Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Makalah: Empirisme

MAKALAH FILSAFAT ILMU: EMPIRISME
Oleh: David Fajar
(Seorang Wirausahawan dan Mahasiswa S2 Program Pascasarjana STAIN Kediri)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ada orang yang berkata, bahwa orang harus berfilsafat, untuk mengetahui apa yang disebut filsafat itu. Mungkin ini benar, hanya kesulitannya ialah: bagaimana ia tahu, bahwa ia berfilsafat? Mungkin ia mengira sudah berfilsafat dan mengira tahu pula apa filsafat itu, akan tetapi sebenarnya tidak berfilsafat, jadi kelirulah ia dan dengan sendirinya salah pula sangkanya tentang filsafat itu.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Empirisme (Francius Bacon, Thomas Hobbes. John lecke David Hume).



Filsafat pada zaman modern lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan yang dikembangkan Rene Descartes ini dikenal dengan nama rasionalosme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume. Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme.[1]


B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang, pemakalah mengajukan permaslahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan empirisme beserta konstruksinya?
2.      Bagaimanakah pemikiran David Home tentang empirisme?
3.      Bagaimanakah telaah kritis kita atas pemikiran filsafat empirisme?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Filsafat Empirisme
Dalam ilmu pengetahuan yang paling berguna, pasti dan benar itu deperoleh orang melalui inderanya. Empirislah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar pendapat di atas itu disebut empirisme..
  1. Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman.
Di antara pemahaman tersebut antara lain:
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman.[2] Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.[3]
Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar adalah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisme yang benar adalah anak panah bergerak sebab secara empiris dapat dibutktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut anda menghadang anak panah itu perut anda akan tembus, benda yang tembus sesuatu haruslah benda yang bergerak.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.[4] Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.
Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.
  1. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
a.       Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b.      Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c.       Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d.      Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e.       Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f.       Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.[5]
  1. Beberapa Jenis Empirisme
1)      Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2)      Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut:
a)      Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b)      Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
c)      Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.[6]
3)      Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.[7]





Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
  1. Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke (1632-1704) Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776).[8]
Pada pembahasan ini akan kita fokuskan pada pemikiran Hume yang dianggap merupakan pemikiran puncak dari aliran empirisme.
  1. Pemikiran David Hume (1711-1776)
Biografi David Hume.
Hume seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di Perancis. Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses, kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776.
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.
Manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).
Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai berikut:
“Setelah saya pikirkan secara teliti ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang sederhana (simple) dan persepsi yang ruwet (complex). Seluruh kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.”[9]
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk menolak mukjizat, yaitu:
1)      Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
2)       Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
3)      Kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya. Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh takhayul (the more we believe in science the less we are likely to be deceived by superstition).
4)      Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat.
5)      Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.
Apa relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu? Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja. Paham seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti. Empirisme mempersiapkan nihilisme.
  1.  Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Meskipun aliran filsafat empirisme memiliki beberapa keunggulan bahkan memberikan andil atas beberapa pemikiran selanjutnya, kelemahan aliran ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan,[10] yaitu:
1)      Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.
2)      Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3)      Obyek yang menipu, conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.
4)      Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan bahwa benda terdiri atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman inderawi seperti hal-hal yang immaterial.
Kritik Hume terhadap agama tampaknya tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang teologia. Di antara kritikan Hume yang tidak relevan itu ada tiga, yakni:
Pertama, Hume cenderung mempertentangkan dua bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan antropromorpisme. Dalam mistisisme, Tuhan berada dalam konsepsi positif tetapi tidak sempurna. Tuhan adalah sempurna, abadi dan wajib ada. Dunia di lain pihak tidak sempruna, terbatas dan mungkin ada. Sesuatu yang sempurna hanya dapat dijelaskan lewat pendekatan dipolar, bukan monopolar sebagaimana yang dikemukakan Hume.
Kesempurnaan Tuhan dapat digambarkan dari ketidaksempurnaan dunia. Seandainya dunia tidak ada atau ada tetapi sempurna, maka kesempurnaan Tuhan akan sulit diidentifikasi. Kritikan Hume hanya terbatas pada aspek empiris saja, yakni Tuhan yang tak terbatas berada dalam dunia yang terbatas. Contoh lain memperkuat argumen ini adalah kebaikan hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan.





Kedua, Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian sekarang bahkan meramalkan sesuatu yang akan datang. Akal juga mampu memberikan ide-ide umum tentang fakta-fakta yang beragam. Contohnya mobil, sepeda dan pesawat diabstraksikan oleh akal menjadi alat transportasi.
Ketiga, Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris. Realitas alam menjadi sempit dan kecil serta mutlak dan tidak pernah berubah. Padahal realitas sangat luas dan di luar alam empiris masih tedapat wujud lain.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di dalam era filsafat modern terdapat beberapa aliran pemikiran, di antaranya: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
Aliran Emperisme adalah salah satu aliran dalam filosof yang menekankan peranan pengalaman dalam memeroleh pengetahuan, dan mengecilkan akal. Aliran emperisme berpendapat bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewan indera (empiri) dan empirilah satu-satutnya sumber pengetahuan aliran Emperis, bahwa pada dasarnya budi dan empiri saling berkaitan.
Peletak dasar empiris pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa filsuf lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan lainnya.Meskipun aliran empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang empiris.
Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi immateri.



DAFTAR PUSTAKA

Donny Gahral,  Adian,  Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, (Jakarta: Teraju,  2002).
Tafsir Ahmad, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).
Muslih Mohammad , Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasarparadigma Dan Kerangka Teori ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004).
http://ferryroen.wordpress.com/2011/09/23/teori-filsafat-empirisme/ di akses pada tanggal 04 Oktober 20011 pukul 13.09 WIB
http://masdiloreng.wordpress.com/2009/03/22/empiriseme/ diakses pada tanggal 04 Oktober 2011, pukul 13.03
http://zianmartadinata.blogspot.com/2010/10/filsafatrasionalismeempirismekritisme.html diakses pada tanggal 04 Oktober 2011 pukul 13.12 WIB


[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasarparadigma Dan Kerangka Teori ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal 53.
[2] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hal 52.
[4] http://zian-martadinata.blogspot.com/2010/10/filsafat-rasionalismeempirismekritisme.html diakses pada tanggal 04 Oktober 2011 pukul 13.12 WIB

[5] http://masdiloreng.wordpress.com/2009/03/22/empiriseme/ diakses pada tanggal 04 Oktober 2011, pukul 13.03
[6]http://ferryroen.wordpress.com/2011/09/23/teori-filsafat-empirisme/ di akses pada tanggal 04 Oktober 20011pukul 13.09 WIB
[7] Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, (Jakarta: Teraju,  2002).
[8] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hal 52.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm 31.

[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, hlm 34.





Baca tulisan menarik lainnya: