SCHIZOPHRENIA SEBAGAI KULTUS[1]
Ditulis ulang oleh: A. Rifqi Amin
Hakikat
ajaran yang kita kenal sebagai Kristianisme adalah anti-jasmani, memusuhi
daging sebagai pemberian tuhan. Di dalamnya wadat merupakan suatu cita-cita
menyempurnakan diri. Paulus yang meletakkan arah pemikiran Kristen dan
menentukan arah pemikiran Kristen memberi teori dan praktis perwadatan.
Adalah
pembawaan insani bahwa sesuatu yang alamiah, tetapi ditekan akan memukul balik
berupa pantulan yang keras. Sikap yang menganggap seks sebagai dosa turuana
karena kelengahan Adam terhadap godaan Eva dan kelemahan keduanya terhadap
bujukan iblis, memantul berupa kejangakan alias pengumbaran seks. Seks tak
disadari sebagai suatu kodrat insani, melainkan suatu dosa yang bersumber pada
iblis. Melakukan suatu
perbuatan yang disadari sebagai suatu dosa pasti menimbulkan kemunafikan. Hubungan suami istri dirasakan sebagai suatu ambivalensi.
Lalu
lahirlah dualisme jasmani dan rohani, awam dan rahib, duniawi dan ukhrawi
(akhirat), Negara dan gereja, dan seterusnya. Calvinisme melahirkan dua macam
ukuran akhlak. Antaran keshihan di gereja dan kecurangan yang dipaksakan oleh
praktik perdagangan terdapat suatu antipoda. Ilmu berontak terhadap pengekangan
dan pengebirian oleh gereja. Lahirlah kontradiksi antagonistic antara ilmu dan
gereja. Lalu kaum awam berontak terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum
klerikal. Pemisihan Negara dan gereja diproklamirkan oleh revolusi perancis
pada tahun 1889.
Seluruh
kebudayaan barat yang berlandaskan paduan filsafat sekulerisme materialistic
Yunani-Romawi dan kristianisme yang membelakangi dunia mempunyai watak
dualistic. Tubuh wanita dianggap sumber dosa, tapi dieksploitasikan dalam
promosi barang mulai dari rokok sampai mobil. Orang dituntut supaya alim, tapi
dirangsang dengan gambar wanita telanjang atau 7 per 8 telanjang, alcohol, obat
bius dan obat perangsang seks supaya menerjuni gelimangan dosa.
Teknologi tidak diabdikan kepada manusia, melainkan
sebaliknya. Sampai-sampai produktivitas dan efisiensi kerja pun
mengakibatkan penghematan tenaga manusia dan timbulnya pengangguran masal.
Overproduksi, pengangguran massal dansemakin miskinnya penduduk melahirkan
kesulitan pemasaran. Dualisme sebaliknya dari dipecahkan cenderung makin
menggila.
Untuk memenuhi hajat hidupnya manusia melepaskan
ukuran-ukuran kejujuran yang dahulu dijunjung tinggi. Sebagian para ibu rumah
tangga menjadi wanita panggilan tanpa gugatan hati nurani lagi, karena jabatan
itu menjadi jalan keluar yang mudah bagi kesulitan ekonomi. Keperawanan
bukanlah suatu yang suci lagi. Profanasi rasionalitas dan logisitas
menggantikan sentimen-sentimen tentang kesucian dan kehormatan.
Produksi industri bukan mengabdi keperluan, melainkan
sebaliknya keperluan wajib diciptakan melalui sugessti massal berupa promosi
yang menerapkan psikologi modern. Menciptakan tuntutan pasar bagi barang-barang
yang objektif tak diperlukan adalah suatu pencapaian yang harus dibayar tinggi.
Kosmetik yang membuat kulit mengeriput dan makin peot dipromosikan
denganmemakai sarana wanita-wanita yang dipercantik dengan operasi plastik.
Demikianlah konsomerisme membuai kaum menengah para calon pembeli di dalam
ilusi sebuah dunia yang hampa. Kebahagiaan sia-sia dicari di tengah kehampaan
itu.
Dengan pola konsumsi tinggi itu pastilah penghasilan
kebanyakan orang tak sesuai lagi dengan pengeluaran lalu timbul jurang
(discrepancy) antara penghasilan dan pengeluaran. Di dalam masyarakat barat
yang teratur dengan publik yang tahu apa hak-haknya, pungli sukar, korupsi tak
lolos dari pembalasan hukum. (lain dengan di negeri-negeri sedang berkembang di
mana kekuasaan merupakan karcis prodeo untuk melakukan korupsi).
Demikianlah manusia di dalam liberalisme persaingan
bebas hanya dilihat sebagai objek belaka untuk dijejali konsumsi barang dan
jasa. Tiap manusia adalah calon pembeli yang potensial yang dapat dijadikan
pembeli aktual melalui pengibulan massal televisi, radio, film promosi, iklan,
poster, dan papan reklame. Batu batere’ dan accu televisi dan radio untuk
pengibulan massal dibayar oleh mereka yang akan dikibuli. Inilah bentuk
perampokan oleh perusahaan-perusahaan asing/multi nasional yang aman
terhadap tuntutan hukum.
Tragedi negeri-negeri bekas jajahan adalah bahwa lama
setelah penjajahan politik berakhir, rasa rendah diri masih tertanam
dalam-dalam. Impian hidup para pemimpin’ adalah bagaimanamenempati gedung-gedung
besar yang dahulu didiami si penjajah. Bagaiman meniru bagaikan monyet gaya
hidup mereka atau bahkan melebihinya.jika kaum penjajah dahulu sesuai dengan
iklim, memakai katun atau lenin, maka bekas terjajah justru memakai wol tebal.
Jika dahulu pembesar-pembesar penjajah naik trem atau sepeda, para penggantinya
sekarang naik kendaraan pribadi. Identifikasi atau penyatu-samaan kayak monyek
ini dijuluki mempertahankan martabat atau menjaga gengsi. Padahal dengan
demikian golongan benalu yang dahulu terdiri dari minoritas rasial asing
sekarang ini diubah menjadi mayoritas rasial pribumi (yang adalah
minoritas sosial), tapi bilanganya jauh lebih besar. Di Hindia-Belanda dahulu benalu
itu terdiri dari 200.000 orang belanda totok ditambah 100.000 inlanders
berkedudukan tinggi. Rakyat indonesia sekaran ini terpaksa memberi makan
kepada lebih sejuta orang benalu. Perbandingan beban sosial ekonomi yang mesti
ditanggung oleh bangsa indonesia setelah tercapainya kemerdekaan tercapainya
kemerdekaan menjadi lima kali lipat.
Gaya hidup bakda-kolonial ini melahirkan tekanan darah
tinggi, kontras sosial yang makin tajam, kepribadian yang terbelah (split
personality), bahkan jiwa yang terbelah alias schzophhrenia. Pasien-pasien
rumah masyarakat sakit ini mewakili dr. Jekyll dan mr. Hyde dari novelet
R. L. Stevenson (1850-1894), yang masing-masing mewakili kebajikan dan
kedurjanaan. Dan alangkah sayang bahwa kita sedang terus mempromosikan, bahkan
mengkultuskan schizophrenia itu kepada bangsa kita tercinta.
[1] Panji
masyarakat, no. 312 20 Januari 1981 tahun XXII