula modernitas
terjadi menjelang akhir abad ke-15 Masehi, ketika ‘manusia’ tidak lagi
berterima kasih pada Tuhan, tapi berterima kasih pada diri sendiri atas
kungkungan Kristen Abad Pertengahan.[17]
Salah satu faktor pendorong umat manusia untuk
memasuki gelombang modernisasi pada abad 18 Masehi adalah revolusi sosial
politik di prancis, dan revolusi industri di Inggris.[18]
Terdapat mata rantai sejarah modernitas di masa silam, atau adanya
ketersambungan antara modernitas zaman sekarang dengan kemajuan peradaban di
masa lalu. Di antarnya adalah:
Masa Kuno (Yunani-Romawi) dan masa Abad Pertengahan
(yang bertepatan dengan zaman keemasan
Islam). Karena itu, kata Arkoun, modernitas itu tidak terputus dari kemajuan
yang pernah ada di lingkungan Yunani-Semit. Antara abad ke-7 dan ke-12 terdapat
kemajuan pesat di dunia Islam yang tidak lepas dari pengaruh Yunani melalui
gelombang Helenisme. Kemajuan tersebut kemudian “pindah” ke dunia Kristen pada
abad ke-12 hingga 15......[19]
Arkoun membedakan modernitas menjadi dua,
modernitas material dan modernitas intelektual atau kultural (karakter dan pola
pikir hidup). Modernitas intelektual atau kultural mencakup metode, alat
analisis, dan sikap karakter intelektual yang membari kemampuan dalam memahami
gejala realitas. Namun pada kenyataannya masyarkat dunia ketiga (dunia timur)
lebih banyak dipengaruhi oleh modernitas material, atau dengan kata lain
sebagai konsumen ‘produk’ modernitas. Karena masyarakat negara-negara
berkembang tersebut, menafsirkan tujuan modernitas untuk perjuangan mencapai
faraf hidup yang lebih tinggi dan makmur.[20]
Esensi modernisasi, menurut sebagian ahli,
adalah sejenis tatanan sosial modern atau yang sedang berada dalam proses
menjadi modern. Bagi ahli lain, esensi modernisasi ditemukan dalam kepribadian
individual. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik.
Modernisasi memang sangat luas artinya, mencakup proses memperoleh citra (images)
baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang kemungkinan
perkembangan. Batasan-batasan modernisasi seringkali hanya ditekankan pada
aspek-aspek perubahan di bidang teknologi dan ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana
dikemukakan oleh Manfred Halpern, revolusi modernisasi sebenarnya melibatkan
transformasi semua sistem yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat, baik sistem
politik, sosial, ekonomi, intelektual, keagamaan maupun psikologi.[21] Modernitas telah menghadirkan cara berfikir dan
hidup dalam ‘alam’ kontemporer dan memaksa untuk menerima setiap perubahan.
- PEMAPARAN MATERI
Medernitas di bidang
pemikiran sebenarnya telah ada gejala-gelajanya sejak awal abad 13. Adanya
gagasan-gagasan baru yang merombak tatanan lama merupakan salah satu pemicu munculnya
humanisme dan munculnya tokoh-tokoh Renaisans. Dimulainya abad modern yang
paling modern adalah akibat dari terjadinya revolusi industri. Beberapa negara
di Eropa yang terlibat dalam revolusi indsutri tumbuh menjadi masyarakat yang
maju dan lebih kompleks.[22]
Pada abad 18 Eropa mengalami
transformasi baru akibat dari adanya ‘pencerahan’, masyarkat Eropa lebih
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan menjunjung tinggi akal
manusia. hadirnya teknologi baru turunan dari Revolosi Industri yang menggejala di sebagian besar
Eropa. Hal inilah yang menjadi titik balik dalam sejarah, yang mana Eropa mulai mendapatkan kekuasaan dan
pengaruh di dunia. Pada akhir abad ke-18 tumbuh kesenjangan antara
keterampilan teknis dari beberapa negara Eropa barat dan utara denga masyarakat di seluruh dunia yang lebih luas.[23]
1.
