KEBERADAAN HADITH DI TENGAH PERAN GANDA
NABI MUHAMMAD
(Sebagai Nabi dan Rasul,
sebagai Kepala Negara, sebagai Hakim, dan sebagai Manusia Biasa)
PENDAHULUAN
Hadith
dipahami sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad
SAW, baik berupa perilaku, persetujuan beliau atau mendiamkan (taqrir) terhadap
tindakan sahabat, atau deskripsi tentang sifat dan karakter beliau.
Berdasarkan dari pemahaman tersebut dapat ditarik garis besar bahwa hadith
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasul baik berupa perkataan, perbuatan,
sifat dan perjalanan hidup Rasul baik saat nabi tidur sampai terbangun kembali
atau dengan kata lain 24 jam penuh yang ada pada diri Rasul adalah hadith. Oleh
karena itu wajar jika produk hadith yang ditelurkan ulama dari sahabat-sahabat
rasul sangat banyak.
Dari berbagai produk hadith sangat dimungkinkan hadith
yang diperoleh dari diri Rasul oleh sahabat adalah hadith yang tidak berkaitan
dengan tasyri'. Karena pada saat keluarnya produk hadith tersebut, pada saat
itu Rasul berperan sebagai Kepala Negara, Hakim, dan Manusia
Biasa, atau dengan kata lain tidak berperan atau
mendapat tugas dari Allah SWT untuk
memberikan pencerahan pada umat Islam yang menjelaskan tentang kandungan
al-Qur'an, berbagai macam pelaksanaan ibadah, dan penetapan hukum tentang halal
dan haramnya sesuatu.
Oleh karena itu, sangatlah wajar jika ada
permasalahan-permasalahan diantarnya, yang pertama apakah hadith Rasul
yang keluar saat Rasul berperan sebagai manusia biasa atau kepala Negara bisa
dijadikan hujjah? Yang kedua bagaimana pemahaman para ulama menghadapi
hadith yang keluar saat Rasul berperan sebagai manusia biasa?
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan Nabi Muhammad
SAW
Sebelum
membahas tentang profil nabi Muhammad dalam posisi hadith yang dihadapkan pada
segala seuatu yang bersumber (dinisbatkan) dari beliau, maka alangkah lebih
baik jika penulis membahas tentang pengertian hadith secara mendasar terlebih
dahulu agar terjadi penguatan untuk menelusuri presepsi yang sama tentang
hadith. Pengertian hadith menurut ulama (ahli) hadith adalah “segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun sifatnya.”
Maka dapat penulis pahami bahwa segala aktivitas nabi baik beliau sedang tidur,
bangun, bermimpi dan di manapun kondisi serta tempat beliau adalah hadith.
Sahabat bisa menjadi sumber pertama hadith yang didapat dari aktivitas Nabi
dengan cara bertanya pada nabi tentang sesuatu, mendapat persetujuan dari nabi,
bermusyawarh dengan nabi, mendapat cerita dari Nabi, dan melihat serta memahami
aktivitas nabi. Di sisi lain yang berbeda, ulama usul mendefinisikan hadith
dengan “segala perbuatan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum shara’.”
Dengan kata lain menurut penulis, hadith sebagai sumber hukum islam yang
diperoleh dari aktivitas nabi bukanlah segala apa yang menjadi aktivitas nabi,
tetapi hanya pada kondisi dan keadaan tertentu aktivitas yang berasal dari nabi
bisa dikatakan sebagai hadith, terutama aktivitas beliu yang berkenaan dengan
syariat Islam. Dari perbedaan dua pendapat di atas,
Nabi Muhammad
adalah manusia yang diutus Allah untuk menyampaikan sebuah risalah (Kitab Suci
al-Quran) sebagai undang-undang (syariat) bagi seluruh umat, dan sosok manusia
utusan Allah yang harus ditaati seruan-seruannya (baik yang terdapat dalam
al-Quran maupun selain al-Quran, al-sunnah).
Pribadi Nabi
Muhammad sebagai pengemban amanah Risalah memiliki berbagai dimensi yang
merupakan perpaduan antara sisi insani dan sisi illahiah. Nabi
muhammad diyakini sebagai manusia yang paling sempurna diantara manusia-manusia
lainnya, walaupun beliau pernah melakukan kesalahan atau permasalahan akan
tetapi beliu akan mendapat teguran dan masukan dari Allah SWT melalui wahyu
yang diberikan dari-Nya. Nabi juga diyakini pantas dijadikan suri tauladan
bagi umat, sebagaimana firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut :"Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".[5]
Sedangakan di sisi lain, nabi telah memberikan isyarat tentang kemungkinan
beliau melakukan kesalahan dalam bidang keduniaan sebagaimana sabdanya, yang
terjemahannya:
"Jika aku
memerintahkan kalian sesuatu dari perkara agama, maka ambilah. Jika aku memerintahkan
sesuatu dari pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku juga manusia
biasa".
Terjemahan hadith
di atas adalah sebagai argumentasi, bahwa
dimungkinkan hadith yang diperoleh sahabat dari nabi Muhammad tidak
hanya keluar/ada saat nabi Muhammad berkedudukan sebagai Rasul, akan tetapi
saat menjadi manusia biasapun dimungkinkan bisa.
Sebuah kenyataan
sejarah yang tidak mungkin tertolak adalah bahwa selain sebagai rasul, Nabi
Muhammad juga seorang manusia. Dengak kata lain, Nabi Muhammad mempunyai sisi
manusiawi seperti manusia lainnya. Beliau bisa saja melakukan salah dan mempunyai
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki manusia lainnya. Pengetahuan tentang
sisi manusiawi Rasul dapat memberi pemahaman yang lebih utuh tentang hadith-hadith
beliau. Dengan memahaminya secara mendalam dan utuh, akan diketahui sejauh mana
ruang lingkup sabda beliau, apakah berlaku umum lintas sejarah, ataukah hanya
berlaku khusus di masa beliau saja. Tanpa tahu mana hadith yang keluar dari
kapaitas beliau sebagai rasul dan kapasitas beliau sebagai manusia biasa, maka
dapat menjerumuskan dalam kesimpulan yang keliru, kaku dan sempit karena ketidakmampuan
membedakan mana dimensi ilahiyah dan mana dimensi historis-antropologis.[7]
Hadith yang
merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan
penerapannya perlu dikaitkan dengan peran nabi tatkala hadith tersebut keluar.
Dengan kata lain, hadith nabi sebagi sumber utama agama Islam di samping
al-Qur’an mengandung ajaran ilahiah dan insaniah yang bersifat
universal, temporal, dan lokal.[8]
Maka
dapat penulis simpulkan nabi Muhammad selain sebagai Rasul (utusan pembawa
wahyu) juga mempunyai kedudukan sebagai manusia biasa. Hal ini secara filosofi
bermanfaat untuk memunculkan nilai-nilai
insaniah
nabi, agar wahyu yang beliau sampaikan pada manusia dapat diterima oleh
manusia-manusia lain. Jika sosok nabi terlalu sempurna tanpa adanya nilai-nilai
insaniah, tidaklah tidak mungkin nabi akan menggeser posisi ketuhanan Allah SWT
di mata manusia karena kesempurnaan Nabi (nihil dari nilai-nilai
insaniah).
Terlepas
dari beberapa konteks tersebut kedudukan nabi sebagai Rasul tetap berbeda
dengan manusia lain, beliau Rasul (utusan) kekasih Allah SWT sedangkan manusia
sesudah beliau adalah bukan Rasul (tidak mendapat wahyu).
- Peran Ganda Nabi Muhammad
Berdasarkan
petunjuk kitab suci al-Qur’an dalam Surat al-Kahfi: 110, yang terjemahnya:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat di atas
menerangkan bahwa nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasullah, juga
dinyatakan sebagai manusia biasa. Sedangkan secara historis, nabi Muhammad
berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rasul, kepala Negara,
pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan pribadi.[11]
Nabi Muhammad
merupakan sosok atau pribadi yang komplit. Sebagai rasul, nabi Muhammad menjadi
uswah atau teladan bagi umatnya dalam segala hal. Nabi Muhammad juga
berperan sebagai hakim (pemutus masalah) dalam berbagai masalah hukum yang
terjadi pada waktu itu. Disamping itu pula, nabi Muhammad juga menjadi kepala Negara (di
Madinah) yang menjadi cermin dan cikal bakal tumbuhnya sistem masyarakat yang
baik, adil dan multikulturalis. Dengan banyaknya peran yang dilakukan nabi
Muhammad yaitu selain sebagai rasul juga berperan sebagai manusia biasa dalam
kehidupannya sehari-hari.[12]
Maka dapat disimpulkan bahwa hadith nabi yang keluar bisa dimungkinkan
karena berasal murni dari diri nabi bukan berdasarkan dari petunjuk Allah SWT
secara khusus seperti halnya wahyu dan pada hadith Qudsi.
1. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul
Sering kali secara tekstual, hadith
nabi memberi pernyataan bersifat universal, tatkala menyampaikan (hadith
tersebut keluar) nabi Muhammad berada dalam fungsi beliau sebagai Rasullah, salah satu alasannya adalah
informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan pada pertimbangan
rasio, tetapi semata-mata didasarkan dari petunjuk Allas SWT. Salah satu contoh
hadith nabi yang keluar tatkala posisi nabi sebagai rasul adalah terjemahannya
sebagai berikut: “aku dikarunia (oleh Allah) lima macam hal, yang
(kelimanya) belum pernah dikaruniakan kepada selain aku. Aku ditolong (dalam
peperangan, sehingga) perasaan musuh menjadi gentar (menghadapiku) dalam masa
peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat
salat dan suci bagiku dan karenanya, siapa saja dari umatku yang berada dalam
waktu sholat, maka hendaklah dia sholat (di bummi mana saja dia berada);
dihalalkan bagiku harta rampasan perang, sedang sebelumku harta tersebut
diharamkan; aku dikaruniai kemampuan memberi syafa’ah; dan nabi (sebelumku)
dibangkit untuk kaum tertentu, sedangkan aku dibangkit untuk manusia secara
umum (seluruhnya).”
Rasulullah
adalah orang yang diutus pada manusia untuk menunjukkan jalan yang benar.
Beliau memberitakan wahyu yang tidak mungkin diketahui oleh manusia yang
lain. Dalam kapasitas beliau sebagai rasul, seluruh sabda beliau dapat menjadi
harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Beliau harus diikuti dan dipatuhi oleh
seluruh muslim. Sebagaimana dalam firman Allah dalam al Qur’an tentang wajibnya
taat kepada rasul yang tentunya telah banyak diketahui bersama
2. Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara
Berbagai hadith
dalam kapasitas beliau sebagai seorang pemimpin banyak jumlahnya, di antaranya:
Sesungguhnya
rasulullah saw, ketika hendak mengutus Mu’adh ke Yaman, bermusyawarah pada para
sahabatnya. Di antara mereka ada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair
dan Asad bin Hudlair. Abu Bakar berkata: ‘seandainya anda tidak mengajak kami
bermusyawarah, maka kami tidak akan bicara. Nabi menjawab: ‘sesungguhnya aku,
dalam sesuatu yang tidak diwahyukan padaku, sama saja dengan kalian’. Mu’adh
berkata: ‘kemudian orang-orang mau berpendapat. Tiap orang berkata sesuai
pendapatnya masing-masing’.
Hadith di atas
menunjukkan bahwa nabi, sebagai kepala negara, tidak serta merta bisa mengambil
keputusan politik kenegaraan tanpa ada masukan dari para sahabat, atau dengan
kata lain nabi dapat mengambil keputusan masih membutuhkan pendapat orang lain
untuk memecahkan masalah kenegaraan. Manusia biasa tidak akan bisa menjangku
untuk memahami kenapa Allah tidak memberikan wahyu (petunjuk) kepada nabi untuk
memecahkan masalah kenegaraan sehingga tidak merepotkan para sahabat.
Nabi Muhammad
adalah seorang kepala Negara Masyarakat Madinah, sebagai kepala Negara nabi
mengatur urusan perekokomian masyarakat Madinah dengan sistem zakat, infaq
maupun shadaqah yang didistribusikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
diberlakukan. Ketika Nabi tiba di Madinah, pasar Madinah ketika itu dimonopoli
oleh sistem kapitalisnya Yahudi, dimana arus keluar masuk pasar dikendalikan
secara strategis oleh mereka. Rasulullah kemudian membangun pasar muslim
melalui tangan Abdurrahman bin ‘Auf ra. Sahabat saudagar kaya yang menjadi
salah satu pilar ekonomi kaum muslimin. Rasulullah juga melakukan pengawasan (hisbah)
pada pasar dengan menunjuk penanggung jawab urusan tersebut kepada sahabat Said
bin Said Ibnul ‘Ash ra. Nabi juga menerapkan harta ghanimah (rampasan
perang) sebagai kekuatan pendukung perekonomian pemerintahan dan perekomoinan
masyarakat, demikian halnya dengan jizyah (upeti dari wilayah-wilayah
yang mengikat perlindungan dengan pemerintahan Nabi). Secara keseluruhan
harta-harta tersebut diklasifikasikan dalam Baitul Mal secara terpisah. Seperti
yang disebutkan oleh Sa’id Hawa dalam bukunya Al Islâm bahwa pemerintahan Islam
memiliki pusat keuangan Negara yang disimpan di Baitul Mal. Baitul Mal dibagi
ke dalam beberapa klasifikasi, Baitul
Mal Khusus menyimpan harta zakat, Baitul Mal khusus sebagai hasil dari
pemungutan jizyah dan kharaj, Baitul Mal yang khusus menyimpan harta ghanîmah
dan rikaz, Baitul Mal yang khusus menyimpan barang-barang yang tidak diketahui
kepemilikannya.
