Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Independensi Cendekiawan pada Era Modern

Independensi Cendekiawan pada Era Modern

   Oleh: 

Artikel ini ditulis pada tahun 2008

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang diterima secara luas oleh berbagai kalangaan, bahwa yang dimaksud cendekiawan adalah Pertama, orang yang cerdik, pandai, orang intelek. Kedua, orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Menurut kami yang perlu digarisbawahi adalah pada pengertian kedua yakni pada kalimat "terus menerus meningkatkan kemampuan berfikir". Hal itu bermakna bahwa seorang cendekiawan bisa mengembangkan pola pikirnya bahkan bisa meralatnya.


Cendekiawan idealnya tidak hanya berkutat hingga ’berbicara’ di sekitar politik atau pemerintahan. Melainkan cendekiawan juga ikut bertanggung jawab dalam mengatasi ’bencana’ sosial-lingkungan. Salah satu masalah yang perlu diatasi ialah adanya berbagai bentuk ’penyeragaman’ paradigma berfikir. Penyeragaman tersebut bisa jadi terus digencarkan oleh sistem kekuasaan ( tidak hanya kekuasaan pemerintah/pemimpin) beserta ideologi-ideologi dan pemikiran-pemikiran yang telah dibawanya.  Namun demikian, untuk mendekontruksi tatanan seragam tersebut cendekiawan bisa memilih untuk turut campur dalam siste tersebut lalu "merusaknya" dari dalam maupun melakukan serangan dari luar sistem.

Baik berada di dalam maupun di luar sistem yang rusak maka cendekiawan harus tetap mempertahankan independensinya. Tidak hanya sebagai identitas, independensi harus menjadi prinsip hidup. dengan tidak ’menjual’ pemikiran-pemikirannya atau dengan rela dan ikhlas mengkebiri kebenaran lain hanya karena ’fanatisme’ yang dibawa sejak lahir. Walau ada sebuah pendapat bahwa cendekiawan berhak untuk memperoleh nafkah dari apa yang telah dia karyakan dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang telah diolahnya tersebut.


Dari pengertian cendekiawan di atas tergambar jelas bahwa tidak tersinggung sama sekali kalau insan cendekiawan itu boleh atau tidak ’bermain’ di sistem pemerintahan atau ikut campur bahkan ’menjual’ gaya berfikirnya untuk kepentingan politik. Dengan demikian Cendekiawan bebas untuk menentukan arah, tempat, tujuan, bahkan metode apa yang ia gunakan untuk berkarya. Tentu sekali lagi, kebebasan itu terikat dengan prinsip independesi serta idealisme yang selalu melekat padanya.


Di satu pihak terdapat kumpulan pendapat tentang cendekiawan bahwa itu sah untuk kepentingan sistem ekonomi, pemerintah, dan sistem yang dibidanginya. Yakni, demi terwujudnya sistem tatanan yang damai, aman, dan tentram. Akan halnya berbeda dengan lain pihak, ada hipotesa bahwa kaum cendekiawan harus berada di luar ’sistem’ tersebut dan berbagai paham yang bersifat mengikat. Hal tersebut disebabkan para cendekiawan harus aktif bertindak sebagai fungsi sosial yang bermanfaat bagi masyarakat (moral force), pengontrol kekuasaan sistem, penegak kebenaran (kebenaran hakiki), dan sekaligus mereka harus menjadi contoh bagi kelas menengah (kaum elite) lainnya untuk membangun bangsa Indonesia tercinta.


Cendekiawan dituntut untuk memiliki sikap independensi dalam lingkup berfikir bebas (tidak bablas) dengan tidak terpengaruh oleh budaya, agama, rasial, dan faham yang kental di kehidupan masyarakat. Sebab dengan jalan yang ditempuh ini mereka sebagai kaum intelek berkelanjutan mengaktualisasikan cara berfikirnya selaras dengan perkembangan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Bukan berarti mereka harus mengurung diri dan tidak boleh masuk ke dalam institusi tertentu atau masuk ke lini-lini golongan yang ada. Kecendekiawanan harus bebas dari belenggu semua kekuasaan (hegemoni), terutama hegemoni ’isme’ yang mengakar di kalangan masyarakat.

Paradigma cendekiawan bukanlah tidak mungkin kalau di’ajar’kan dan sebarluaskan kepada masyarakat akan berdampak positif. Bisa melahirkan atau meng-elaborasi faham yang sedang berkembang dan sudah ada menjadi sebuah faham baru. Di aman, tujuan awalnya ialah sebagai solusi dari kelemahan faham yang lama. Kemudian ’memaksakan’ ideologi yang baru itu untuk dijadikan pedoman, dan itu indikasi mengarahkan satu pemikiran yang ’sama’ sehingga terjadilah penyeragaman pola pikir dan cara pandang.


Contoh ada sebuah dongeng dari Zaman sebelum masehi di Yunani, Socrates seorang filosof dianggap sebagai filosof sekaligus cendekiawan di zamannya, yang berkarakter untuk berfikir bebas. Konon, dia tidak mau dikungkung oleh institusi pemerintahan Athena beserta ajaran agamanya. Dia juga mengajarkan golongan muda untuk berfikir bebas. Dengan tindakan yang dilakukan tersebut dia lantas ditangkap untuk diadili dengan dipaksa meminum racun. Setelah kematiannya, salah satu muridnya yang bernama Plato melanjutkan perjuangan gurunya. Socrates dan Plato merupakan tokoh kebebasan berfikir.

’Anteseden’ itu berlawanan dalam kenyataan sekarang (zaman modern). Di aman, lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi lebih banyak melakukan praktik penyeragaman. Terutama penyeragaman berfikir, berorganiasi, dan memilih mazhab dari pada harus  menjunjung tinggi kebebasan berfikir. Antiomi inilah yang akan mempengaruhi independensi bagi calon cendekiawan yang sedang mencari ilmu di perguruan tinggi. Tempat yang seharusnya menjadi alat pendewasaan kenyataannya malah menciptakan kaum fanatik baru.


Penyeragaman-penyeragaman di semua sektor baik pendidikan, interpretasi beragama, berfaham (isme), dan berfikir menyebabkan manusia menjadi kuper (kurang pergaulan). Hal itu menjadi anti klimaks sekaligus antipati akan bukti pembunuhan terhadap kreativitas dan bahkan memenjarakan ’alam fikir’ masyarakat. Mereka akan menjadi manusia yang mudah disetir (dikendalikan) oleh pihak-pihak yang telah menyetel pikiran tertentu yang telah diseragamkan.


Yesus (nabi Isa) hampir mirip dengan Socrates dan muridnya itu, lebih mengedapankan kebebasan berfikir. Ajaran yang ia sampaikan adalah antitesis dari buah akumulasi dari penyeragaman berfikir yang dilakukan oleh pemimpin ajaran sebelumnya yaitu Yahudi dan kekuasaan Romawi. Akhirnya (menurut cerita) Yesus ditangkap, dan diadili. Namun setelah menghilangnya Yesus dari dunia, para muridnya berhasil membuat "institusi" baru. Walau pada awalnya Yesus mengajarkan murid-muridnya tentang kebebasan berfikir akan tetapi pada perjalanan selanjutnya telah di rubah. Pengelolaan institusi yang didirikan tersebut di kemudian hari mengalami suatu pembatasan dalam berfikir. Bahkan pada abad pertengahan upaya pembatasan berfikir dan pemaksaan dilakukan dengan bentuk hukuman mati apabila menolak ajaran gereja.

Di Indonesia, agama-agama modern dapat dijadikan alat oleh ’kekuasaan’ tertentu untuk mengadakan propaganda penyeragaman pola pikir masyarakat. Hal-hal yang berada di luar institusi agama seperti aliran kepercayaan, ekstrim kanan-kiri, ’sempalan’ agama, aliran ’sesat’, dan kawan-kawannya tidak dibenarkan keberadaannya. Presumpsi itu diperkuat dengan tidak diakui keberadaan mereka atau bahkan mereka ’boleh’ dibinasakan dari bumi nusantara dengan cara kekerasan maupun hukuman. Alangkah lebih elok bila memerangi "pemikiran" maupun "isme" bukan dengan kekerasan (cara fisik) namun menggunakan serangan pemikiran juga.


Paradoks
Cendekiawan, begitu kaum intelek itu membawa dan menyampaikan sikap berfikir bebasnya kepada orang lain, lebih-lebih dengan membawa paham atau ’isme’ dan institusi baru, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pengekangan dan penyeragaman berfikir. Kenyataannya  mereka seakan memaksa masyarakat untuk menjadikan buah pikir sebagai pedoman. Tantangan ini hadir begitu jelas yang dihadapi cendekiawan, bukan hanya sekedar mereka harus membebaskan diri dari isme tertentu, namun juga membebaskan diri dari niat untuk mengajarkan dan memaksakan gagasannya kepada masyarakat.


