Berdunia, istilah yang tidak lazim dalam norma tata bahasa Indonesia. Berdunia
yang berasal dari kata dasar dunia. Kata ‘dunia’ merupakan kata benda dan
jika diberi imbuhan ber- menjadi kata kerja. Berdunia
dan beragama, keduanya memiliki nilai yang saling bertentangan. Tak bisa
disatukan dalam satu tindakan. Masing-masing tidak memiliki keterpaduan
dan saling berdiri sendiri.
Tindakan berdunia untuk
kepentingan dunia. Tindakan beragama
untuk agama. Satu sama lain tidak dapat dicampur baurkan. Keduanya merupakan
perilaku untuk mencari ‘aman’. Berdunia supaya aman dari kekalahan bersaing dengan manusia lain. Sedang beragama yang murni
tanpa riya’ adalah supaya aman dari
‘kebencian’ Tuhan. Bila ada riya'-nya berarti masih mencari aman dari kebencian manusia.
Para ateisme dan anti
konsep ketuhanan menolak adanya ‘kepasrahan" manusia pada ‘unsur’ lain (ghaib). Seharusnya ia mengandaikan dirinya sendiri. Sebab bila kepasrahan itu dibiarkan manusia akan cenderung menjadi ‘melankolis’. Terlihat lemah. Akan kehilangan jati
diri sebagai manusia yang ‘unggul’. Namun, bukankah cinta pada dunia bahkan cinta pada ilmu pengetehuan juga berpeluang mendapatkan manusia pada posisi pasrah dankehilangan jati diri? Bahkan manusia bisa diperbudak oleh (ilmu) dunia tersebut?
Dunia berkaitan erat dengan harta, hidup, jabatan, prestasi dan hedonisme. Sedang agama digambarkan tertuju pada eschatology. Yakni, persiapan menuju kematian yang mulia (mati khusnul khotimah). Mempersiapkan ‘hidup’ sesudah kematian. Jika memang kedua pernyataan tersebut
merupakan sebuah kebenaran, maka wajar jika ada pendapat yang menyatakan ‘dunia’ dan agama tidak bisa disatukan dalam satu
konsep. Terlebih jika ditekankan pada cara menggapai tujuannya. Mengapa harus
beragama dan berdunia? Keduanya dapat disimpulkan saling bertolak belakang dan berlawanan.
Itulah sebab
mengapa di alam ini muncul dua golongan. Disebabkan perbedaan cara pandang
(presepsi) tentang beragama dan berdunia. Yang pertama golongan ateisme, hedonisme ‘murni’, dan gila
akan ilmu pengetahuan dunia. Serta golongan kedua yang ortodok, fundamental, taqlid
buta, hingga radikal dalam beragama. Mereka memandang konsep berdunia secara
parsial dan terlalu ke kiri. Di sisi lain memandang konsep beragama secara parsial dan
terlalu ke ‘kanan’. Sehingga wajar jika terjadi alenialisasi antara kedua konsep tersebut.
Umumnya cara berdunia untuk memperoleh kejayaan dunia akan menggunakan
cara-cara duniawi yang melibatkan manusia dengan manusia lain. Dengan mahkluk
hidup lain dan makhluk mati yang empiris (bisa diserap oleh panca indra). Dan cara beragama untuk
memperoleh ‘kasih’ Tuhan akan melibatakan unsur-unsur yang metafisik dan trandsendental. Misalnya semua tindakan dalam berperilaku akan dinisbatkan pada Wahyu Tuhan. Untuk memperoleh ridho Tuhan dan guna memperoleh posisi aman di mata Tuhan.
Dunia secara personal menawarkan keindahan yang nyata (empiris). Bisa diperoleh dengan cepat. Bersifat imbal balik (transaksional konkrit) sehingga akan membius seperti
candu. Sedang agama secara personal menawarkan surga, kententraman batin, dan
posisi mulia di hadapan Tuhan. Apakah kedua tawaran tersebut saling bertolak
belakang? Tentu sekilas keduanya merupakan unsur yang saling bertentangan. Dalam kenyataanya hal tersebut bisa dipadukan.
Memang penganut ateisme tidak
menuhankan ‘Tuhan’. Akan tetapi meraka telah menuhankan dirinya sendiri. Paling tidak
menuhankan rasionalisme (baca: otak) dan empirisme (baca: panca indra) yang menjadi modal utama. Padahal otak yang menjadi
alat berfikir, memiliki segala keterbatasa. Baik dalam merasionalkan segala sesuatu maupun dalam memahami alam. Otak hanyalah ‘benda’ yang memiliki massa (berat) dan ruang gerak seperti halnya batu dan udara. Mereka sama-sama benda
mati yang berada di alam bebas.
Secanggih-canggihnya otak masih memiliki keterbatasan. Manusia yang amnesia misalnya. Lalu manusia gila. Ditambah lagi manusia yang tidur dalam
arti sebenarnya. Serta manusia pingsan. Semuanya adalah manusia yang berada dalam posisi
tak sadar. Manusia tak sadar tidak bisa mengendalikan otaknya secara ‘penuh’. Sedang manusia sadar bisa ‘memanipulasi’ kecanggihan otaknya untuk merekayasa
(baca; mengembangkan) peradaban. Itu dibutuhkan guna tercapainya tujuan kehidupan.
Dalam Islam, ulama tasawuf dengan faham sufi-nya memberikan tawaran. Bisa menjadi alternatif bagi manusia yang ingin melakukan ’pensucian diri’ atas
realitas piciknya dunia. Namun tetap tidak meninggalkan kepentingan
dunia. Yakni, dengan perbuatan tasawuf seperti zuhud (asketisme),
mengistirahatkan
diri dari kepentingan duniawi (uzlah), kejujuran dan ketulusan (bermujahadah),
merenung (tadabur), berfikir (tafakur)
dan mawas diri (ihtisab). Hal tersebut dilakukan tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperoleh penilaian
terhadap sesuatu. Termasuk menilai dunia secara objektif dan menurut kejujuran diri.
Konsep ruh (baca: roh) oleh Imam Ghozali dalam
kitab beliau Ihya ‘Ulumiddin Juz III mengungkapkan bahwa Ar-Ruhu (ruh) ialah suatu sifat halus
pada manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala
pengertian. Masih menurut beliau, namun ruh merupakan urusan yang pelik dan
bersifat ketuhanan. Di mana sebagian besar akal dan faham manusia tidak sanggup
mendapatkan hakikat roh tersebut. Sebagaimana firman Tuhan dalam terjemahan
Kitab al – Qur’an surat al-Isra’ ayat 85 yaitu “Katakanlah (hai Muhammad), bahwa roh termasuk urusan tuhanku.”
Manusia dalam
berproses untuk ‘aktivitas’ berdunia dan beragamanya membutuhkan ilmu. Salah satunya ilmu aqli. Ilmu aqli adalah ilmu bawaan sejak lahir
murni pemberian Tuhan di alam ‘bawah sadar’. Yang kemudian dikembangkan dalam
proses mencari, berpengalaman, dan belajar. Imam Ghozali sendiri membagi ilmu aqli menjadi dua. Yakni, ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi (akhirat). Yang mana untuk
‘melihat’ kedua komponen tersebut memerlukan ‘mata’ hati dan akal. Masih
menurut Imam Ghozali, adapun hati kebanyakan orang, apabila ia bebas melakukan
urasan dunia, tentu ia berpaling dari urusan akhirat (agama) dan lalai darinya
menuntut kesempurnaan (di mata Tuhan).
Memang meleburkan
antara kesempurnaan serta kebaikan dunia dan agama tidaklah mudah, kecuali bagi
orang yang sudah ditentukan oleh Tuhan dalam kehidupan berdunia dan beragama
untuk mengurus manusia. Yakni para nabi yang diperkuat oleh Ruhul-Qudus dan tentunya para Wali yang
memperoleh ‘pencerahan’ hati dan akalnya dari Tuhan. Serta para ulama yang benar-benar menjadi penerus
para nabi. Bukan ulama dadakan yang muncul tiba-tiba untuk tujuan politik.
Sering kita
temui banyak pemikir (filosof) yang lupa untuk berfilasat tentang kehidupan
akhirat. Mereka terjebak pada pemikiran di dunia. Alasanya benda yang
ada di dunia ini dapat dirasionalkan dan diempiriskan (tampak). Menurut mereka
beragama akan membelenggu kebebasan berfikir. Wahyu Tuhan akan
memenjarakan rasionalisme manusia. Berikut
adalah beberapa terjemah ayat al - Qur’an meyinggung tentang pandangan manusia dalam
hidup berdunia;
Terjemahan al –
Qur’an surat Yunus ayat 7: “Bahwasanya
orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak akan percaya akan) bertemu Kami dan
rela serta puas dengan kehidupan dunia dan serta merasa tenteram dengan
(kehidupan) itu.....”
Terjemahan al –
Qur’an surat Ar – Rum 7: “Mereka tahu
akan lahir (yang tampak) dari kehidupan dunia, padahal mereka lupa daripada
kehidupan akhirat”
Terjemahan al – Qur’an surat An – Najm 28 – 30: “....Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (28) Maka tinggalkanlah
(Muhammad) orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya mengingini
kehidupan dunia (29) Itulah kadar ilmu mereka. Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui
siapa yang mendapat petunjuk (30).”
Sehingga wajar
jika Imam al – Ghozali mengungkapkan bahwa orang yang membawa dirinya kepada taqlid (mengikuti tanpa dasar kokoh)
semata-mata dengan menyisihkan akal adalah tolol. Sedang orang yang mencukupkan
akal tanpa Nur (cahaya) dari
al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang tertipu. Sebagaimana peringatan Tuhan
dalam Kitab al-Qur’an surat al-Hajj ayat 46 yang terjemahannya “Sebenarnya bukan matalah yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Oleh karena itu
dalam menjalankan hidup, berdunia saja tidak cukup. Perlu proses beragama dan
berdunia secara bersamaan. Guna menuntun hati agar timbul rasa empati dan
simpati. Serta mempunyai karakter yang bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi
manusia lain secara universal. Tidak menjadi manusia ekslusif yang
menggangap dirinya atau golongannya paling benar dan unggul. (BE/01/12)
|
Dunia Vs Surga (sumber gambar youtube) |