Satu hal yang
belum pernah terjadi pada peradaban-peradaban lainnya adalah, Rasulullah
mengubah sistem perekonomian di kala itu yang sarat praktek ribawi dengan
segala bentuknya kemudian dihilangkan dan dihapuskan dengan sistem yang Ilahi
(Islam). Perdagangan dan jual beli tidak lagi monopoli si kaya atas si miskin.
Pinjam meminjam dan mudharab juga ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang
adil lagi penuh maslahat serta menghilangkan kemudharatan-kemudharatan.
Penghapusan sistem pajak sebagaimana terjadi di Negara-negara besar ketika itu
(Romawi dan Persia) diganti dengan sistem zakat.
Nabi bertindak
memimpin sejumlah peperangan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal
ini seluruh peperangan diatur dan dimanajeri oleh Rasulullah sebagai pemimpin
tertinggi. Namun demikian sebagiamana yang terjadi dalam beberapa peperangan
seperti Badr, Khandak, dan lain-lain masukan-masukan dari para sahabat juga
diperhitungkan secara masak. Al Bukhari menyebutkan dari sejumlah periwayatan
seperti dari Zaid bin Arqam ra.
, Al Barra ra bahwa Nabi
bertempur secara langsung sebanyak 19 kali. Pertempuran-pertempuran tersebut
secara mayoritas dimenangkan oleh Nabi. Ini menunjjukan betapa besarnya peran
Nabi dalam mengatur, menempatkan, dan melakukan strategi peperangan secara
brilian.
3. Nabi Muhammad sebagai Hakim
Sebuah hadith menerangkan peran nabi
saat menjadi hakim sekaligus manusia biasa saat menghadapi permasalahan
peradilan dari seseoarang yang menuntut atau dituntut. Yang terjemahnya adalah sebagai berikut:
Dari Ummu Salamah R.A, istri nabi SAW, dari nabi
bahwasanya beliau mendengar pertengkari di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau
keluar (dari kamar untuk) menemui mereka, kemudian beliau bersabda;
“sesungguhnya saya ini adalah manusia biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat
pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kamu (yang
bertengkar) lebih mampu (berargumentasi) daripada pihak lainnya, serhingga saya
menduga bahwa dialah yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan
memenangkannya. Barang siapa yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil
hak saudaranya sesame muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan
api neraka yang saya berikan kepadanya; (Terserah apakah) dia harus mengambilnyaataukah
menolaknya.”(Hadith riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Hadith
tersebut memberi petunjuk tentang pengakuan Nabi sebagai
manusia biasa dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi
mengaku memiliki kekurangan, yakni mungkin saja dapat dikelabui oleh kepintaran
pihak yang berperkara dalam mengemukakan argumen-argumen untuk memenangkan
perkaranya, walaupun sesungguhnya apa yang dikatakannya itu tidak benar. Dalam
mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas hanya pada apa yang telah
dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara beserta alat-alat bukti yang mereka
ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran pihak
yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang telah berhasil
mengelabui Nabi tersebut.
4. Nabi Muhammad sebagai Manusia Biasa
Terjemahan
hadith tatkala nabi berperan sebagai Manusia biasa:
“(Hadith riwayat) dari Abd. Allah
bin Zaid bahwasannya dia telah melihat Rasulullah SAW berbaring di dalam masjid
sambil meletakan kaki yang satu di atas kaki yang lain.”(Riwayat hadith disepakati oleh
al-Bukhari dan Muslim)
Hadith tersebut memberi petunjuk tentang cara
berbaring Nabi ketika itu, yakni dengan meletakan kaki yang satu di atas kaki
yang lainnya. Pada saat itu tampaknya Nabi sedang merasa nyaman dengan
berbaring dalam posisi seperti itu yang digambarkan oleh Nabi dalam kapasitas
beliau sebagi pribadi. Selain itu secara rasional, nabi tidak memerintahkan
sahabat untuk menirukan posisi telentang beliau saat tidur, tetapi sahabatlah
yang melihat nabi berbaring di dalam masjid.
Cerita mengenai
perkawinan kurma juga bisa menjadi salah satu gambaran bagaimana Muhammad
menjadi manusia biasa pada umumnya. Diceritakan bahwa Nabi saw. tiba di
Madinah. Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw
melarangnya. Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon
kurma itu tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi saw berkata :
"Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu (Antum a'lamu bi umuri
dunyakum). Kasus ini menunjukkan bahwa pada saat tertentu Nabi Muhammad juga
berposisi sebagaimana manusia biasa. Pendapat nabi yang berkenaan dengan
hal-hal urusan duniawiyah seperti pengawinan pohon kurma.
- Kehujahhan hadith ditengah
peran ganda nabi Muhammad
Para ulama dalam
memahami hadith menggunakan beberapa-berapa metode diantaranya adalah metode
tahlili (analitis), metode ijmali (global) dan
metod muqarin (membandingkan).
Mayoritas ulama mengemukakan bahwa hadith yang dikeluarkan oleh nabi dalam
kapasitas beliau sebagai Rasulullah menyatakan kesepakatan untuk wajib
mematuhinya. Sedangkan hadith yang dikeluarkan oleh nabi dalam kapasitas beliau
sebagai kepala Negara dan pemimpin masyarakat, semisal mengirim angkatan perang
dan pemungutan dana untuk baitul mal, sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadith
tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.[23]
Sangat dimungkinkan
sekali hadith tertentu disatu sisi lebih tepat dipahami secara tersirat
(kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadith secara kontekstual dilakukan bila
dibalik teks hadith, ada petunjuk yang kuat untuk mengharuskan hadith tersebut
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana makna yang tersurat (tekstual).[24]
Maka dapat diambil sebuah asumsi awal, bahwa seluruh
hadith
nabi bisa dijadikan hujjah untuk diterpakan dan dilakukan. Yang terpenting ada konsitensi dalam
menerapkan hadith-hadith nabi tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran (sementara)
sebagai berikut:
Pertama apakah hadith Rasul yang keluar saat Rasul
berperan sebagai manusia biasa atau kepala Negara bisa dijadikan hujjah?
Jawaban: hadith nabi yang keluar saat beliau berperan sebagai manusia biasa
bisa dijadikan hujjah, karena berdasarkan argumentasi bahwa hadith nabi adalah
sumber agama islam yang mutlak hukum dijalankannya apa adanya atau tidak
memandang segi kontekstual dari matan hadith. Sedangkan jawaban lainnya adalah
bisa dijadikan hujjah tapi bukan merupakan perintah atau kewajiban yang harus
dilaksanakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan masa sekarang.
Kedua bagaimana pemahaman para ulama
menghadapi hadith yang keluar saat Rasul berperan sebagai manusia biasa? Jawaban:
sebagian ulama cenderung menggunakan metode kontekstual untuk memahami hadith
nabi yang keluar saat nabi berperan sebagai manusia biasa.
Wallahu a’lam bi showab
BIBLIOGRAFI
Wahab, “keberadaan hadith”, diakses tanggal
09 Oktober 2011, Pukul 18.45 WIB
Sehingga wajarlah
terdapat perbedaan dikalang ulama hadith, ulama fiqh dan ulama-ulama lain dalam
mempresepsikan posisi (kehujjahan)
hadith yang dikeluarkan ketika beliau berperan sebagai manusia biasa. Apakah
hadith ketika beliau berperan melakuakan
aktivitas sebagai manusia biasa; ketika beliau sedang tidur, makan, minum,
bekerja dan bersosialisasi seluruhnya dapat digunakan sebagai hujjah? Maka perlu kiranya adanya
pemahaman hadith secara kontekstual, guna memperoleh pemahaman yang menyeluruh,
sistematis dan lebih luas.
Hasyim, “Keberadaan
Hadith” diakses
tanggal 09 Oktober 2011, pukul 18.30 WIB
Hasyim, “Keberadaan Hadith” diakses tanggal 09 Oktober
2011, pukul 18.30 WIB
Hasyim, “Keberadaan Hadith”
diakses tanggal 09 Oktober 2011, pukul 18.30 WIB
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Makalah: Keberadaan Hadith di Tengah Peran Ganda Nabi Muhammad"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*