Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Berdunia dan Beragama

Berdunia, istilah yang tidak lazim dalam norma tata bahasa Indonesia. Berdunia yang berasal dari kata dasar dunia. Kata ‘dunia’ merupakan kata benda dan jika  diberi imbuhan ber- menjadi kata kerja.  Berdunia dan beragama, keduanya memiliki nilai yang saling bertentangan. Tak bisa disatukan dalam satu tindakan. Masing-masing tidak memiliki keterpaduan dan saling berdiri sendiri.


Tindakan berdunia untuk kepentingan dunia. Tindakan  beragama untuk agama. Satu sama lain tidak dapat dicampur baurkan. Keduanya merupakan perilaku untuk mencari ‘aman’. Berdunia supaya aman dari kekalahan bersaing dengan manusia lain. Sedang beragama yang murni tanpa riya’ adalah supaya aman dari ‘kebencian’ Tuhan. Bila ada riya'-nya berarti masih mencari aman dari kebencian manusia.




Para ateisme dan anti konsep ketuhanan menolak adanya ‘kepasrahan" manusia pada ‘unsur’ lain (ghaib). Seharusnya ia mengandaikan dirinya sendiri. Sebab bila kepasrahan itu dibiarkan manusia akan cenderung menjadi ‘melankolis’. Terlihat lemah.  Akan kehilangan jati diri sebagai manusia yang ‘unggul’. Namun, bukankah cinta pada dunia bahkan cinta pada ilmu pengetehuan juga berpeluang mendapatkan manusia pada posisi pasrah dankehilangan jati diri?  Bahkan manusia bisa diperbudak oleh (ilmu) dunia tersebut?


Dunia berkaitan erat dengan harta, hidup, jabatan, prestasi dan hedonisme. Sedang agama digambarkan tertuju pada eschatology. Yakni, persiapan menuju kematian yang mulia (mati khusnul khotimah). Mempersiapkan ‘hidup’ sesudah kematian. Jika memang kedua pernyataan tersebut merupakan sebuah kebenaran, maka wajar jika ada pendapat yang menyatakan ‘dunia’ dan agama tidak bisa disatukan dalam satu konsep. Terlebih jika ditekankan pada cara menggapai tujuannya. Mengapa harus beragama dan berdunia? Keduanya dapat disimpulkan saling bertolak belakang dan berlawanan.


Itulah sebab mengapa di alam ini muncul dua golongan. Disebabkan perbedaan cara pandang (presepsi) tentang beragama dan berdunia. Yang pertama golongan ateisme, hedonisme ‘murni’, dan gila akan ilmu pengetahuan dunia. Serta golongan kedua yang ortodok, fundamental, taqlid buta, hingga radikal dalam beragama. Mereka memandang konsep berdunia secara parsial dan terlalu ke kiri. Di sisi lain memandang konsep beragama secara parsial dan terlalu ke ‘kanan’. Sehingga wajar jika terjadi alenialisasi antara kedua konsep tersebut.


Umumnya cara berdunia untuk memperoleh kejayaan dunia akan menggunakan cara-cara duniawi yang melibatkan manusia dengan manusia lain. Dengan mahkluk hidup lain dan makhluk mati yang empiris (bisa diserap oleh panca indra). Dan cara beragama untuk memperoleh ‘kasih’ Tuhan akan melibatakan unsur-unsur yang metafisik dan trandsendental. Misalnya semua tindakan dalam berperilaku akan dinisbatkan pada Wahyu Tuhan. Untuk memperoleh ridho Tuhan dan guna memperoleh posisi aman di mata Tuhan.


Dunia secara personal menawarkan keindahan yang nyata (empiris). Bisa diperoleh dengan cepat. Bersifat imbal balik (transaksional konkrit) sehingga akan membius seperti candu. Sedang agama secara personal menawarkan surga, kententraman batin, dan posisi mulia di hadapan Tuhan. Apakah kedua tawaran tersebut saling bertolak belakang? Tentu sekilas keduanya merupakan unsur yang saling bertentangan. Dalam kenyataanya hal tersebut bisa dipadukan.


Memang penganut ateisme tidak menuhankan ‘Tuhan’. Akan tetapi meraka telah menuhankan dirinya sendiri. Paling tidak menuhankan rasionalisme (baca: otak) dan empirisme (baca: panca indra) yang menjadi modal utama. Padahal otak yang menjadi alat berfikir, memiliki segala keterbatasa. Baik dalam merasionalkan segala sesuatu maupun dalam memahami alam. Otak hanyalah benda’ yang memiliki massa (berat) dan ruang gerak seperti halnya batu dan udara. Mereka sama-sama benda mati yang berada di alam bebas. 


Secanggih-canggihnya otak masih memiliki keterbatasan. Manusia yang amnesia misalnya. Lalu manusia gila. Ditambah lagi manusia yang tidur dalam arti sebenarnya. Serta manusia pingsan. Semuanya adalah manusia yang berada dalam posisi tak sadar. Manusia tak sadar tidak bisa mengendalikan otaknya secara ‘penuh’. Sedang manusia sadar bisa ‘memanipulasi’ kecanggihan otaknya untuk merekayasa (baca; mengembangkan) peradaban. Itu dibutuhkan  guna tercapainya tujuan kehidupan.




Dalam Islam, ulama tasawuf  dengan faham sufi-nya  memberikan tawaran. Bisa menjadi alternatif bagi manusia yang ingin melakukan ’pensucian diri’ atas realitas piciknya dunia. Namun tetap tidak meninggalkan kepentingan dunia. Yakni, dengan perbuatan tasawuf seperti zuhud (asketisme), mengistirahatkan diri dari kepentingan duniawi (uzlah), kejujuran dan ketulusan (bermujahadah), merenung (tadabur), berfikir (tafakur) dan mawas diri (ihtisab). Hal tersebut dilakukan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperoleh penilaian terhadap sesuatu. Termasuk menilai dunia secara objektif dan menurut kejujuran diri.


Konsep ruh (baca: roh) oleh Imam Ghozali dalam kitab beliau Ihya ‘Ulumiddin Juz III mengungkapkan bahwa Ar-Ruhu (ruh) ialah suatu sifat halus pada manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian. Masih menurut beliau, namun ruh merupakan urusan yang pelik dan bersifat ketuhanan. Di mana sebagian besar akal dan faham manusia tidak sanggup mendapatkan hakikat roh tersebut. Sebagaimana firman Tuhan dalam terjemahan Kitab al – Qur’an surat al-Isra’ ayat 85 yaitu “Katakanlah (hai Muhammad), bahwa roh termasuk urusan tuhanku.”


Manusia dalam berproses untuk ‘aktivitas’ berdunia dan beragamanya membutuhkan ilmu. Salah satunya ilmu aqli. Ilmu aqli adalah ilmu bawaan sejak lahir murni pemberian Tuhan di alam ‘bawah sadar’. Yang kemudian dikembangkan dalam proses  mencari, berpengalaman, dan belajar. Imam Ghozali sendiri membagi ilmu aqli  menjadi dua. Yakni, ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi (akhirat). Yang mana untuk ‘melihat’ kedua komponen tersebut memerlukan ‘mata’ hati dan akal. Masih menurut Imam Ghozali, adapun hati kebanyakan orang, apabila ia bebas melakukan urasan dunia, tentu ia berpaling dari urusan akhirat (agama) dan lalai darinya menuntut kesempurnaan (di mata Tuhan).


Memang meleburkan antara kesempurnaan serta kebaikan dunia dan agama tidaklah mudah, kecuali bagi orang yang sudah ditentukan oleh Tuhan dalam kehidupan berdunia dan beragama untuk mengurus manusia. Yakni para nabi yang diperkuat oleh Ruhul-Qudus dan tentunya para Wali yang memperoleh ‘pencerahan’ hati dan akalnya dari Tuhan. Serta para ulama yang benar-benar menjadi penerus para nabi. Bukan ulama dadakan yang muncul tiba-tiba untuk tujuan politik.




Sering kita temui banyak pemikir (filosof) yang lupa untuk berfilasat tentang kehidupan akhirat. Mereka terjebak pada pemikiran di dunia. Alasanya benda yang ada di dunia ini dapat dirasionalkan dan diempiriskan (tampak). Menurut mereka beragama akan membelenggu kebebasan berfikir. Wahyu Tuhan akan memenjarakan rasionalisme manusia.  Berikut adalah beberapa terjemah ayat al - Qur’an meyinggung tentang pandangan manusia dalam hidup berdunia;


Terjemahan al – Qur’an surat Yunus ayat 7: “Bahwasanya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak akan percaya akan) bertemu Kami dan rela serta puas dengan kehidupan dunia dan serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu.....”

Terjemahan al – Qur’an surat Ar – Rum 7: “Mereka tahu akan lahir (yang tampak) dari kehidupan dunia, padahal mereka lupa daripada kehidupan akhirat”

Terjemahan  al – Qur’an surat An – Najm 28 – 30: “....Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (28) Maka tinggalkanlah (Muhammad) orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya mengingini kehidupan dunia (29) Itulah kadar ilmu mereka. Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (30).”


Sehingga wajar jika Imam al – Ghozali mengungkapkan bahwa orang yang membawa dirinya kepada taqlid (mengikuti tanpa dasar kokoh) semata-mata dengan menyisihkan akal adalah tolol. Sedang orang yang mencukupkan akal tanpa Nur (cahaya) dari al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang tertipu. Sebagaimana peringatan Tuhan dalam Kitab al-Qur’an surat al-Hajj ayat 46 yang terjemahannya “Sebenarnya bukan matalah yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” 


Oleh karena itu dalam menjalankan hidup, berdunia saja tidak cukup. Perlu proses beragama dan berdunia secara bersamaan. Guna menuntun hati agar timbul rasa empati dan simpati. Serta mempunyai karakter yang bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain secara universal. Tidak menjadi manusia ekslusif yang menggangap dirinya atau golongannya paling benar dan unggul. (BE/01/12)


Dunia Vs Surga (sumber gambar youtube)




Baca tulisan menarik lainnya: