ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, MA
Dr. H. Ahmad Subakir, M. Ag.
PENDAHULUAN
Membicarakan
al-Quran, jika penulis berani umpamakan
seperti membicarakan sebuah pesan, sms atau surat. Allah memberikan wahyu atau
pesan kepada nabi Muhammad, dan kita sebagai umat islam yang mengimani Allah
dan Rosul-Nya harus mengimani dan menjalani isi al-Quran tersebut. Sebelum
melaksanakan atau mengimani ‘subtansi’ dari pesan (wahyu) tersebut, manusia sebagai
khalifah mempunyai fitrah untuk berfikir
dan bertanya tentang berbagai hal yang menyangkut tentang ‘pesan’
tersebut sebelum dilaksanakan dan diimani sedalam-dalamnya.
Melibatkan
rasio dalam memahami ‘pesan’ dalam al-quran tidak terhindarkan lagi di sebagian
kalangan umat islam, karena islam adalah agama rahmatallilalamin. Maka
sangat wajar jika lahir salah satu kajian ilmu dalam al-qur’an yaitu ilmu
Muhkam dan Mutasyabih. Muhkam dan mutasyabih merupakan salah satu dari sekian
banyak dari ilmu dalam al-Quran. Artinya muhkam dan mutasyabih merupakan sebuah
pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri al-Quran secara internal.
Oleh karena itu
sangatlah wajar jika di sebagian kalangan umat islam timbul sebuah
pertanyaan-pertanyaan, beberapa di antaranya adalah:
- Bagaimana ayat al-quran bisa terbagi ke dalam muhkam dan
mutasyabih?
- Apakah ayat mutasyabih bisa menjadi hujjah, namun apakah
hujjahnya lebih lemah dari ayat muhkam?
- Apakah hikmah di balik adanya ayat muhkam dan mutasyabih?
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Muhkam dan
Mutasyabih
Di sebagian kalangan umat islam
meyakini bahwa ayat al-quran semuanya adalah ‘kokoh’ (muhkam) tiada celah untuk
dipahami secara rasio, karena ayat al-quran adalah wahyu Allah yang maha
Sempurna, sehingga tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya. Salah satu
dasarnya adalah ayat dalam Surat Huud 1:
Terjemahannya:
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab
yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Maksud dari kata terperinci adalah diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.[1]
Sedangkan
menurut kalangan lain, dalam al-qur’an ada ayat-ayat muhkam dan ada ayat
mutasyabih, adanya kedua hal tersebut justru menunjukkan ke Maha Sempurnaan
Allah, karena hanya Allah yang mengetahui maksud ‘asli’ dari kandungan
ayat-ayat mutasyabih, hal tersebut akan menunujukkkan sifat akal manusia yang
memiliki keterbatasan untuk memahami ayat-ayat mutasyabih. salah satu dasarnya
adalah ayat dalam Surat Ali Imron 7:
Terjemahannya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab
(Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.
Ayat yang muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas
maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.. sedangkan yang termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat:
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti
mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.[2]
Muhkam adalah
yang jelas, menunjukkan makna secara gamblang, tidak ada keraguan dalam
memahami dari segi lafad maupun maknanya. Sedangkan mutasyabih adalah
menyerupai yang lain, baik dari sisi lafad maupun dari sisi makna.[3]
Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman penulis
ayat mutasyabih tidak bisa berdiri sendiri, harus dikaitkan dan
dikuatkan oleh ayat lain yang muhkam.
Menurut Ramli
Abul Wahid kata muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa
berarti kekukuhuan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namum semuanya
pada dasarnya kembali kepada makna pencegahan. Sedang mutasyabih berasal dari
kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa
kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti
dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.[4]
Ayat muhkam dipahami sebagai ayat yang sudah jelas, nyata, dan tidak memerlukan ta’wil, sementara ayat mutasyabih dipahami mempunyai ambiguitas yang membutuhkan ta’wil. Aturan yang disepakati sebagian ulama adalah yang mutasyabih harus dikembalikan ke yang muhkam, atau dengan kata lain yang ambigu didasarkan pada yang jelas, dan muhkam menjadi panduan untuk menafsirkan serta memahami yang mutasyabih.[5]
Bentuk mutasyabih ada tiga
macam:
1. Yang sama sekali tidak bisa
ditelusuri hakikatnya, karena hanya Allah yang hanya mengetahui tentangnya,
seperti saat kedatangan kiamat, keluarnya binatang melata, kisah Zulkarnain
yang membelenggu makhluk di atas gunung.
2. Manusia bisa mengetahuinya,
seperti lafad-lafad yang masih asing dan hukum-hukum atau hikmah yang masih
tertutup.
3. Yang bisa mengetahui
hakikatnya hanya orang-orang yang ilmunya mendalam dan orang-orang khusus yang
menjadi pilihan, sementara yang lain tidak bisa mengetahuinya.[6]
Dari semua
pembahasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa ayat muhkam dan mutasyabihat
keberadaanya dalam al-Quran tidak diragukan lagi, di mana ayat muhkam adalah
ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Sedangkan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih
bersifat mujmal (global), seseorang dapat mengetahui makna ayat mutasyabih
setelah melakukan pentakwilan, dan tidak semua orang ‘layak’ untuk
mentakwilkannya.
B. Contoh-contoh Ayat Muhkam dan
Mutasyabih
1. AyatMuhkam
a.
Surat al Hujarat 13.
Terjemahannya:
Hai manusia sesaungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
b.
Surat al Baqarah ayat 21.
Terjemahannya:
Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan dan orang-orang yang sebelum kamu,
agar kamu bertaqwa
c.
Surat al Baqarah ayat 275.
Terjemahannya:
Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Terjemahannya:
Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disenbelih atas nama selain
Allah.
2. Ayat Mutasyabih
a. Surat Thaha ayat 5.
Terjemahannya:
(Yaitu) Tuhan Yang
Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.
b. Surat Arrahman ayat 27.
Terjemahannya:
Dan tetap kekal
Dzat (wajah) Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
c. Surat Al Qashash ayat 88.
terjemahannya :
Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa kecuali wajah Allah
d. Surat Al Maidah 64.
Terjemahannya:
Orang-orang Yahudi
berkata: "Tangan Allah terbelenggu" [426], sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu [427] dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang
telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah
terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.
C. Argumentasi Ulama tentang
Muhkam dan Mutasyabih
Sebagian ulama
menyepakati bahwa setiap dalil yang mempunyai unsur ketidakjelasan dan
kerumitan, bukan merupakan dalil atas suatu hakikat, hingga kemudian didapatkan
kejelasan maknanya dan diketahui maksudnya,. Tapi ada syarat untuk hal itu,
yaitu tidak boleh bertentangan dengan yang sudah pasti dan jelas, atau dengan
kata lain pemahaman ayat mutasyabih harus dikuatkan atau tidak bertentangan
dengan ayat muhkam. Jika makna atau pemahamannya tetap tidak diketahui karena
ada kolektifitas dan persekutuan atau bertentangan dengan yang sudah pasti dan
jelas, maka itu tidak bisa dijadikan dalil.[7]
Hampir semua
ulama sepakat bahwa makna yang diambil dari hasil penakwilan dan penafsiran
terhadap ayat mutasyabih bukanlah makna yang pasti kebenarannya. Tidak dapat
seorangpun yang mampu menjamin bahwa itu adalah makna yang sebenarnya dan
secara pasti mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat tersebut.[8]
Sebab mutasyabih sebagaimana menurut Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i adalah
“ketersembunyian maksud bahwa ketersebmunyian itu bisa kembali kepada lafal
atau kepada makna atau kepada lafad dan makna sekaligus”.[9]
Argumentasi ulama
tentang Ayat muhkam dan mutaysabih dibagi menjadi dua kelompok ulama besar,
yaitu:
1. Mazdhab Salaf, yaitu para
ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah sendiri. Mereka menyucikan Allah dari
pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya
sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an.
2. Mazdhab Khalaf, yaitu para
ulama yang berpendapat perlunya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang sifat
Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.[10]
Sebagaimana
penulis kutip dari Istana Ilmu Referensi Makalah Ilmiah mengungkapkan bahwa:
“Untuk
menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-‘Id mengatakan
bahwa apabila pentakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal
oleh lisan Arab, pentakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh
lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf(tidak membenarkan dan tidak
pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu
dalam rangka menyucikan Allah. Ibnu Quthaibah (276 H) menentukan dua syarat
bagi absahnya sebuah pentakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan
hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang otoritas. Kedua, arti yang
dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.”[11]
Untuk
memperkuat argumentasi di atas, Imam Syafi'i juga berpendapat bahwa
sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin takwilnya lebih
dari satu, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan
bermacam-macam takwil. Dengan kata lain
menurut Imam Syafi’i ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam
takwil, kita bisa mengambil contoh mengenai kata “nikah” di dalam al-Qur’an, bisa berarti dua,
al-wath_u (berkumpul dalam arti bersetubuh) atau al-‘aqdu (sebuah perjanjian). Atau
bisa juga kita lihat dalam ayat: “wanita-wanita yang dithalak (diceraikan)
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. “Quru” bisa
berarti suci atau bisa berarti haidh. “Tiga quru”, sementara ulama -
yang bermazhab Hanafi – dipahami dalam arti tiga kali haid. Sedangkan ulama
yang bermazhab Maliki dan Syafi’i, tiga quru diartikan tiga kali suci
(masa antara dua kali haid).[12]
al-Ashfahani dalam Mufrodatnya berkomentar yang penulis kutip secara langsung dari internet yaitu:
“Bahwa muhkam itu yang
memberikan faedah pengertian kepada satu hukum. Hukum lebih umum dari pada
hikmah, karena setiap hikmah yaitu hukum sedangkan hukum belum tentu menjadi
buah hikmah. Sedangkan
mutasyabihat al-Ashfahani berkomentar panjang dan membagi menjadi 3 macam: 1.)
mutasyabihat dari segi lafazh, 2.) mutasyabihat dari segi makna, dan 3.)
mutasyabihat dari segi keduanya. Dan mutasyabihat dari segi lafazh terbagi
menjadi 2 macam. Tidak mudah sepertinya untuk menjelaskan pembagian dari segi
lafazh, karena setelah itu terdapat bagiannya lagi. Mutasyabihat dari segi
makna, al-Ashfahani memberikan contoh kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat
hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan dalam benak kita. Sedangkan
mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi 5 bagian: 1.) dilihat
dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu
al-musyrikin – 9:5. 2.) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau
sunnah, contohnya: fankihuu maa thόba lakum – 4:3. 3.) mutasyabihat dari segi
waktu seperti nâsikh dan mansûkh, contoh: ittaqullha haqqo tuqόtih – 3:102. 4.)
mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat
tersebut turun ditempat itu, seperti: wa laisa al-birro bi an tuu al-buyût min
zhuhûrihâ – 2:189. Dan yang ke 5.) dari segi syarat-syarat yang menentuakan sah
atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.”[13]
D. Hikmah Keberadaan Ayat
Muhkam dan Mutasyabih.
Diantara hikmah kebeadaan
ayat-ayat mutasyabih di dalam al-qur’an dan ketidak mampuan akal untuk
mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1. Andai seluruh al-quran
muhkam, maka al-quran hanya cocok bagi satu golongan saja, masing-masing
pengikut golongan akan berusaha mendapat di dalam al –qruan sesuatu yang
menguatkan dan mendukung pendapat golongannya tersebut.[14]
2. Memfasilitasi manusia yang
bertabiat ‘selalu berfikir’ sebagai khalifah di bumi, yang diuji menjalani
hidup di dunia dengan segala kewajiban, tidak seperti binatang yang dibebaskan
tanpa ada hisab, tidak pula seperti malaikat yang memiliki fitrah untuk taat
seuai dengan yang diperintahkan tuhan tanpa ada pilihan untuk melibihi atau
mengurungi ketaatannya pada tuhan.[15]
3. Terhindar dari kegelapan
taklid dalam membaca al-quran dengan khusuk sambil berfikir dan merenung.[16]
serta mendorong para ulama melakukang ta’wil, dan tetap memasrahkan pemahaman
yang sebenarnya kepada allah swt (yang tahu hanya allah sebagai wujud
kemahatahuan allah) karena manusia memiliki keterbatasan akal.
4. Mendorong untuk hati-hati
dalam memahami bahasa al-qur’an dengan seluk beluk hakikatnya seperti perbedaan
arti leksikal dengan lafad dan susunan kalimat, mana yang harus didahulukan
serta diakhirkan, dan mana yang umum dan yang khusus.
KESIMPULAN
Kata
muhkam dan mutasyabih merupakan istilah yang sangat penting untuk ‘menamai’
salah satu ilmu yang ada dalam Kitab Suci umat Islam. Jika ada istilah lain
yang sepadan dengan kata muhkam dan mutasyabih untuk mengganti kata tersebut
agar lebih memudahkan bagi para pemula pembelajar ilmu al-qur’an, maka
sejatinya subtansi pembahasan dan bentuk pembedaannya adalah sama. Dan sangat
dimungkinkan tetap terjadi pembedaan dari segi nilai guna adanya ilmu muhkam
dan mutasyabih atau istilah lain yang memadainya.
Dengan
ayat-ayat mutasyabihat yang kurang terang pemahaman tersebut, maka para ulama,
pakar, ilmuan dan sebagainya berusaha mengerahkan segenap kemampuan, daya pikir
dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung dibalik ungkapan
yang samar-samar.Kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban islam
berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia khususnya pada abad-abad
pertengahan yang dikenal dengan zaman keemasan Islam. Dimana semua bidang ilmu
agama, maupun ilmu umum berkembang dengan sangat pesat.
Bertolak dari rumusan masalah di BAB pendahuluan, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yang diambil dari BAB pembahasan. Di antara kesimpulannya adalah:
1. Ayat al-quran dapat terbagi
ke dalam ayat muhkam dan mutasyabih berdasarkan wahyu Allah SWT dalam QS. Ali
Imran ayat 7. Ayat tersebut sudah jelas dan tidak mutli tafsir, dengan jelas
Allah menegaskan bahwa di dalam al Qur’an ada ayat mutasyabih dan ada yang
muhkam.
2. Ayat mutasyabih bias
dijadikan hujjah, asal memiliki landasan yang jelas dari orang-orang yang lebih
mengetahui seperti ulama/wali dan pemahamannya tidak boleh bertentangan dengan
ayat muhkam.
3. Sebagai khazanah ilmu bagi
umat islam sebagai khalifah di bumi yang senantiasa semangat mengadakan
perkembangan illmu pengetahuan.
BIBLIOGRAFI
Syadali, Ahmad & Rofi’i, Ahmad. Ulumul Quran I. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000.
http://istanailmu.com/2011/02/17/muhkam-dan-mutasyabih-dalam-alquran/html,
diakses tanggal 17 November 2011, pada puku 20.51 WIB.
http://ogho.blogspot.com/2009/01/muhkam-dan-mutasyabih.html,
diakses tanggal 24 November 2011, pada puku 19.25 WIB.
http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/11,
diakses tanggal 21 November 2011 pukul 14.22 WIB.
Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.
Judul asli mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur’an. Penerjemah Khoiron
Nahdliyyin.Yogyakarta: LKiS, 2003.
Ramli Abdul Wahid. Ulumul Qur’an I. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an. Judul asli Mabahits
fi Ulumil-qu’ran. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2011.
Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2000.
[1]http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/11,
diakses tanggal 21 November 2011 pukul 14.22 WIB.
[2]http://www.alquran-, diakases Tanggal 21
November 2011 pada pukul 14.36.
[3]Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan
Al-Qur’an. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2000),
288.
[4]Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 103.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’an:
Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Judul asli Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum
Al-Qur’an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin. (Yogyakarta: LKiS, 2003), 221.
[6]Yusuf, Bagaimana Berinteraksi, 289.
[7] Yusuf, Bagaimana Berinteraksi, 293.
[8] Ramli, Ulumul, 21.`
[9] Ahmad Syadali& Ahmad Rofi’I, Ulumul
Quran I (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 204.
[10] http://istanailmu.com/2011/02/17/muhkam-dan-mutasyabih-dalam-alquran/html,
diakses tanggal 17 November 2011, pada puku 20.51 WIB.
[11] Ibid,.
[12]http://ogho.blogspot.com/2009/01/muhkam-dan-mutasyabih.html,
diakses tanggal 24 November 2011, pada puku 19.25 WIB.
[13] Ibid,.
[14] Nasr Hamid .Tekstualitas al-Qur’an:, 233.
[15] Yusuf, Bagaimana Berinteraksi, 291.
[16] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
al-Qur’an. Judul asli mabahits fi ulumil-qu’ran. Penerjemah Tim Psutaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 379.