Kosmologi: Telaah Konsepsi Tentang Hidup Di Dunia
Pengantar
Pembahasan
tentang kosmologi (yang berkaitan tentang alam semesta) merupakan suatu yang
‘sebenarnya’ sangat menarik untuk diulas satu-persatu. Kosmologi yang mempunyai
dasar ilmu filsafat ini secara konkrit sudah dibahas dan dipelajari oleh
manusia sebelum tahun masehi ada. Bangsa Mesir kuno, sempat mempelajari tentang kosmologi
untuk perbintangan dan itu juga dilakukan oleh bangsa-bangsa kuno lainnya.
Dengan filsafat, kosmologi mengajak para pemikir untuk merenung tentang adanya Tuhan
(agama), cara pandang tentang kehidupan, cara mengambil pedoman untuk eksist di
dunia sadar dan bawah sadar, di dunia nyata dan di akhirat.
Alam semesta
merupakan salah satu perkara penting yang dibahas dalam al-Quran, banyak sekali
ayat-ayat al-Quran yang membahas tentangnya, akan tetapi umat Islam kebanyakan
tidak mengkajinya lebih mendalam, karena mereka lebih cenderung suka membahas
masalah-masalah hukum atau syariat islam (tentang halal-haram, wajib atau
sunah). Persoalan kosmologi tidak hanya menangkap makna menyeluruh tentang
agama, bahkan kosmologi bisa menjelaskan kepada kita tentang ‘peta semestea
alam’. Dimana kedudukan kita selaku manusia (bertubuh dan berjiwa) dalam peta
tersebut?
Peta Semesta
Alam
Manusia dewasa
ini telah hidup di zaman modern (lebih tepatnya era informasi), zaman di mana
ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat hingga manusia sendiripun tidak
mampu untuk mengendalikannya, terutama manusia-manusia yang ‘lemah’. Teknologi
yang selama ini mempermudah pola hidup dan cara kerja manusia adalah bagai
pisau bermata dua. Di satu sisi sebagai pedamping fasilitas bahkan mempermudah
hidup manusia, yang mana teknologi dihadirkan dan diusahakan agar
mensejahterakan kehidupan manusia. Namun di sisi lain munculnya teknologi
menyebabkan dampak kerusakan besar –kerusakan fisik maupun mental-.
Terganggunya stabilitas hidup akibat polusi udara, tanah, suara dan air, secara
tidak langsung juga dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan hidup manusia
yang lain. Dampak positif-negatif yang berlangsung secara bersamaan dan tak
dapat di pisahkan ini, secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi
pola kehidupan manusia di dunia. Hal inilah yang perlu dipandang sekaligus
sebagai kritik bagi kaum materialesme dan eksistensialisme.
Dalam tinjauan filsafat, alam ini menurut al Quran (sejauh penulis pahami) adalah bersifat nyata (hakiki), wujudnya (keberadaannya) ’benar’ tidak palsu dan diciptakan tidak dengan main-main atau dengan penuh kesepelean (ketidak sengajaan). Hal inilah yang akan menjadi dasar sekaligus pembeda dengan pemikiran-pemikiran kaum yang menganggap dunia ini sebenarnya ’maya’ (tidak nyata). Yang berpola fikir bahwa pengalaman hidup manusia di alam yang berlangsung selama ini adalah ’palsu’. Sehingga menghasilkan suatu kesimpulan bahwa kehidupan di dunia ini tidak akan pernah dapat membahagiakan. Hal inilah yang menyebabakan manusia akan bertindak apatis, permisif dan ’legowo’ untuk menerima segala sesuatu tanpa mengkaji lebih dalam untuk mencari pembanding yang lebih kuat. Bukankah hidup ini pilihan, lalu mengapa kita tidak mau memilih?
Menurut kaum yang menganggap dunia ini ’palsu’, kebahagiaan bisa didapat dengan bentuk-bentuk di luar nalar manusia seperti menyepi untuk bertapa/betapa (semedi), melakukan bentuk kehidupan yang ’suci’ –disucikan- dan menginginkan kebebasan yang murni, kesemuanya tadi dilakukan demi melepaskan diri dari kepalsuan dunia yang tidak nyata. Namun kesemuanya itu adalah suatu indikasi ingkar terhadap kebutuhan alami (kebutuhan biologis khususnya, seperti; berhubungan seksual, merajut hubungan sosial dengan manusia yang lain) dan pada kenyataanya tindakan alami manusia itu telah mencatatkan manusia sebagai makhluk yang masih eksist sampai sekarang di bumi ini.
Alam Semesta di Mata Al-Quran
-Diciptakan dengan ‘haq’:
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan)
yang benar; Dia menciptakan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam
dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang
ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa Lagi Maha
Pengampun. (QS. Az Zumar [39]: 5)
-Diciptakan tidak secara bathil (palsu):
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian
itu adalah anggapan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah
(pula) kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang
berbuat maksiat? (QS. Shaad [38]:27)
-Diciptakan bukan
secara main-main:
Dan tidaklah
kami ciptakan langit dan bumi dengan segala yang ada di antara keduanya dengan
main-main. (QS. Al Anbiyaa’ [16]:21)
Cara Pandang
Manusia yang Seharusnya
Dengan
berpandangan bahwa alam ini adalah ‘nyata’, akan menimbulkan sikap pandangan
positif-optimis. Sikap itulah yang menelaah bahwa pengalaman hidup yang
dilakukannya adalah nyata dan benar adanya (sehingga dapat memberi manfaat bagi
yang lain). Serta cara meninjau tentang kebahagiaan dan kesengsaraan tentang
kehidupan ini adalah berpeluang sama (mempunyai tingkat probabilitas yang
equality/imbang) tergantung dari ikhtiar manusia itu sendiri. Karena
manusia pasti akan mati di dunia ini, dengan sifat yang sementara itu maka
inilah peluang bagi manusia sebagai khalifah di bumi untuk mengabdi dan memberi
manfaat kepada ‘alam’ ini dengan penuh tanggung jawab serta menuntut haknya
dengan wajar dan pantas.
Dan diantara
mereka ada orang yang berdo’a : “ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Al Baqarah [2]: 201)
Maka apakah kita tidak akan mati? (QS: As Shaffat [37]: 58)
Dengan cara pandang positif-optimis tentang semesta alam ini yang tidak
maya dan palsu, akan menghasilkan bentuk pemikiran bahwa manusia selayaknya
bersikap antikerahiban (menolak paham anti seks), karena seks adalah
menjadi kewajaran dan kepantasan bagi manusia tentunya dengan tetap mengacu
pada pedoman (agama).
Kemudian Kami iringkan di belakang mereka
Rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) Isa putra Maryam; dan Kami berikan
kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa
santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ngadakan rahbaniyah padahal
Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang
mengada-ngadakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak
memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada
orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak diantara mereka
orang-orang yang fasik.
(QS. Al Hadid [56]: 27)
Namun masih ada alternatif lain bagi manusia yang ingin melakukan
’pensucian diri’ atas realitas yang ada tentang kehidupan ini. Yaitu dengan
perbuatan tasawuf seperti zuhud (asketisme), uzlah
(mengasingkan), kejujuran dan ketulusan (bermujahadah), merenung (tadabur),
berfikir (tafakur) dan mawas diri (ihtisab). Itu semua dilakukan tidak
lain dan tidak bukan hanya untuk memperoleh penilaian terhadap sesuatu itu yang
objektif dan menurut kejujuran diri.
Manusia Bagian Alam Semesta
Manusia ’didapuk’ Tuhan sebagai khalifah di muka bumi ini, makhluk yang
paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Gelar kholifah itulah
sekaligus memberikan tugas kepada manusia untuk hidup di dunia ini secara
’benar’. Manusia adalah penghasil daya ’gerak budaya’ yang terus bekerja sampai
dunia ini kiamat. Dengan berperan aktif konstuktif dengan memahami lebih baik
keadaan sekitar untuk membentuk masyarakat yang makmur kertaraharja, selain
untuk melihat celah ’blunder’ atas kecerbohan pemikiran, perbuatan, dan paham
manusia tentang hikat hidup di dunia ini.
Konklusi
Inti dari pada kita hidup di dunia ini adalah bahwasanya kita akan selalu
mencari kebenaran-kebenaran, dengan berbagai cara yang dilakukan, mengerahkan
segala pemikiran-pemikiran dan keyakinan akan segala sesuatu yang akan
melahirkan suatu ’kebenaran’. Akankah kebenaran yang sesungguhnya itu dapat
ditemukan dari manusia? Wallahu A’lam
bi Shawab/rifqi1987