Islam dan Modernitas
Menurut pandangan Nasution umat dari suatu agama
tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi lama
yang berlaku. Hal inilah yang melegitimasikan bahwa agama menentang perubahan
dan menghambat kemajuan suatu masyarakat. [24]
Namun pada kenyataanya Islam sebagai sebuah agama menjunjung tinggi
perkembangan ilmu pengetahuan, bagaimana mungkin ilmu pengetahuan bisa
berkembang jika tidak ada perubahan, uji coba-uji coba hal baru dan
inovasi-inovasi baru.
Pendapat Nasution tersebut di atas meiliki beberapa
alasan mengapa Islam dianggap sebagai penghambat proses modernitas bagi hidup
umatnya antara lain:
a.
Islam adalah agama dogmatis yang mengacu pada doktrin-doktrin
sehingga bisa menimbulkan statis.
b. Agama Islam
tidak hanya mengurus masalah akhirat dan ketuhanan saja, tetapi juga ‘ikut
campur’ dalam mengurus tatanan kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi
umatnya.[25]
Menurut al Afghani Islam adalah agama yang paling dekat dengan pengetahuan dan pembelajaran
dan tidak ada kontradiksi antara (modern) pengetahuan dan prinsip-prinsip dasar
Islam. Dan dia juga
berpendapat bahwa Eropa telah
dimodernisasi karena mereka tidak lagi benar-benar Kristen, dan Muslim
sebaliknya, lemah karena mereka tidak benar-benar Muslim.[26] Atau dapat penulis padankan dengan
pernyataan bahwa umat islam mundur karena meninggalkan nilai-nilai al-qur’an
dan barat maju karena meninggalkan injil walaupun simbol-keagamaan tetap meraka
gunakan.
Realitas sekarang banyak orang yang menggunakan
produk modernitas seperti hp, laptop, dan produk teknologi modern lain namun
menolak sikap dan moralitas kaum modern. Di sisi lain ada juga pihak yang tidak
menggunakan produk modern (dianggap kolot dan tradisioal) namun memiliki
pemikiran yang modern. Karakteristik tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tapi modernitas, cara berpikir
dan hidup dalam dunia kontemporer dan menerima perubahan, sebagai bagian dari
proses politik dan budaya dengan mengintegrasikan ide-ide baru ke dalam
masyarakat, mungkin tidak selalu hadir. Satu mungkin menggunakan teknologi
modern dan sistem komunikasi modern, tetapi tetap mempertahankan pola pikir
masa lalu yang berorientasi tertutup dan menolak ide-ide baru modernitas
seperti demokrasi atau pluralisme. Hal
sebaliknya mungkin benar, satu mungkin tidak memiliki fasilitas modern dan
hidup secara tradisional tetapi mengadopsi sikap modernitas.[27]
2.
Dampak Modernitas
Modernisasi masuk
ke kehidupan masyarakat melalui berbagai media, terutama media elektronik
seperti internet. Karena dengan fasilitas ini semua orang dapat dengan
bebas mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Pengetahuan dan
kesadaran seseorang sangat menentukan sikapnya untuk menyaring informasi yang
didapat. Apakah nantinya berdampak positif atau negatif terhadap dirinya,
lingkungan, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik
sebagai dasar untuk menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas
terhadap budaya barat
yang masuk ke dalam masyarakat islam,
budaya tersebut dapat saja masuk pada masyarakat yang labil terhadap perubahan
terutama remaja dan terjadilah penurunan etika dan moral pada masyarakat Islam.[28]
Modernisasi dan
globalisasi dapat memperngaruhi sikap masyarakat dalam bentuk positif maupun
negatif. Diantaranya
adalah penerimaan secara terbuka
(open minded); lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap
kolot dan Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif
kepekaan (antisipatif) dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi. Selain itu juga modernitas dapat
menyebabakan masyarakat akan lebih tertutup
dan was-was (apatis), masyarakat yang telah merasa nyaman dengan
kondisi kehidupan masyarakat yang ada, acuh tah
acuh, masyarakat awam yang kurang memahami arti
strategis modernisasi dan globalisasi, kurang
selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi, dan dengan
menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter
Modernitas sebagai sebuah proses baik secara sengaja
atau tidak sengaja telah berakibat positif sekaligus negatif yang kadang kala
datang bersamaan. Di antara dampak modernitas adalah sebagai berikut:
a)
Dampak Positif:
1)
Perubahan tata nilai dan sikap, yang pada mulanya
tradisional, irasional berubah menjadi modern dan rasional.
2)
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
masyarakat menjadi lebih udah dalam beraktivitas sehingga bisa mendorong
berfikir dinamis.
3)
Taraf hidup yang lebih baik, pabrik-pabrik dibangun
berimplikasi pada terbukanya lapangan kerja.
b)
Dampak
Negatif:
1)
Pola hidup konsumtif, perkembangan industri
manufaktur telah menyediakan kebutuhan masyarakat secara melimpah. Dengan
begitu masyarakat lebih cenderung untuk berganti model yang terbaru.
2)
Sikap individualistik, menihilkan jati diri manusia
sebagai mahkluk sosial, karena sudah meras tidak lagi membutuhkan orang lain.
Dengan tekhnologi sudah cukup untuk membantu hidup.
3)
Gaya hidup kebarat-baratan, tidak semua budaya barat
itu cocok dan baik untuk diterapkan di timur, dan
Selain itu menurut pendapat penulis salah satu
dampak positif dari adanya modernitas adalah adanya kesadaran masyarkat untuk
menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, adanya urbanisasi manusia dan
budaya, serta adanya kesadaran untuk cinta pada ilmu pengetahuan. Manusia yang
secara fitrah merupakan makhluk spiritual menjadi makhluk material, akibat
adanya Renaisans, yaitu kerinduan akan nilai-nilai budaya leluhur dari Yunani.
Menyebabkan manusia dengan kepercayaan diri tinggi mampu mengekspoloitasi
potensi manusia melibihi batas-batas fitrahya. Manusia mengganggap dirinya
unggul, terlebih setelah ditemukan beberapa teknologi modern oleh karya otak
manusia. Dengan teknologi manusia menjadikan alam sebagi objek untuk
dimanfaatkan sedemikian rupa dalam upaya kesejahteraan manusia.[30]
Terjadinya problem kesenjangan antara komunitas kaya dengan yang miskin. Hal
ini sangat wajar, karena modernitas memiliki kendaraan sebagai alat yaitu
kapitalisme.[31]
Masalah-masalah modern terwujud dalam bentuk yang
tidak sama antara negara-negara Islam satu dengan yang lainnya. Rangkaian
evolusi kebudayaan yang berbeda sejak abad 18 Masehi telah membawa beberapa
negara mulsim pada titik yang sangat berbeda satu dengan yang lain.[32]
1.
Terjadinya saling ketergantungan diberbagai dunia
secara besar-besaran
2.
Terjadinya kehilangan nilai tradisional dan terpecah
belahnya masyarakat.
4.
Semakin berkembangnya budaya materialistik-ateistik yang mencabut
akar spiritual dari kehidupan manusia, hingga peradaban mereka kehilangan
equlibrium yang sangat mencemaskan.[34]
5.
Terjadinya peruban tatanan demografi,
sistem stratifikasi, pemerintahan, pendidikan, sistem keluarga, dan nilai,
sikap serta kepribadian.[35]
6.
Modernitas dianggap sebagai ancaman bagi sebagian
umat manusia, sehingga wajar jika terjadi konflik pertentangan.
7.
Terjadinya neokolonialisme.
Selain itu dampak modernitas menurut Fazlur Rahman adalah sebagai berikut:
1.
Dalam bidang intelektual:
terjadinya permasalahan dengan mempertentangkan antara akal dengan agama, yaitu
upaya mencari kesesuaian antara akal dengan agama. Sehingga tidaklah heran jika
kemudian islam diklaim oleh barat sebagai agama yang menentang akal.
2.
Terjadinya rekontruksi politik tidak mungkin tanpa pembaruan sosial dan modernisasi
ekonomi. Dan moderniasi sosial ekonomi tidak dapat dilaksanakan tanpa perundang-udangan baru yang juga
bergantung pada otoritas politik, maka persoalan pembaruan sosial dan hukum
tidak lepas dari masalah-masalah politik.[36]
Pada awal
berdirinya agama Islam telah mengindikasikan bahwa
Islam adalah agama yang rasional dan mendorong untuk berpikir rasional. Itu
sebabnya peradaban Islam di masa lampau melahirkan ilmu pengetahuan matematika dan fisika
yang kemudian juga diambil oleh dunia Barat. Namun sekalipun demikian juga
kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa di banyak lingkungan telah terjadi kehidupan
peradaban Islam yang diliputi oleh tradisionalisme yang kuat. Mungkin karena itu pula belum
ada bangsa yang menganut agama Islam yang berhasil menciptakan peradaban yang dapat
mengimbangi paradaban Barat, sejak peradaban Islam di masa lampau surut. Jadi tantangan
pertama adalah tradisionalisme dalam pelaksanaan ajaran agama.[37]
Adanya sikap fanatik adalah hasil atau akibat dari pandangan yang
sempit dan picik. Agama Islam menganjurkan para penganutnya untuk tidak berpikiran sempit dan picik, malahan mengajarkan untuk berpandangan luas. Jadi Islam tidak membenarkan sikap fanatik. Namun dalam kenyataan kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai sikap kefanatikan dalam lingkungan penganut Islam. Mereka tidak dapat membedakan antara ketaatan dan fanatisme, oleh karena mereka berpandangan sempit. Sikap
fanatik itu juga mengganggu modernitas, oleh karena akan
membatasi daya gerak umat islam itu sendiri.[38]
sempit dan picik. Agama Islam menganjurkan para penganutnya untuk tidak berpikiran sempit dan picik, malahan mengajarkan untuk berpandangan luas. Jadi Islam tidak membenarkan sikap fanatik. Namun dalam kenyataan kita tidak dapat menutup mata terhadap berbagai sikap kefanatikan dalam lingkungan penganut Islam. Mereka tidak dapat membedakan antara ketaatan dan fanatisme, oleh karena mereka berpandangan sempit. Sikap
fanatik itu juga mengganggu modernitas, oleh karena akan
membatasi daya gerak umat islam itu sendiri.[38]
Reaksi umat islam terhadap datangnya modernitas
berbeda satu dengan yang lain. Sebagian menentang tapi tetap menggunakan produk
modern, karena hanya menentang nilai negatifnya saja dan sebagian yang lain mendukung
adanya modernitas dengan menerima apa adanya secara utuh. Jika kita
teliti lebih cermat secara global, dalam kaitannya dengan sikap yang
dimunculkan untuk menghadapi modernisasi, di kalangan umat Islam Indonesia terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang
dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif,
radikal-puritan (fundamentalis), reformis-modernis, dan sekuler-liberal.[39]
Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh
umat islam menurut Fazlur Rahman dalam menghadapi modernitas adalah sebagai berikut:
1.
Universalitas kritik terhadap
diri sendiri, kesadaran akan kemosrotan masyarakat muslim
2.
Pembersihan terhadap tahayul
dan hal-hal yang mengahalangi modernitas
3.
Pembaruan sufisme
4.
Peningkatan standar-standar
moral[40]
D. ANALISA KRITIS
Menjadi modern pun menurut Nurcholish Madjid tetap harus progresif dan
dinamis. Kemodernan itu pun sifatnya
relatif. Bagi Nurcholish Madjid yang
modern mutlak adalah yang benar secara mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Modernitas sendiri masih dalam proses, proses penemuan kebenaran relatif menuju
ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak.[41]
Sehingga logikanya adalah seperti berikut ini:
Seharusnya pula seorang Muslim adalah seorang
yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran insani
sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga menjadi reaksioner, menentang segala
perubahan nilai-nilai (kemanusiaan).[42]
Masih
menurut Nur Cholis Madjid, iat tidak sepakat jika mulai akhir abad 18 hingga sekarang
ini disebut sebagai zaman modern. Ia
lebih menyukai zaman sekarang ini dengan sebuatn zaman teknik, karena
munculnya zaman ‘kebaruan’ tersebut adanya pengaruh dari revolusi Industri
dengan adanya teknologi baru untuk mendorong umat manusia memasuki zaman
sekarang ini.[43]
Modernitas merupakan sebuah kebenaran baru pada zaman ini yang dilahirkan atau dimiliki oleh
bangsa barat. Umat Islam semestinya mau untuk menerima kenyataan dari kebenaran
sekaligus kesalahan dari modernitas. Tidak hanya mengkritik kesalahannya saja. Menurut
Nurkholish Madjid
modernitas tidaklah menyebebakan sekulerisme, karena modernisasi adalah
rasionaliasi yang ditopang oleh moral dan berpijak padan prinsip kemimana pada
Tuhan. Dan westrinasilah yang menyebabkan adanya sekulerisme.[44]
Mengenai
politik, Bassam Tibi menganalisis tentang gerakan-gerakan keagamaan yang ada
selama ini. Ia berpendapat bahwa gerakan-gerakan keagamaan baik secara langsung
maupun tidak langsung merupakan bagian dari gerakan politik, yaitu sebagai
bentuk kegembiraan luar biasa untuk berjalan benar karena keinginan kuat untuk
masuk surga.[45]
Menurut sebagian pandangan masyarakat, bahwa suatu hal yang bersifat tradisional
adalah terbelakang dan selain negara barat. Di sisi lain modern adalah kemajuan
dan hanya milik negara barat. Pendapat ini ditegaskan dengan pernyataan bahwa
semakin masyarakat terbelakang yang tradisional (negara timur) terbaratkan maka
akan semakin baik.[46]
Logika ini menyebabkan masyarakat timur semakin terpendam dalam infioritas
(menganggap dirinya lebih rendah).
Negara-negara
Islam pada zaman sekarang ini dihadapkan pada berbagai masalah sosial baru,
masalah ini diakibatkan oleh modernitas yang dicanangkan sejak dua abad yang
lalu. Oleh karena itu dalam mengimbangi modernitas masyarkat Islam dihadapan
pada beberapa hal berikut ini:
1.
Membuka pintu ijtihad.
2.
Hukum amputasi tangan bagi pencuri.
3.
Suku bunga bank konvesional.
4.
Isu Hak Asasi Manusia.
Berbeda hal
dengan Kuntowijoyo, ia berpendapat tentang adanya modernitas sebagai berikut:
Di balik kemajuanilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan
suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah
berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun
peradaban yang maju untuk dirinyas sendiri; tap pada saat yang lain, kita juga
melihat bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil-hasil ciptaanya
sendiri itu.[48]
Modernitas ini pada hakikatnya searah dengan ajaran
Al-Quran, dan merupakan pelaksanaan dari perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha
Esa. Dasar-dasar dari Al-Quran tentang
modernisasi menurut Nurcholish Madjid sebagai berikut:
1. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar) bukan bâthil (palsu)
(QS Al-Nahl [16]:3, Shâd [38]:27).
2. Dia mengaturnya dengan peraturan Ilahi (Sunatullah)
yang menguasai dan pasti (QS Al-A`râf [7]:54, Al-Furqân [25]:2).
3. Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan
(mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis (QS Al-Anbiyâ [21]:7, Al-Mulk
[67]:3).
4. Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang
ada dalam ciptaan-Nya (QS Yûnus [10]:101).
5. Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia,
kesejahteraan hidup dan kebahagiannya, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi,
hanya golongan manusia yang berpikir atau rasional yang akan mengerti dan
kemudian memanfaatkan karunia itu (QS Al-Jâtsiyah [45]:13).
6. Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal-pikiran (rasio) itu, Allah
melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama
berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara
berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (QS Al-Baqarah [2]:170, Al-Zukhruf
[43]:22-25).[49]
BIBLIOGRAFI
“al-Qur’an dan Tantangan Modernitas”, dalam http://ardianumam.web.ugm.ac.id/?p=248, diakses tanggal 5 April 2012 pada
pukul 19.45.
“Dampak Modernisasi dan
Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012.
Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.
“Islam And Modernity,”
dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity, diaskses
05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.
“Islam antara Budaya
dan Politik,” dalam http://www.ijtihad.org/tibi.htm,
diakses diakses 05 April 2012 Pukul: 19.41 WIB.
“Islam dan Permasalahan
Modernitas,” dalam http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=296&catid=45,
diakses 05 April 2012 Pukul: 19.30 WIB.
Bruce I. Watson, “Islam dan Tantangan di Dunia
Modern,” dalam http://www.iium.edu.my/deed/articles/challenge.html, diakses 05 April 2012. Pada pukul
19.20 WIB.
Cooper, John
dkk. “Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid
Abu Zayd”, dalam Islam and Modernity:
Muslim Intellectuals Respond, ed. Sayed Mahdi et.al. Erlangga, 2002.
Hodgson, Marshall. “Warisan Islam dalam Kesadaran
Modern,” terj. Mochtar Pabottinggi dalam Islam:
Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim. Jakarta: Yayasan Obor,
1986.
Jameelah,
Maryam. Islam dan Moderenisme. Surabaya:
Usaha Nasional, tanpa tahun.
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Kusuma, Afandi. “Dampak Positif dan
Dampak Negatif Globlalisasi dan Modernisasi,” dalam http://afand.abatasa.com/post/detail/2761/dampak-positif-dan-dampak-negatif--globalisasi-dan-modernisasi, 21 Mei 2009. Diakses
19 Juni 2012 pada pukul 13.14 WIB.
Lily
Zakiyah Munir , “Islam,
Modernitas, dan Keadilan untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc,
diakses 05 April 2012.
Madjid,
Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.
Nasution,
Harun. Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
________. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta:
Paramadina, 2008.
Pinkney, Tony. “Modernty,” Kamus
Lengkap Pemikiran Sosial Modern, ed. William Outhwaite. Jakarta: Kencana,
2008.
Putro, Suadi. Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas.
Jakarta: Paramadina, 1998.
Saefuddin Ahmad M., Desekulariasi Pemikiran: Landasan
Islamisasi. Bandung: Mizan, 1998.
Sulistiyo, Hermawan. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi. Jakarta: Pensil-324, 2004.
Suryohadiprojo, Sayidiman. “Makna Modernitas dan Tantangnya
terhadap Iman,” dalam http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada
05 Desember 2007.
Syafaq, Hammis.
“Masyarakta Islam dan Tantangan Moderisasi,” dalam http://pesantren-iainsa.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false.html, diaskses 05 April 2012. Pada pukul
19.29 WIB.
Tibi, Bassam. Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur
Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terj. Yudian W.
Asmin, et.al. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Watt, William
Montogomery. Fundamentalis dan Modernitas
dalam Islam, terj. Kurnia Sastraparja& Badri Khaeruman. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Zainal Abidin Ahmad,
Zainal. Ilmu Politik Islam III: Sejarah
Islam dan Umatnya sampai Sekarang. Jakarta: Bulang Bintang,tanpa tahun.
[1]Negara timur, bukanlah negara yang
secara geografis terletak di wilayah timur. Negara Jepang, Cina, India, dan
Australia walaupun secara geografis terletak di timur, namun pada kenyataanya
mereka lebih dekat pada (peradaban) barat yang memiliki mentalitas dan etos
kerja tinggi, tanggung jawab, gemar berkarya (tidak hanya karya buku), dan
bertindak (rasional) ilmiah.
[2]Negara Islam adalah negara yang mayoritas jumlah penduduknya
adalah umat Islam, walaupun secara tatanan politik, hukum, dan konstitusinya
tidak berasaskan Islam. Negara-negara tersebut semuanya hampir terletak di
timur (negara dunia ke tiga) yang memiliki suhu hangat. Seperti Indonesia,
Malaysia, Brunei, negara-negara Timur Tengah dan negara-negara di bagian Afrika
Utara.
[3]Sayidiman
Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada 05
Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
[5]Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam III: Sejarah Islam dan
Umatnya sampai Sekarang (Jakarta: Bulang Bintang,tanpa tahun), 70.
[6]“Islam antara Budaya
dan Politik,” dalam http://www.ijtihad.org/tibi.htm, diakses 05
April 2012 Pukul: 19.41 WIB.
[7]Ahmad, Ilmu Politik, 74.
[8]Bruce I. Watson, “Islam dan Tantangan di Dunia
Modern,” dalam http://www.iium.edu.my/deed/articles/challenge.html, diakses 05 April 2012. Pada pukul
19.20 WIB.
[9]Hermawan Sulistiyo, Pemikiran Politik Islam:
Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi (Jakarta: Pensil-324, 2004), 81.
[10]Tony Pinkney, “Modernty,” Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern,
ed. William Outhwaite (Jakarta: Kencana, 2008), 528.
[11]Menurut
Talcott Parson dan Robert N. Bellah yang dikuti Cak Nur, dia mendefinisikan
sekularisasi sebagai bentuk pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada
tempatnya, pembebasan dari belenggu takhayul dari kehidupannya. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), 299. Sekularisasi merupakan pengakuan wewenang ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), 244. Intinya
sekularisasi ialah: ‘pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini, dengan
mengerahkan kecerdasan atau rasio’. Lihat Nurcholish Madjid, Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), 261.
Untuk itu, dalam Islam menurut Cak Nur tidak ada pemisahan antara iman dan ilmu
sekaligus antara yang ukhrawi dan duniawi.
[12]Sekularisme
adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah
duniawi. Singkatnya sekularisme adalah
paham tidak ber-Tuhan dalam kehidupan duniawi manusia lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), 190.
[13]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung:
Mizan, 2008), 180-229.
[14]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2008), 447.
[15]Maryam Jameelah, Islam dan Moderenisme (Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun), 40.
[16]Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina,
1998), 47.
[17]Putro, Mohammed Arkoun, 43.
[18]Ibid., 44.
[19]Ibid., 43.
[20]Putro, Mohammed Arkoun, 48.
[21]Hammis Syafaq,
“Masyarakta Islam dan Tantangan Moderisasi,” dalam http://pesantren-iainsa.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false.html, diaskses 05 April
2012. Pada pukul 19.29 WIB.
[22]Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, terj. Yudian W. Asmin, et.al (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994), 113.
[23] “Islam And
Modernity,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity,
diaskses 05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.
[24]Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 167.
[25]Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 157.
[26]Lily Zakiyah Munir , “Islam, Modernitas, dan Keadilan
untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc,
diakses 05 April 2012 pada pukul 19.34.
[27]Lily Zakiyah Munir , “Islam, Modernitas, dan Keadilan
untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc,
diakses 05 April 2012 pada pukul 19.34.
[28]“Dampak Modernisasi dan Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012.
Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.
[29]Afandi Kusuma, “Dampak Positif dan Dampak Negatif
Globlalisasi dan Modernisasi,” dalam http://afand.abatasa.com/post/detail/2761/dampak-positif-dan-dampak-negatif--globalisasi-dan-modernisasi, 21 Mei 2009. Diakses 19 Juni 2012 pada pukul 13.14 WIB.
[30]Ahmad M. Saefuddin, Desekulariasi Pemikiran: Landasan Islamisasi
(Bandung: Mizan, 1998), 158.
[31]Madjid, Islam Doktrin, 453.
[32]Marshall Hodgson, “Warisan Islam dalam
Kesadaran Modern,” terj. Mochtar Pabottinggi dalam Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim,(Jakarta:
Yayasan Obor, 1986), 9.
[33]Ibid., 10.
[34]“al-Qur’an dan
Tantangan Modernitas”, dalam http://ardianumam.web.ugm.ac.id/?p=248, diakset tanggal 5
April 2012 pada pukul 19.45.
[35]Hammis Syafaq, “Masyarakta Islam dan
Tantangan Moderisasi,” dalam http://pesantren-iainsa.blogspot.com/2009/02/normal-0-false-false-false.html, diaskses tanggal 5 April 2012. Pada
pukul 19.29 WIB.
[36]Fazlur Rahman, Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), 360.
[37]Sayidiman Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan
Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada
05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
[38]Ibid,.
[39]Sayidiman Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan
Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada
05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
[40]Rahman, Islam, 339.
[41]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, 183.
[42]Ibid., 184.
[43]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, 448.
[44]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, 201.
[45]Tibi, Krisis Peradaban Islam, 109.
[46]John Cooper dkk, “Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid
Abu Zayd”, dalam Islam and Modernity:
Muslim Intellectuals Respond, ed. Sayed Mahdi et.al. (Erlangga, 2002),
xiii.
[47]William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj.
Kurnia Sastraparja& Badri Khaeruman (Bandung:
Pustaka Setia, 2003), 134-140.
[48]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), 112-113.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "SIKAP POLITIK DAN BUDAYA UMAT ISLAM TERHADAP MODERNITAS"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*