Masyarakat pada dasarnya memang cenderung suka dikuasai, senang ditindas, mau membayar upeti, senang dilakukan tidak adil (diskriminatif) dll. Dan di lain sikap seperti itu, mereka juga menuntut untuk dilindungi, dibina, dibela haknya, diarahkan dan diberi pedoman serta hiburan. Mereka butuh tempat berlindung. Baik perlindungan secara fisik maupun rohani. Mereka merasa sadar bahwa mereka lemah dan serba tidak tahu. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mencari dan ingin menemukan sosok intelek yang bisa dijadikan pedoman.


Dizaman pra-Modern masyarakat dengan sukarela dikuasai oleh raja, dewa-dewi dan nabi. Bahkan masyarakat ’kecil’ itu begitu bangga jika anak gadisnya diperselir oleh pemimpinnya. Mereka pun bangga bila putranya dimasukan dalam jajaran prajurit peperangan. Dengan kehadiran penguasa itu masyarakat bisa aman dan enak hidupnya karena perlindungan, layanan, dan pedoman hidup yang telah penguasa berikan untuk masyarakat. Inilah yang terjadi pada masyarakat terdahulu.

Di zaman modern ini bahkan era postmodern para nabi sudah tidak hadir lagi. Namun masyarakat, tetap mau dikuasai dan minta perlindungan serta pedoman. Bila cendekiawan tidak mampu menghadirkan pedoman baru maka para penguasalah yang akan hadir untuk memberikannya. Tentu pedoman tersebut bukan dihasilkan dari hasil kejernihan berfikir. Namun, lahir dipengaruhi oleh kepentingan dan ego politik semat. Apakah kenyataan hari ini cendekiawan bisa melaharikan pedoman baru yang bisa ditaati oleh masyarakat?

Negeri Amerika nan jauh di sana, masyarakatnya senang sekali dikuasai oleh uang, media massa, kehadiran bintang film dll. Untuk itu masyarakat mau diperbudak duduk di depan televisi, mau membawa tiket, dan menghabiskan waktu untuk itu semuanya. Sebagai imbalan kerja keras mendapat uang, mereka memperoleh hiburan dan pedoman hidup. Tentu pedoman hidup itu mereka dapat dari para "cendekiawan" yang bermental kapitalis. Yakni, cendekiawan hasil produk dari pemerintah.


Massa (sekelompok individu) ibaratnya adalah manusia bodoh yang mudah digiring ke mana-mana. Individu yang lemah hanya merasa dirinya aman apabila bergabung dengan individu lainnya. Pada akhirnya mereka akan mengelompok menjadi massa dengan segala institusinya. Untuk menjaga kekompakan kelompok tersebut tentu mereka harus punya pedoman berfikir. Biasanya pedoman itu mereka dapat dari pemimpin mereka atau bisa jadi dari pihak yang telah memberikan uang pada mereka.


Idealnya, cendekiawan harus menjadi sosok insan yang kuat dan bebas. Dia tidak membutuhkan perlindungan, kekangan, dan pimpinan. Hanya dengan memelihara dan mengembangkan kecendekiawannya maka para intelektual tidak akan menjelma menjadi "binatang buas". Makhluk yang hanya fokus untuk masalah nafsu yang meliputi makan, minum, seks, pengakuan kelompok, ingin menjadi paling terkuat, dan sebagainya. Tugas cendekiawan adalah senantiasa mengaktualisasikan sikap pikirannya agar bebas dari kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan intelektualnya sendiri untuk bernafsu membentuk isme/institusi baru. Wallauh A’lam Bishawab



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhufHkrYO5Qy3tK-N4Zg81vmPCHtnmkh6GZnLtAzKwKt07cpCKM0k7XAliwySw24Z_CjiV-AhnE1A8D8cOySoFKKIh_mssLffddVJc5bryNxPV5NEVADI6lWb53bBGh_edpwDjy-nmTP4Yr/s1600/Independensi+Cendikiawan+pada+Era+Modern.jpg
Cendekiawan (sumber gambar seratkembara)






Baca tulisan menarik lainnya: