Oleh
: MOH KHOIRUL ANAM
PEMBAHASAN
- Pengantar
Prestasi terbesar barat adalah keberhasilannya dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dapat memberikan kemudahan hidup dan dapat dimanfaatkan umat manusia.
Sedang di sisi lain, dunia timur[1] yang memiliki status
sebagai negara berkembang, masih mencari jati diri untuk memiliki status yang
sepadan dengan barat. Di tengah upayanya itu, negara timur sepantasnya untuk
menengok lebih tajam peradaban barat. Karena negara timur belum memiliki
konsepsi atau gagasan yang tepat untuk diterapkan dengan ‘segera’ untuk
memajukan peradaban timur. Atau dapat dikatakan bahwa negara timur hanya
sebagai penonton atas fenomena modernitas barat.
Asimilasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat adalah salah satu
cara untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Namun asimilasi tersebut jika
tidak dibaca lebih teliti akan berdampak ‘sikap mengekor’ secara membabi buta
tanpa filterasi yang selektif dari
segala sesuatu yang berasal dari barat. Dan inilah yang penulis sebut sebagai
proses westernisasi materialisme. Oleh karena itu, kehadiran westernasasi telah
menimbukan guncangan psikologis bagi dunia timur karena saling bertolak
belakang antara ‘keyakinan dogmatis’ yang dunia timur anut dipertentangkan dengan
nilai dan tradisi yang datang satu paket bersama westernisasi yaitu sekulerisme.
Westernisasi adalah arus besar yang mempunyai
jangkuan politik sosial kultural dan teknologi. Arus ini telah mewarnai kehidupan umat manusia di bumi, terutama bagi kaum muslimin
yang berpopulasi 20% di bumi ini. Westernisasi
merupakan cara yang paling singkat bagai
dunia ketiga untuk menuju ‘kesetaraan’ dengan peradaban barat, walau pada
kenyataannya pada dunia timur sekarang ini hanya ‘kulitnya’ saja yang bersifat
barat. Hal inilah yang akan melahirkan mentalitas baru, mentalitas ‘ketiga’
yaitu gabungan mentalitas barat dengan timur.
Arus westernisasi merupakan dampak dari
ketidak seimbangan antar peradaban yang dimiliki barat dengan timur. Ketidak seimbangan ini
menyebabakan negara barat melirik dunia timur. Lirikan agresif ini tentunya
adalah hasrat barat untuk menghegemoni dunia timur, diantaranya dilancarkan
dalam bidang ekonomi (kapitalisme), agama (sekuler), politik (demokrasi), dan
ideologi (liberal). Dan dari semua bidang tersebut memiliki saling keterkaitan
dan saling mendukung untuk mengukuhkan satu sama lain agar hegemoni barat
terhadap timur lebih kuat cengkramannya.
Pendekatan penulisan yang digunakan penulis
dalam makalah ini adalah kualitatif, dengan analisis teori dan konsep secara
kritis tentang westernisasi dan fenomena krisis intelektual dunia islam.
Sehingga dalam merujuk, penulis akan menggunakan referensi-refensi yang kaya
dengan teori, konsepsi, dan analis kritis terhadap fenomena tersebut. Dari
pengantar di atas maka penulis dapat mengidentifikasikan permasalahan
diantaranya:
1. Seperti apakah guncangan psikologis
negara-negara timur dalam merespon westernisasi?
2. Bagaimana krisis intelektual yang dihadapi
umat islam akibat arus westerniasi yang semakin liar?
B. Kerangka Teori
1. Intelektual
Kata intelektual memiliki arti pintar, terampil, cakap,
memahami, mengerti dan memperoleh atau menghasilkan. Pengertian intelektual lebih
dekat dengan kata pemikir atau orang yang
berfikir, karena kata ini dalam bahasa Eropa
berasal dari kata (intellect) yang berarti berfikir. Sedang seorang yang intelektual adalah seorang
individu yang mempunyai keinginan untuk merencanakan, menganalisa, dan berkarya untuk
turut memberikan sumbangsih dalam menepis segala rintangan yang menghambat
terwujudnya sebuah system masyarakat yang baik, yaitu sebuah system yang lebih
humanis, dan lebih rasional.[2] Jadi dapat penulis simpulkan bahwa makna intelektual
bisa disejajarkan atau bahkan memiliki arti sama dengan cendikiawan dan
ilmuwan. Intelektual juga berarti orang atau pelakunya dan intelektual yang
punya arti sifat atau sikap yang dimiliki seseorang.
Tugas seorang intelektual dalam perspektif modern adalah
melakukan kritik sosial secara terus menerus dengan menawarkan rasionalisasi
etika sosial, atau menata kehidupan sosial sesuai dengan dasar-dasar dan
pemahaman yang humanis.
Oleh karena itu, obyek sosial sesuai para manusia
intelektual hanya terbatas pada peranananya dalam
masyarakat sebagai seorang perencana, pengkritik, pembawa kabar gembira tentang
sebuah proyek, atau paling tidak sebagai penggagas ide dan wacana yang baru sehingga bisa menjadi solusi.[3] Selain itu seorang intelektual harus mempertahankan
kebenaran yang ia miliki walaupun banyak ancaman dan godaan dari manusia atau
peradaban lain.[4]
2. Westernisasi
Westernisasi
adalah suatu kesatuan paham yang membentuk suatu gaya hidup yang masuk ke dalam
sistem secara totalitas,[5]atau
dengan pengertian yang hampir sama bahwa westerinasi adalah proses transformasi
nilai-nilai yang berasal dari barat ke dalam masyarakat lain (other).[6]
Tentunya nilai yang ditransformasikan di sini adalah nilai-nilai way of life, tidak hanya transformasi
teknologi dan ilmu semata. Sebagai contoh budaya pakaian dalam pernikahan, gaya
hidup, dan budaya ulang tahun. Hal inilah yang membedakan antara modernitas dan
westrernisasi, walaupun secara sederhana di antara kedua term tersebut hampir memiliki kemiripan sehingga terdapat bias
makna.
Menurut
Antony Black kehadiran westernisasi yang sebenarnya baru dimulai sejak tahun
1700-an, muncul sebuah hubungan baru antara islam yang di bawah pemerintahan
Utsmani dengan Barat. Pada awalnya proses westerniasi waktu itu berjalan dengan
lamban, selama abad ke-18 interaksi antara peradaban Islam dengan barat sangat
terbatas. Dalam bidang fikih tampak tidak ada perubahan. Sehingga dapat
dipahami bahwa politik Utsmani mempertahankan pola-pikir dan kebiasaan yang
tradisional. Hanya beberapa birokrat kesekretariatan yang menguasai bidang
administrasi mulai terbuka terhadap kebiasaan dan ide-ide barat.[7]
C. Pemaparan
Materi
Krisis intelektual yang melanda dunia timur tidak lain karena adanya belenggu intelektualitas dari serangan produk intelektual
barat. Dengan demikian bisa dikatakan
bahwa intelektual Islam hidup di luar konteks zaman
intelektualitas islam itu sendiri
yang seharusnya hadir untuk menandingin intelektualitas barat.
Ada kalanya intelektual islam mengukuhkan intelektual
barat yang di dapat ketika mempelajari barat. Lebih nyata lagi, para
intelektual islam ingin menyerap ilmu pengetahuan barat dengan mempelajari
bahasa Inggris guna merjemahkan buku-buku barat. Namun ada juga yang menolak
sama sekali intelektualitas barat karena dipandang sebagai perusak tatanan
syariat agama.[8] Sehingga dapat penulis pahami bahwa penerjemahan
buku-buku sangat penting. Bagaimana mungkin seseorang bisa menyerap ilmu secara
besar-besaran dari sistem peradaban tanpa mempelajari bahasa peradaban
tersebut, yang tak lain adalah bahasa Inggris.
Menurut kaca mata al Qur’an,
orang-orang yang mendurhakai Allah karena produk intelektual yang mereka
telurkan disebabkan karena “cacat intelektual” yang menjangkitinya. Mereka turut andil dalam menanamkan saham berupa proses
berfikir untuk mengembangkan peradaban manusia namun tidak ada tujuan untuk
mengantarkan manusia ke derajat takwa.[9]
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kritik tajam
yang dilakukan Ali Harb terhadap intelektual Islam , bertolak dari pendapat
bahwa kegiatan pemikiran para intelektual Islam berusaha untuk mengeksploitasi
otoritas keilmuan dan pengetahuannya
demi memperkuat wibawa social para
intelektual, mewujudkan kekuasaan politik yang
termotivasi oleh keinginan untuk menjadi kuat.[10]
Sehingga indikasi nilai-nilai ketehunana tidak muncul
melainkan hanya kepentingan pribadanya saja.
Bagi Umat Islam, tauhid memang merupakan
kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktifitas apapun dalam
kehidupan mereka senatiasa dinafasi
oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah, dibuktikan bahwa
keberhasilan umat islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabanaya pada
abad ke 7-14 M tidak terlepas dari kekuatannya semangat mereka untuk
mempertahankan citra tauhid tersebut.[11]
Mengingat dua
kecenderungan tersebut menjadi arus utama dalam diskursus pemikiran Islam
kontemporer. Gerakan Pembaruan Reformisme berangkat dari asumsi dasar problem
ketertinggalan dunia muslim dari Barat. Dunia muslim tentu harus mengejar
kondisi ketertinggalan itu. Reformisme,
pada gilirannya, menempatkan Barat sebagai sumber inspirasi untuk keluar dari
problem ketertinggalan itu. Karena solusi yang ditawarkan gerakan reformisme
tidak murni digali dari akar pemikiran lokal.[12]
Dunia Muslim harus
merangkul Barat. Lantaran itu,
produk-produk pemikiran Barat diadopsi sedemikian rupa buat diterapkan
di dunia Muslim. Produk-produk pemikiran tersebut dicarikan dulu akar-akar
teologisnya dalam tradisi kebudayaan Islam. Sehingga inilah nanti yang akan dinamakan modernitas,
bukan westerniasasi. Namu di sisi
lain adanya
gerakan pembaruan untuk memanipulasi westerniasai terkesan
hanya meng-"copy-paste" wacana-wacana yang berkembang di Barat.
Inilah krisis pemikiran Islam yang menimpa kubu pembaharu.[13] Mereka hanya meniru mentah-mentah tanpa melahirkan
formulasi baru yang mengawinkan peradaban barat dengan Islam.
Idealnya
produk-produk budaya
Barat diseleksi untuk kemudian disesuaikan dengan kerangka nilai-nilai lokal
yang berlaku. Produk budaya Barat tidak diadopsi begitu saja.
Tapi juga diadaptasi dan melihat
peradaban Barat sebagai sesuatu yang monolitik. Komponen-komponen yang
konstruktif dan kompatibel dengan nilai-nilai lokalitas masyarakat diambil.
Sedangkan yang destruktif atau bertentangan dengan nilai-nilai lokalitas
dibuang.[14]
D. Analisa Kritis
Dengan
berfikir manusia menyadari posisinya sebagai hamba bagi Allah dengan cara
beribadah dan memahami fungsinya sebagai khalifatullah
di muka bumi. Oleh karena itu berfikir (intelektual) menurut pandangan Islam
adalah sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.[15]
Sehingga wajar jika posisi pemikir
islam di tengah pemikiran produk manusia lain ibarat bunga mawar yang indah
namun dikelilingi oleh duri-duri yang tajam.
Seorang
ilmuwan sejati atau intelektual idealis adalah orang yang konsekuean dengan
ilmu atau produk intelektual yang ia cetuskan. Selain itu ia akan senantiasa
siap merubah pendirian, sikap, kepribadiaan, bahkan ideologinya sesuai dengan
tuntutan dan konsekuensi pengetahuannya. Jika seorang intelek bersikap jujur
dengan ilmunya, maka ilmu apapun yang dia dalamai akan sampai pada hilir yang
mentauhidkan Allah dan mengimani-Nya.[16]
Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang demikian pesatnya di zaman modern (di
Barat) ini menyebabkan munculnya sikap mempertentangkan secara simplistis
antara islam—dengan modernitas Barat—yang identik dengan kemajuan, inovasi, dan
dinamika. Pemikir Muslim yang terjebak dalam pola pikir mempertentangkan itu,
menurut Arkoun, tidak sedikit jumlahnya. Selain itu, munculnya sikap
mempertentangkan itu juga dipicu oleh perbedaan kondisi antara masyarakat Islam
dan masyarakat modern (Barat) yang sejak abad ke-19 mengalami ketimpangan dan
kesenjangan yang luar biasa besar.[17]
Menurut
bernard Louis: “mengambil sistem politik apa adanya dari berbagai negeri atau
bahkan beragam peradaban dan memaksakannya kepada masyarakat timur tengah dan
lainnya melalu orang-orang barat ataupemerintah yang kebarat-baratan adalah
suatu kesalahan.[18]
Menurut Aljabiri orang yang intelek dapat dijabarkan menjadi dua kelompok, pertama yaitu para penggagas, produsen,
ilmuwan, seniman, filsuf, penulis, dan sebagian adalah penyebar ilmu dan karya
seperti pengajar, wartawan, dan penulis yang mereka dapat dari para konseptor. Kedua yaitu para profesional yang telah mengaplikasikan
budaya melalui beberapa profesi seperti dokter dan pengacara.[19]
Tranfomasi
ilmu pengetahuan telah dilakukan oleh umat islam pada masa-masa kebangkitannya,
yaitu dimulai dengan menerjemhkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa mereka.
Berarti gerakan penerjemahan telah menentukan dalam menstimulasi kebangkitan
intelektual Islam. Dan ini juga dilakukan oleh barat sebelum adanya Renaissance barat telah menerjemahkan
buku-buku umat islam.[20] Namun
ini berbeda dengan westernisasi, karena westerniasasi merupakan fakta adanya
penjajahan baru, yaitu penjajahan kultural.[21]
Masyarakat timur yang telah menjadi objek westernisasi telah kehilangan jati
diri kulturnya. Atau dengan kata lain dalam westernisasi terjadi dominasi
kultur barat yang besar terhadap kultur timur yang menjadi objek westernisasi.[22]
Untuk mencapai kemajuan umat dengan
berpegang teguh pad ilai-nilai silam diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut :
- Umat
islam harus menempa keyakinan, kebenaran, dan kemurniaan Akidah Islam tidak lagi mencampur
adukan akidah dengan penyaki syirik.
- Umat
Islam harus mampu menguasai Sains dan Teknologi yang merupakan kunci untuk
menuju keunggulan bangsa dalam bidang ekonomi, industry, militer dan
politik.
- Umat
Islam harus mampu mencapai kondisi sosial dan ekonomi yang memadai, dengan
bekerja keras dan tidak bermalas-malasan dan berusaha semaksimal mungkin
menggali persatuaersatuadan memanfaatkan sumberdaya lam enganm teknologi
yang mutakhir.
- Umat Islam harus mampu harus menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam (Uhkuwah
Islamiyah) dan jang mudah diadu domba hanya masalah perbedaan paham, etnis
dan golongan.
- Menyiapkan
generasi muda Islam yang mampu
berfikir jauh kedepan, sehingga generasi muda Islam mampu mengantisipasi
perubahan yang ada dan mampu
menguasai perubahan.
KESIMPULAN
Westernisasi telah
menyebabkan guncangan psikologi bagi peradaban umat islam, terutama bagi para
kaum intelektualnya. Bagaimana tidak, westernisai telah menjajah peradaban umat
islam yang harus kita akui pula telah mengalami titik tetapnya (status quo).
Kondisi umat islam masih disibukkan masalah perbedaan madzhab dan pandangan
beragama dalam internal umat islam sendiri. Ketidak satu pahaman cara
menghadapi barat telah mengindikasikan umat islam pecah kongsi. Selain itu umat islam hanya berkutat
pada masalah mistis dan bagaimana cara menggemukkan organisasi golongannya
saja. Sehingga kajian intelektual bagi sebagian besar pandangan umat islam
tidak penting. Hal tersebut telah memudahkan barat untuk melancarkan misi
westerniasinya.
Produk intelektual
umat islam pada sekitar satu abad terakhir ini hanyalah berupa ide-ide dan
konsep saja yang biasanya berwujud kitab-kitab atau buku. Padahal pada zaman
modern seperti ini manusia yang jumlahnya semakin meledak menuntut para
intelektual (ilmuwan) untuk memproduk barang-barang yang pragmatis. Artinya
barang tersebut dapat dimanfaatkan dengan efisien dan efektif karena pentingnya
atau keterbatasan waktu yang dimiliki dan adanya persaingan antara manusia satu
dengan yang lain. Dan salah satu cara yang instan agar semuanya itu bisa
dimiliki umat islam adalah dengan cara mengimpor produknya. Padahal seharunya
khususnya bagi para intelektual muslim adalah mengimpor ilmunya juga untuk
dikembangkan agar bisa melahirkan produk baru yang lebih maju.
Oleh karena itu
sangat wajar jika baik secara langsung maupun tidak langsung umat islam telah
didekte oleh barat dalam segala bidang. Hal inilah yang membuktikan bahwa
‘umat’ yang didekte kedudukannya berada di bawah dari ‘umat’ yang mendekte.
Dari sinilah nanti akan melahirkan dua pandangan besar di kalangan umat islam
yaitu kaum fundamentalis dan kaum reformis. Inilah dampak psikologis yang
terjadi pada umat islam ketika menghadapi westernesasi yang tidak bisa
ditangkal percepatannya.
BIBLIOGRAFI
Aljabiri, Muhammad Abid. Al Mutsqqifun Fil Hadlarah Al-Arabiyah. Beirut
: Libanon Markaz Dirasat Al Wihdah Al
Arabiyah, 1995.
al-Qaradhawy, Yusuf. Sekular
Ekstrim, terj. Nabhani Idris. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
Black, Antony.
Pemikiran
Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
terj. Abdullah Ali, et. al. Jakarta: Serambi, 2006.
Daftary, Farhad. Traidisi-tradisi intelektual Islam.
Jakarta : Erlangga, 2002.
Http://Ahmed-Antara.Blogspot.Com/2007/12/Krisis-Pemikiran-Islam.Html.
Madjid,
Nucholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.
Mushilli, Ahmad & Shafi, Luay. Krisis Intelektual Islam Selingkuh Kaum Cendikiawan
dengan Kekuasaan Politik. Jakarta : Erlangga, 2009.
Mustofa, M. Lutfi. Tauhid: Akar
Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim, dalam “Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan
Agama,” ed. M. Lutfi Mustofa, et. al. Malang: LKQS UIN, 2007.
Putro, Suadi. Mohammed Arkoun Tentang
Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1998.
Rahardjo, M. Dawam. Intelektual
, Inteligensia, dan Perliku Politik Bangsa. Bandung: Mizan, 1996.
Rasyid, Daud. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta:
Gema Insani Press, 1998.
Tibi, Bassam. Krisis Peradaban Islam Modern:
Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Terj. Yudian W. Asmin et. al. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994.
[1]Yang dimaskud dunia timur di sini adalah dunia islam, karena mayoritas umat
islam berada di dunia timur (dunia ketiga). Dan kata ‘timur’ di sini bukan
menunjukkan letak geografi, tapi menunjukkan sikap dan mentalitas peradaban.
Cina, jepang, semenanjung korea, india, australia dan singapura walaupun secara
geografis terletak di timur namun pada kenyataannya peradaban yang mereka
miliki adalah peredaban barat. Tapi ada hal yang unik terjadi pada Kore, Cina,
dan Jepang. Walau ketiga negara tersebut mampu menciptkan teknologi modern
dalam bidang elektronik, kendaraan, dan peralatan rumah tangga tapi mereka tetap
mampu mempertahankan kebudayaan dan kepercayaan ideologi (baca: agama) mereka.
[2]Muhammad Abid Aljabiri, Al Mutsqqifun Fil Hadlarah Al-Arabiyah (Beirut : Libanon Markaz Dirasat Al Wihdah Al Arabiyah,
1995), hal. 5
[3]Ahmad Mushilli dan Luay Shafi, Krisis Intelektual Islam Selingkuh Kaum Cendikiawan
dengan Kekuasaan Politik
(Jakarta : Erlangga, 2009), hal. 80
[5]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan,
dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), hal. 201.
[6]M. Dawam Rahardjo, Intelektual ,
Inteligensia, dan Perliku Politik Bangsa (Bandung: Mizan, 1996), hal. 13.
[7]Antony
Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali, et. al (Jakarta: Serambi, 2006),
hal. 496.
[8] Farhad Daftary, Traidisi-tradisi intelektual Islam, (Jakarta : Erlangga, 2002), hal. 35
[9]Rasyid, Islam dalam, hal. 89.
[10]Mushilli, Krisis Intelektual Islam, hal. 86.
[11]M. Lutfi Mustofa, Tauhid: Akar Tradisi
Intelektual Masyarakat Muslim, dalam
“Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,” ed. M.
Lutfi Mustofa, et. al (Malang: LKQS UIN, 2007), hal 3.
[12]Http://Ahmed-Antara.Blogspot.Com/2007/12/Krisis-Pemikiran-Islam.Html, diakses
30 Maret 2012. Jam 18.00
[13]Mushilli, Krisis Intelektual Islam, hal. 80.
[14]Http://Ahmed-Antara.Blogspot.Com/2007/12/Krisis-Pemikiran-Islam.Html, diakses 30 Maret 2012.
Jam 18.00
[15]Rasyid, Islam dalam, hal. 88.
[17]Suadi Putro,
Mohammed Arkoun Tentang Islam dan
Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 44.
[18]Yusuf al-Qaradhawy, Sekular Ekstrim, terj.
Nabhani Idris (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), 99.
[19]Mushilli, Krisis Intelektual Islam,
hal. 80.
[20]Madjid, Islam, Kemodernan, hal. 356.
[21]Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam
Modern: Sebuah Kultur Praindustri dalam era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Terj.
Yudian W. Asmin et. al (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 17.
[22]Ibid., 20.
Westernization (sumber gambar canstockphoto) |